Senin, 01 Juni 2020

Idul Fitri dan Kekacauan Makna Silaturahmi

Seseorang pernah berkata, "Mari kita tunda semuanya sampai lebaran. 
Termasuk maaf-maafan." | Dia meninggal tadi siang.


Gara-gara lebaran, hubungan persaudaraan rusak. Ini ironis, jika kita mengingat bahwa lebaran—konon, katanya—adalah waktu untuk mempererat tali persaudaraan, yang disebut silaturahmi. Tapi itulah realitas yang saya hadapi, bahwa alih-alih memperindah hubungan antarsaudara, lebaran justru merusaknya. Dan ini, saya pikir, berasal dari kekacauan banyak orang dalam memahami makna lebaran, wabilkhusus Idul Fitri.

Ibu saya memiliki kakak dan adik yang sama-sama perempuan. Kita sebut saja X dan Z.

Kakak ibu saya, yakni X, memiliki anak-anak, yang sebagian tinggal sekota, sebagian lain tinggal di luar kota. Ada tiga anak X yang tinggal sekota, sebut saja A, B, dan C. Rumah tiga orang itu bersisian (berdekatan), di satu kompleks. Mereka adalah kakak-kakak sepupu saya, dan mereka semua sudah berumah tangga.

Sementara adik ibu saya, yakni Z, juga memiliki anak-anak, yang tempat tinggalnya terpencar-pencar. Salah satu anak Z adalah [sebut saja namanya] Agnes. Rumah Agnes dan rumah orang tuanya cukup dekat. Dan rumah mereka juga relatif dekat dengan rumah saya. Agnes, dan adik-adiknya, adalah adik sepupu saya.

Hubungan kami semua baik-baik saja, layaknya sanak saudara. Tetapi, setiap kali lebaran datang, muncul “ketegangan” antara Agnes dengan anak-anak X (kakak-kakak sepupunya). Masalahnya, menurut saya, sangat sepele. Tapi ternyata tidak bagi mereka.

Jadi, setiap kali lebaran datang, anak-anak X (yaitu A, B, dan C serta keluarga masing-masing) bersilaturahmi ke rumah saudara-saudara, termasuk ke rumah orang tua saya dan ke rumah orang tua Agnes. Mereka biasa datang bersama-sama atau berombongan.

Ketika rombongan keluarga A, B, dan C datang ke rumah orang tua Agnes, biasanya di situ juga ada Agnes (namanya anak, biasanya ngumpul di rumah orang tua pas lebaran). Jadi, para saudara sepupu itu pun saling bertemu, dan saling “berminal aidin walfaizin” seperti layaknya orang lain di hari raya Idul Fitri.

Mungkin, karena berpikir sudah ketemu Agnes di rumah orang tuanya, rombongan A, B, dan C menganggap pertemuan itu sudah cukup. Mereka mungkin berpikir tidak perlu mampir ke rumah Agnes—yang rumahnya relatif dekat—toh sudah ketemu di rumah orang tuanya. Yang penting kan sudah ketemu, sudah bersalaman, dan sudah maaf-maafan. Mungkin begitu pikir mereka.

Tetapi, rupanya, diam-diam Agnes jengkel. Karena rombongan kakak sepupunya tidak pernah mampir ke rumahnya.

Saya tahu kenyataan itu, ketika kami—Agnes dan saya—bercakap-cakap. Selama ini, setahu saya, Agnes tidak pernah mengunjungi kakak-kakak sepupunya saat lebaran. Ketika saya tanyakan itu, Agnes menjawab dengan jengkel, “Mereka juga tidak pernah ke rumahku!”

Agnes mungkin lupa, bahwa ketika kakak-kakak sepupu kami datang ke rumah orang tuanya pas lebaran, mereka sebenarnya melewati depan rumah saya. Itu pasti, karena posisi rumah saya berdekatan dengan jalan raya. Beberapa meter dari rumah saya, terletak rumah orang tua Agnes. Lalu, sekitar seratus meter setelah itu, baru rumah Agnes.

Jadi, setiap kali lebaran tiba, dan rombongan kakak-kakak sepupu kami mendatangi rumah orang tua Agnes, mereka pasti melewati rumah saya. Sekali lagi, itu pasti! Dan apakah mereka datang ke rumah saya? Tidak! Dan apakah saya marah? Juga tidak! Bagi saya, itu hal sepele, dan bodo amat!

