Selasa, 20 Oktober 2020

Ba’as

Seseorang berkata, “Hei, Ba’as, ngabruk itu apa?”

Ba’as mengambil bambu sepanjang dua meter, memeganginya hingga berdiri tegak, lalu berkata pada orang yang bertanya kepadanya, “Lihat ini.” Setelah itu, Ba’as menjatuhkan bambu hingga tergeletak di tanah. Lalu ia berkata, “Itulah ngabruk.”

Orang yang bertanya tadi tampak manggut-manggut, seperti memahami, dan puas dengan penjelasan Ba’as.

Ba’as bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tiba-tiba bertanya tentang ngabruk?”

Agak ragu-ragu, orang itu menjawab, “Uhm... ada seseorang yang pernah menyarankan agar aku ngabruk.”

“Dan kamu melakukannya?”

“Tidak.”

....
....

Aku di sana, waktu itu, ketika Ba’as bercakap-cakap dengan orang yang bertanya soal ngabruk. Setelah orang itu pergi, Ba’as duduk di dekatku. 

Ba’as adalah orang yang kadang menikmati waktu bersamaku—bercakap-cakap ngalor ngidul, tentang apa saja, khususnya tentang kehidupan kami. Dia pria yang usianya sedikit lebih tua dariku, dan menjalani kehidupan mirip sepertiku. Sendirian. Tanpa siapa pun. Menjalani hidup dalam sunyi.

Ba’as bertanya, “Kalau kamu diminta mendeskripsikan dirimu sendiri, kira-kira apa deskripsimu?”

Aku seketika menjawab, “Bocah.”

“Bocah?”

“Ya,” aku memastikan. “Aku suka mendeskripsikan diri sebagai bocah, dan aku senang menyebut diriku sebagai bocah.”

“Kenapa kamu menyebut dirimu sebagai bocah?”

“Mungkin karena aku masih sering kekanak-kanakan. Meski secara usia bisa dibilang sudah dewasa, tapi aku tahu jiwaku masih anak-anak, dan aku kadang masih bersikap seperti anak-anak—maksudku, yeah... aku merasa kurang mampu bersikap seperti orang dewasa umumnya.”

Ba’as tersenyum. “Memangnya orang dewasa seperti apa, yang kamu sebut ‘seperti umumnya’?”

“Yeah...” aku menjawab ragu-ragu. “Orang dewasa, kita tahu, biasanya luwes saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan siapa pun, dan mereka bisa bercakap-cakap santai layaknya orang dewasa. Aku merasa belum mampu melakukan hal semacam itu. Saat bercakap dengan orang lain, aku sering merasa kaku, bahkan kadang aku sadar betapa aku tidak nyaman melakukannya.”

“Karena itu, kamu menyebut dirimu bocah?”

Aku mengangguk. “Karena itu aku menyebut diriku bocah.”

“Tapi kamu bisa bercakap-cakap denganku secara normal. Bahkan menurutku sangat normal, seperti umumnya manusia.”

Aku tersenyum. “Aku tidak tahu, Ba’as. Mungkin karena kita memang telah akrab, hingga aku nyaman bercakap-cakap denganmu.”

Ba’as mengangguk-angguk. Dia memang selalu bisa menerima kenyataan apa pun, seolah isi dunia ini sama sekali tidak ada yang membuatnya terkejut atau heran.

Lalu aku bertanya, “Bagaimana denganmu, Ba’as? Kalau kamu diminta mendeskripsikan dirimu sendiri, kira-kira apa deskripsimu?”

Ba’as menjawab, “Aku menyebut diriku penghibu.”

“Penghibur?” aku memastikan.

“Bukan,” jawab Ba’as. Lalu dia menyatakannya dengan lebih jelas, “Penghibu.”

Berusaha mencerna jawabannya, aku bertanya, “Dan apa itu penghibu?”

“Penghibu adalah aku—maksudku, hal-hal yang kulakukan. Itulah penghibu.”

....
....

Ba’as memiliki sepetak tanah di belakang rumahnya, tidak luas, dan di sepetak tanah itulah kami duduk-duduk sambil mengobrol. 

Pada sepetak tanah itu, Ba’as menggantungkan setengah hidupnya. Dia menanam pohon pepaya di sana, juga pohon pisang, pohon cabai, pernah juga pohon semangka. Apa pun yang bisa ditanam di tanahnya, ia akan mencoba menanamnya. Dan berharap bisa mendapat penghidupan dari sana.

Sewaktu-waktu, Ba’as memanen pepaya dari pohonnya, lalu ia bawa ke pasar, untuk dijual pada pedagang buah. Di waktu lain, ia membawa setandan pisang, yang ia ikat di boncengan sepedanya, dan ia membawanya ke pasar, untuk dijual pada pedagang buah. Hasil jualan itu ia gunakan untuk makan, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kalau memang mencukupi.

