Kamis, 01 Oktober 2020

Setengah dari Seluruh Kemalangan

Setengah dari seluruh kemalangan dan penderitaan umat manusia akan lenyap... andai kita runtuhkan semua doktrin yang tak bertanggung jawab.

Doktrin: Manusia adalah pemimpin di muka bumi.

Fakta: Tempat terbaik di muka bumi adalah yang tak terdapat manusia.

Ironi keberadaan manusia di bumi adalah; di mana pun manusia berada, kemurnian akan lenyap. Termasuk udara. » Di Mana Lokasi yang Udaranya Paling Bersih di Bumi?

Agar tidak timbul salah paham, sepertinya aku perlu ngasih footnote.

"Khalifah fil ardh" itu arti sebenarnya bukan pemimpin, tapi pengatur/penanggung jawab. Yang jadi masalah, banyak orang suka melakukan glorifikasi, termasuk mengglorifikasi dirinya sendiri. Diserahi tanggung jawab untuk mengatur bumi, malah mendaku pemimpin.

Ini salah satu contoh doktrin yang tak bertanggung jawab—untuk tidak menyebut sesat.

Manusia senang disebut "pemimpin di muka bumi", padahal itu keliru, yang benar adalah "pengatur/penanggung jawab kehidupan bumi". Gara-gara disebut pemimpin, lalu bertingkah seenaknya sendiri.

Andai manusia didoktrin—meski aku tidak nyaman menggunakan istilah ini—bahwa mereka bertanggung jawab atas segala yang terjadi di bumi, mereka akan lebih berhati-hati. Mereka akan menempatkan diri di posisi seharusnya. Sialnya, manusia justru didoktrin sebagai "pemimpin".

Yang menjadikan manusia membabat hutan seenaknya, atau menganiaya hewan tanpa merasa bersalah, karena mereka merasa diri sebagai "pemimpin". Doktrin sesat melahirkan perilaku sesat.

Andai mereka didoktrin bahwa mereka harus "bertanggung jawab", mereka akan lebih berhati-hati.

Jika kita mencermati berita-berita di Indonesia, kita pasti akan sering mendapati para jurnalis yang menyebut pemerintah sebagai "penguasa".

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa "pemerintah" bisa berubah menjadi "penguasa"? Itu dua istilah yang (seharusnya) berbeda makna.

Secara sederhana, "pemerintah" adalah pihak yang diserahi amanat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Posisinya di bawah rakyat (ingat "kedaulatan di tangan rakyat").

Tapi "penguasa"? Artinya beda jauh. Menyebut "pemerintah" sebagai "penguasa", menempatkannya di atas rakyat.

Karenanya, aku kadang berpikir, yang menjadikan pemerintah merasa bisa sewenang-wenang kepada rakyat, karena mereka disebut penguasa. Ironisnya, glorifikasi—menyebut "pemerintah" sebagai "penguasa"—justru dilakukan orang-orang terpelajar, para jurnalis yang tulisannya kita baca.

Kenyataan semacam itu sebelas dua belas dengan berbagai doktrin dan glorifikasi yang terkait ajaran agama (yang tentunya disampaikan oleh para ustaz).

Seperti "khalifah fil ardh"—arti sebenarnya tereduksi, dan berubah menjadi glorifikasi; pemimpin di muka bumi. Oh, well.

Itu hanya salah satu contoh. Masih banyak contoh lain, yang kalau kuocehkan mungkin baru selesai tahun 8744.

Seperti doktrin-glorifikasi "manusia yang sebulan berpuasa Ramadan jadi sesuci bayi baru lahir". Itu dari mana asal usulnya? Para ustaz ngomong begitu, dan kita percaya.

Atau contoh lain yang jelas-jelas gamblang; Idul Fitri. Wong "Idul Fitri" artinya "Hari Raya Makanan" (hari raya untuk menikmati makanan setelah sebulan berpuasa). Kok bisa berubah jadi "kembali suci"?

Kita senang disebut "kembali suci", padahal itu keliru, bahkan—maaf—ngapusi.

Ocehan ini, kalau kuteruskan, bisa panjang sekali, dan akan sampai pula pada doktrin-glorifikasi yang sangat populer, "menikah akan melancarkan rezeki", atau "setiap anak memiliki rezeki sendiri".

Kita senang mendengarnya. Bukan karena itu benar, tapi karena menyenangkan kita!

Di dalam pikiranku sebagai bocah, doktrin-doktrin glorifikasi semacam itulah yang menjadi awal kerusakan bumi, sekaligus kemalangan dan penderitaan umat manusia. Karena mereka tidak lagi menjalani kehidupan dengan cahaya (al-'ilm), tapi melangkah dalam kegelapan (kebodohan).


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29-30 Juni 2020.

 
;