Tapi Agnes rupanya tidak berpikir seperti itu. Menurutnya, kakak-kakak sepupu kami seharusnya mampir ke rumahnya, setelah mengunjungi rumah orang tuanya. Fakta bahwa mereka tidak pernah mendatangi rumah Agnes saat lebaran, itu membuat Agnes “sakit hati”.

Sekarang kita mengunjungi kakak-kakak sepupu saya.

Setiap kali lebaran datang, saya bersama ibu dan adik-adik mengunjungi rumah kakak-kakak sepupu saya, yaitu A, B, dan C. Seperti yang disebut tadi, rumah mereka berdekatan. Saat kami (saya, ibu, dan adik-adik) berkunjung ke rumah A, biasanya B dan C ikut ngumpul di rumah A. Artinya, kami semua sudah ketemu di rumah A.

Tetapi, meski begitu, ibu saya tetap mengajak kami, anak-anaknya, untuk mengunjungi rumah B dan C. Kadang saya merasa konyol dengan hal ini, karena berpikir, “Wong tadi sudah ketemu semua di rumah A, kenapa masih harus mengunjungi rumah B dan C?” Tapi karena ibu saya ingin begitu, saya manut saja.

A adalah anak tertua di antara kakak-kakak sepupu saya. Suatu waktu, saya pernah membicarakan keresahan hati Agnes kepadanya, bahwa Agnes merasa “sakit hati” karena tidak pernah dikunjungi setiap kali lebaran. Waktu itu saya bermaksud agar A serta adik-adiknya juga mengujungi Agnes saat lebaran—bukan hanya mengunjungi orang tua Agnes. “Toh rumah mereka berdekatan,” kata saya waktu itu.

Mendengar tuturan saya, A menjawab dengan blak-blakan bahwa mereka (A dan adik-adiknya) memang tidak mengunjungi rumah Agnes, karena Agnes juga tidak pernah berkunjung ke rumah A, B, dan C saat lebaran.

Lha piye iki, pikir saya mendengar jawaban itu.

Jadi, Agnes jengkel karena A, B, dan C tidak pernah mengunjungi rumahnya setiap lebaran. Sementara A, B, dan C juga jengkel karena Agnes tidak pernah mengunjungi mereka setiap lebaran.

Lalu saya iseng tanya, kenapa mereka juga tidak pernah berkunjung ke rumah saya pas lebaran, padahal mereka melewati rumah saya saat akan mengunjungi rumah orang tua Agnes?

A menjawab, “Kami selalu mampir ke rumahmu! Tapi pintu rumahmu selalu tutup, dan tidak ada suara apa pun. Diketuk-ketuk, tetap saja sepi. Kami paham, kamu pasti tidur!”

Jawaban itu bisa jadi memang benar. Karena nyatanya saya selalu tidur setiap lebaran datang!

Balik ke Agnes dan sepupu-sepupu kami. Jadi, itulah lebaran yang saya hadapi. Bagi saya agak ironis. Karena lebaran konon menjadi sarana mempererat tali silaturahmi, tapi yang terjadi justru menimbulkan ketegangan antarfamili.

Secara pribadi, saya tidak peduli orang (famili/saudara) mau datang ke rumah saya pas lebaran atau tidak, karena bagi saya tidak penting. Yang penting adalah kesadaran bahwa kami (masih) terhubung oleh tali persaudaraan, karena terikat oleh hubungan darah. Itulah inti silaturahmi, yakni “mempertautkan orang-orang yang berasal dari satu rahim/garis keturunan yang sama, agar tidak saling tercerai-berai”.

Kesadaran semacam itulah yang, seharusnya, menjadikan kami saling merasa dekat, meski—dalam contoh ini—tidak bertemu di hari lebaran.

Tapi hal mendasar semacam itu tampaknya sulit dipahami orang-orang lain, khususnya para famili dan saudara saya, karena mereka menganggap bahwa saling mengunjungi di hari lebaran adalah bukti nyata bahwa kami bersaudara. Akibatnya, “Kalau kamu tidak mengunjungiku pas lebaran, kamu sudah tidak menganggapku saudaramu.”