Seperti kubilang tadi, pada sepetak tanah itu Ba’as menggantungkan setengah hidupnya. Setengah yang lain, dia biasa mendapatkan penghidupan dari kerja serabutan. Kalau ada panggilan kerja di pabrik, dia akan berangkat ke pabrik. Kalau sedang tidak ada kerjaan, dia berusaha mencari kerjaan apa pun, yang menghasilkan uang. Kalau pun sama sekali tidak ada yang bisa dikerjakan, dia akan berjalan-jalan. Biasanya dengan sepedanya yang ringkih.

Menatap kehidupan Ba’as, sering kali aku takjub. Dia hidup sendirian, tanpa keluarga, tanpa pekerjaan jelas, tapi dia mampu bertahan dengan baik. Kadang-kadang dia mengeluh, tentu saja, tapi lebih sering tidak. Dia orang yang tidak banyak omong, sepertiku. Dan dia menjalani kehidupannya yang sendiri dalam sunyi. 

Kadang aku bertanya, apakah dia sudah makan? Aku juga sering menawarinya rokok, atau apa pun yang mungkin dibutuhkannya. Ba’as sangat jarang menerima tawaranku. Bukan karena segan atau tidak mau menerima, tapi karena dia memang sudah tercukupi. Dia sudah makan, jadi menolak ketika kuajak makan. Dia sudah punya rokok, jadi menolak pula ketika kutawari rokok. Begitu pun tawaran lain.

Belakangan, aku tahu bagaimana alam semesta menjaga kehidupan Ba’as dengan cara yang sangat aneh.

Setiap hari—lebih tepat setiap dini hari, menjelang subuh—Ba’as telah terbangun dari tidur, lalu mulai beraktivitas. Dia menyibukkan diri di tanahnya, mencabuti rumput yang tumbuh, atau menyirami tanah. Usai subuh, dia akan jalan-jalan santai, ke mana pun. Kadang pula menaiki sepedanya yang tampak ringkih, menggenjotnya perlahan-lahan. Dia pergi ke mana pun ia mau, melangkah sejauh apa pun ia ingin.

Dalam aktivitas “jalan-jalan” yang saban hari ia lakukan itu, keajaiban yang aneh sering terjadi. Dia sering menemukan sesuatu!

Aku baru tahu kenyataan itu, ketika suatu malam ia mendatangi rumahku, dan menunjukkan sebuah ponsel. “Aku menemukan ponsel ini di jalan,” ujar Ba’as waktu itu. “Aku tidak biasa memegang ponsel canggih seperti ini, jadi aku bingung.”

Aku menerima ponsel itu darinya, dan mencoba membuka isinya. Ponsel itu jelas milik seseorang, yang mungkin terjatuh, dan kebetulan ditemukan oleh Ba’as. Di dalamnya terdapat daftar nomor telepon, pesan masuk dan pesan keluar, beberapa games, akses ke internet dan e-mail, dan lain-lain. 

Aku berkata dengan ragu-ragu, “Pemiliknya pasti merasa kehilangan, Ba’as.”

“Aku tahu,” sahut Ba’as. “Jadi, apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu bagaimana mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya. Aku bahkan tidak tahu siapa pemiliknya.”

Aku memahami kerisauan Ba’as. Bagaimana pun, isi ponsel itu tidak menunjukkan sedikit pun keterangan siapa pemiliknya. Akhirnya, aku terpikir untuk menelepon nama orang yang ada dalam phonebook ponsel itu, untuk menanyakan siapa pemilik nomor ponsel yang sekarang ditemukan Ba’as.

Ba’as menyetujui saranku, tapi dia meminta aku yang melakukannya. Jadi, aku pun membuka rekaman panggilan, untuk melihat nomor siapa yang terakhir kali dihubungi ponsel tersebut. Setelah itu, aku melakukan panggilan.

Panggilan telepon itu diterima seorang wanita, dan aku mengatakan kepadanya bahwa aku (yang tentu maksudnya Ba’as) telah menemukan ponsel tanpa tahu siapa pemiliknya. Jadi, aku bertanya kepadanya, siapa pemilik nomor ponsel ini?

“Nomor (ponsel) ini milik Yunita,” ujar suara di ponsel. 

Aku bertanya, “Bagaimana agar aku bisa mengembalikan ponsel ini kepadanya?”

Dia menyebutkan suatu alamat. Setelah itu, aku menjelaskan pada Ba’as, bahwa pemilik ponsel itu bernama Yunita, dan memberikan alamat rumahnya.

“Aku akan mengembalikannya,” kata Ba’as.

Dan Ba’as benar-benar mengembalikannya. Menggunakan sepedanya yang ringkih, ia pergi ke alamat Yunita, mengetuk pintu rumahnya, dan mengatakan bahwa dia telah menemukan ponselnya yang mungkin terjatuh. Belakangan, Ba’as menceritakan, Yunita tampak gembira sekaligus terharu, dan dia memberikan amplop pada Ba’as. Isinya uang cukup banyak, tutur Ba’as. 