Inilah akar kegelisahan saya, hingga menggugat budaya lebaran di Indonesia, sebagaimana yang saya tulis dalam beberapa catatan berikut ini:

Lebaran di Indonesia, dalam perspektif saya, adalah hasil kekacauan pikiran yang menghasilkan setumpuk kekacauan lain. Dalam contoh sederhana adalah yang terjadi pada saudara-saudara sepupu saya. Mereka telah terdoktrin bahwa Idul Fitri adalah waktu untuk “bersilaturahmi dan bermaaf-maafan”, khususnya di antara saudara. Akibatnya, ketika itu tidak terjadi, mereka merasa persaudaraan mereka lepas.

Ini ironis, dan menyedihkan, khususnya jika kita menyadari bahwa Idul Fitri sebenarnya tidak dimaksudkan untuk itu!

Idul Fitri, sebagaimana asal istilah tersebut, adalah “hari raya makanan” (berasal dari kata Ied yang artinya “hari raya” dan Fithr yang artinya “makan/makanan”). Idul Fitri dimaksudkan sebagai hari raya—untuk bebas menikmati makan dan minum—setelah sebulan berpuasa. Itulah makna Idul Fitri, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan maaf-maafan atau silaturahmi.

Sayangnya, ada kekeliruan di Indonesia terkait pemaknaan Idul Fitri, yang sekarang menimbulkan kekacauan massal. Di Indonesia, Idul Fitri diartikan “kembali suci”. Saya benar-benar tidak paham bagaimana pelajaran shorof dasar terkait istilah Idul Fitri bisa disalahpahami sedemikian kacau seperti ini.

Sebagian orang meyakini Idul Fitri sebagai “kembali suci”, karena mengartikan akar kata (bahasa Arab) secara keliru. Ied dalam Idul Fitri diartikan “kembali”—dikira berasal dari kata “ya’udu”.

Dalam bahasa Arab, “ya’udu” memang artinya “kembali”. Tapi itu bukan akar kata “Ied” dalam Idul Fitri! Dalam ilmu shorof, “kembali” berasal dari kata “’ada – ya’udu – ‘audatan”. Karenanya, “orang yang kembali” tidak disebut “Ied”, melainkan “Audah”. Sekilas memang terdengar mirip, tapi artinya jauh berbeda!

Sementara “Ied” dalam “Idul Fitri” artinya “Hari Raya”. Jika dijamakkan, menjadi “A’yad”. Silakan buka kamus Bahasa Arab jika ingin memastikan! Karenanya, dalam bahasa Arab, Hari Natal disebut “Iedul Milad” (Hari Kelahiran), sementara Hari Kemerdekaan disebut “Iedul Wathan”. Begitu pun, Hari Raya Kurban disebut “Iedul Adha”. Karena “Ied”, nyatanya, berarti “Hari Raya”—bukan “Kembali”.

Omong-omong. Kalau “Ied” diartikan “Kembali”, lalu bagaimana kita mengartikan “Idul Adha”?

Kekacauan berikutnya adalah kata “Fitri” pada “Idul Fitri”. Sebagian orang mengira “fitri” di situ artinya “suci”, padahal bukan! “Fitri” dalam “Idul Fitri” berasal dari kata “Fithr” (tanpa ta’ marbutoh), yang artinya “makan/makanan”. Kata dasar “fithr” inilah yang membentuk kata “fathur” (makan pagi), atau “ifthar” (buka puasa).

Sayangnya, sebagian orang mengira “Fitri” dalam “Idul Fitri” berasal dari kata “Fitrah” (menggunakan ta’ marbutoh). Dalam bahasa Arab, “Fitrah” artinya memang “Suci/Kesucian”, tapi itu bukan asal kata Idul Fitri!

Jadi, mengartikan “Idul Fitri” sebagai “kembali suci” adalah otak-atik-gatuk ala teori konspirasi. Makin terdengar benar, ketika otak-atik-gatuk itu ditambahi kalimat seperti ini: “Sebulan lamanya kita berpuasa, menahan haus, lapar, dan nafsu. Kini, kita merayakan hari raya Idul Fitri, yang artinya kembali suci. Untuk melengkapi kesucian kita saat ini, mari isi lebaran dengan maaf-maafan pada sesama, agar hilang semua salah dan dosa kita, seperti bayi baru lahir.”

Kedengarannya sangat benar, padahal keliru total!

Esensi Idul Fitri adalah untuk merayakan makanan, dalam arti bebas makan, setelah sebulan berpuasa. Bagaimana esensi itu bisa menyimpang jauh, sampai merasa “suci seperti bayi baru lahir”?

Yang membuat saya gelisah selama ini, kenapa tidak ada ustaz/ulama yang mau terbuka mengatakan bahwa kita selama ini telah keliru mengartikan Idul Fitri?

Kenapa masyarakat luas—yang awam soal agama—tidak pernah diberi tahu kenyataan ini, bahwa Idul Fitri sebenarnya “sekadar” hari raya untuk menikmati makanan? Kenapa masyarakat dibiarkan keliru dari tahun ke tahun, hingga terus menganggap lebaran sebagai waktu untuk “menyambung tali silaturahmi dan bermaaf-maafan”?

Oh, ya, saya bisa mengira jawabannya, khususnya mengingat konteks Indonesia yang memang mengalami akulturasi antara agama dan budaya setempat. Kemungkinan besar, jawabannya akan seperti ini, “Bermaaf-maafan, khususnya di hari lebaran, itu baik. Bersilaturahmi di hari lebaran, itu baik. Jadi kenapa dipersoalkan?”

Sebenarnya, itu layak dipersoalkan!

Sekarang, agar protes saya lebih adil, mari gunakan analogi yang sebanding.

Di antara ribuan hadis, ada banyak hadis dhaif. Di antara banyak hadis dhaif, tidak semuanya buruk, karena ada banyak pula hadis dhaif yang isinya baik, sehingga boleh diajarkan atau diikuti isinya. Karenanya pula, guru/ustaz boleh mengajarkan hadis dhaif pada murid atau santrinya. Tetapi... ada etika yang wajib dipatuhi terkait hal itu!

Ketika mengajarkan suatu hadis dhaif, guru/ustaz harus jujur mengatakan bahwa itu hadis dhaif! Misalnya, “Isi hadis ini baik, dan boleh diikuti. Tetapi, ini hadis dhaif.”

Pemberitahuan seperti itu termasuk kewajiban guru terhadap murid, atau tanggung jawab moral ustaz/ulama pada umatnya. Ini tak jauh beda dengan dunia akademisi, ketika seorang ilmuwan mempresentasikan penelitiannya. Ilmu pengetahuan—termasuk pengetahuan agama—menuntut kejujuran!

Sekarang bandingkan posisi hadis dhaif dengan kekeliruan massal terkait pengertian Idul Fitri di Indonesia. Ini jenis kekeliruan massal yang bahkan diwariskan turun temurun, dari generasi ke generasi, hingga orang-orang—khususnya umat Islam—makin jauh dari esensi Idul Fitri, dan tidak paham arti hari rayanya sendiri. Apa yang lebih ironis dari itu?

Disuruh merayakan makanan (iedul fithri), malah merasa suci seperti bayi baru lahir! Sebagai bagian dari umat Islam, saya benar-benar merasa ini sangat ironis.

Karenanya, nuwun sewu, ustaz/ulama yang tahu tapi selama ini diam tanpa pernah memberitahukan kekeliruan itu, tak jauh beda dengan guru yang mengajarkan hadis dhaif tanpa memberi tahu bahwa itu hadis dhaif! Ada pengetahuan yang keliru tapi tak pernah diluruskan, ada tanggung jawab moral yang tak pernah ditunaikan, ada kewajiban “utlubul ilmu” yang cedera.

Saya sepakat bahwa bermaaf-maafan itu baik, termasuk bermaaf-maafan di hari lebaran. Tetapi, masyarakat harus disadarkan bahwa itu bukan kewajiban! Artinya, bermaaf-maafan tidak perlu menunggu datangnya lebaran. Di sisi lain, kalau ada orang yang tidak bermaaf-maafan di hari lebaran, ya tidak apa-apa—jangan dianggap aneh apalagi disalahkan. Masyarakat harus disadarkan bahwa esensi Idul Fitri adalah untuk merayakan makanan, dan bukan untuk maaf-maafan!