Kisah itu lalu membuka cerita lain tentang Ba’as, yang membuatku takjub. Ternyata, selama ini, Ba’as telah menemukan aneka hal, termasuk uang, di jalan-jalan yang ia lewati setiap hari. Ia pernah menemukan cincin. Jam tangan. Dompet. Ponsel. Hingga gulungan uang. Semua barang berharga itu tergeletak begitu saja di jalan. Dan, entah bagaimana, tidak ada orang lain yang melihat... selain Ba’as.

Setelah menemukan suatu barang berharga, Ba’as akan menunggu. Menurutnya, orang yang kehilangan sesuatu di suatu tempat biasanya akan sering bolak-balik untuk mencari barang tersebut, dan biasanya pula itulah yang terjadi.

Ketika menemukan cincin di Jalan A, misalnya, Ba’as akan sering duduk-duduk di sekitar Jalan A, sambil mengamati kalau-kalau ada orang yang tampak mencari-cari sesuatu. Setelah ketemu, dia mendekati orang itu, dan menanyakan apa yang ia cari. Jika benar orang itu mencari cincin, Ba’as menanyakan ciri-ciri cincin yang hilang, dan—setelah yakin—dia pun menyerahkan cincin yang telah ia temukan.

Orang itu sangat bersyukur. Dan biasanya memberikan sejumlah uang untuk Ba’as, sebagai tanda terima kasih—meski kadang pula hanya berlalu setelah menunjukkan kegembiraan.

Melalui “penemuan-penemuan” itulah, Ba’as bisa menjalani kehidupan dengan baik, karena selalu ada orang pemurah yang memberinya rezeki, setelah barangnya yang hilang dikembalikan. Sebegitu sering dan sebegitu banyak penemuan yang pernah terjadi, sampai aku berpikir “penemuan” Ba’as jauh lebih banyak dibandingkan penemuan Thomas Edison.

Yang paling aneh adalah kisah ketika Ba’as menemukan sepeda roda tiga, di suatu jalan yang sepi, usai subuh, saat hari masih gelap. Ba’as heran ketika mendapati ada sepeda roda tiga—yang biasanya dipakai anak-anak—teronggok di pinggir jalan raya, tanpa ada seorang pun. 

Ba’as berpikir. Jika ia tinggalkan sepeda roda tiga itu, bisa jadi akan ditemukan orang lain. Dan bisa jadi pula orang yang menemukan itu tidak mengembalikan pada pemiliknya. Jadi, dengan itikad baik, Ba’as mengambil sepeda roda tiga itu, lalu membawanya pulang. Waktu itu dia belum tahu bagaimana cara mengembalikan sepeda roda tiga tersebut pada pemiliknya. 

Tapi kebetulan yang aneh lalu terjadi.

Ketika Ba’as sedang makan malam di warung, dia mendengar orang bercakap-cakap mengenai suatu keluarga yang panik, karena sepeda roda tiga milik anaknya hilang entah ke mana. Dan si anak terus menerus menangis tanpa henti.

Ba’as mendengarkan diam-diam, ketika orang di sana bercerita, “Tadinya si anak naik sepeda itu, sambil dituntun mbak yang biasa menemaninya. Tapi di tengah jalan si anak rewel, dan si mbak menggendongnya. Karena sibuk menenangkan si anak yang rewel, si mbak lupa membawa sepedanya. Sekarang sepeda itu lenyap entah ke mana.”

Sambil mendengarkan, Ba’as tahu bahwa sepeda yang diceritakan itu adalah sepeda yang ia temukan. Jadi, diam-diam, dia pun memperhatikan percakapan di warung, untuk tahu di mana rumah keluarga yang kehilangan sepeda. Setelah tahu di mana alamatnya, esok paginya Ba’as mengikat sepeda roda tiga itu di boncengan sepedanya sendiri, lalu membawanya ke rumah keluarga yang kehilangan.

Ba’as ditemui si mbak yang biasa menemani anak majikannya—yang sepedanya kini dikembalikan—dan si mbak sangat berterima kasih karena Ba’as mengembalikan sepeda yang ia temukan. 

Majikannya sedang pergi, katanya, sedang berusaha menghibur anak kesayangan mereka yang kini terus rewel karena sepedanya hilang. Si mbak tidak bisa memberikan apa pun pada Ba’as, dan meminta Ba’as agar kembali lagi ke sana, agar bertemu majikan si mbak. 

Ba’as hanya mengangguk. Tapi dia tidak pernah datang kembali ke sana.

“Aku sudah senang karena bisa mengembalikan sepeda itu,” ujar Ba’as belakangan kepadaku. 

Aku mencoba menggoda, “Dan kamu tidak ingin ketemu si mbak itu lagi?”

Ba’as hanya tertawa.

....
....

“Kamu bertanya, apa itu penghibu,” ujar Ba’as, saat kami duduk dan bercakap-cakap di sepetak tanah kecil miliknya. “Itulah penghibu.”

Aku mengangguk-angguk penuh khidmat.

 
;