Sayangnya, masyarakat tidak pernah diberi tahu, hingga mereka belum juga sadar. Mereka masih menganggap bermaaf-maafan di hari lebaran adalah kewajiban. Akibatnya, mereka menunggu setahun—sampai datangnya lebaran—hanya untuk meminta maaf. Di sisi lain, mereka menganggap orang yang tidak bermaaf-maafan di hari lebaran sebagai kesalahan. Ini benar-benar mirip orang mengikuti ajaran hadis dhaif, tapi tidak pernah sadar bahwa itu hadis dhaif!

Yang bermasalah, “hadis dhaif” ini rentan menimbulkan masalah, khususnya dalam persaudaraan. Setidaknya, seperti yang dialami sepupu-sepupu saya. Mereka menganggap mengunjungi saudara di hari lebaran adalah kewajiban. Ketika tidak dikunjungi, mereka marah. Itu ironis, mengingat lebaran di Indonesia digembar-gemborkan sebagai sarana menyambung tali silaturahmi, tapi tali itu justru rentan terputus gara-gara lebaran.

Dalam perspektif saya, akan lebih mudah—dan lebih baik—jika masyarakat memahami bahwa Idul Fitri adalah hari raya untuk menikmati makanan, sesuai yang diajarkan agama, bukan untuk “bermaaf-maafan” atau “menyambung tali silaturahmi”.

Dengan memahami kenyataan itu, mereka akan “berada di tempat yang benar”—sekali lagi, sesuai yang diajarkan agama. Ketika Idul Fitri tiba, mereka tenang di rumah masing-masing, menikmati makanan, sesuai esensi Idul Fitri. Tidak ribut, juga tidak ribet.

Karena mereka sadar bahwa Idul Fitri bukan “untuk maaf-maafan”, mereka pun tidak bisa lagi menunggu datangnya lebaran hanya untuk minta maaf. Konsekuensinya, mereka akan punya tanggung jawab moral untuk segera minta maaf, kapan pun merasa bersalah. Tidak bisa lagi berdalih “nanti tunggu lebaran”, karena mereka sadar bahwa lebaran untuk menikmati makanan, bukan untuk maaf-maafan.

Begitu pula dengan silaturahmi. Esensi silaturahmi adalah menyambung tali persaudaraan, khususnya yang berasal dari “satu rahim”—garis keturunan—misalnya saya dengan para sepupu, keponakan, paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya.

Menyambung tali silaturahmi adalah proses berkelanjutan, terus menerus, karena fungsinya “menjaga ikatan”. Sayangnya, gara-gara kekeliruan memahami makna Idul Fitri, masyarakat Indonesia seenaknya sendiri. Rata-rata mereka menganggap bahwa silaturahmi hanya dilakukan setahun sekali, pas hari lebaran. Akibatnya, ketika ada sanak saudara yang tidak dikunjungi, mereka bisa marah. Sepupu saya adalah contohnya.

Akan lebih baik, jika masyarakat menyadari bahwa Idul Fitri bukan waktu untuk bersilaturahmi. Dengan kesadaran itu, mereka akan terbiasa—atau membiasakan diri—untuk saling mengunjungi saudaranya kapan pun, tanpa harus menunggu datangnya lebaran. Dan itulah esensi silaturahmi. Bukankah itu lebih baik?

....
....

Ocehan ini, kalau saya lanjutkan, bisa panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 9634 Hijriah. Tapi karena saya sudah capek, saya cukupkan sampai di sini. Sebelum mengakhiri, saya ingin kembali mengingat poin-poin penting tadi.

Pertama, arti “Idul Fitri” bukan “kembali suci”, tapi “hari raya makanan”, yaitu hari raya untuk menikmati makanan, setelah sebulan berpuasa.

Kedua, lebaran atau Idul Fitri tidak dimaksudkan untuk bermaaf-maafan. Karenanya, jika ada yang ingin maaf-maafan di hari lebaran ya silakan, wong itu hak setiap orang. Tetapi, jika ada orang yang tidak bermaaf-maafan di hari lebaran, jangan disalahkan—karena nyatanya mereka memang tidak salah.

Ketiga, silaturahmi adalah upaya menjaga ikatan persaudaraan yang berasal dari satu rahim, atau satu garis keturunan, agar sanak saudara (terus) saling mengenal. Dan lebaran atau Idul Fitri bukan waktu yang diwajibkan untuk silaturahmi. Artinya, kita bisa melakukan silaturahmi kapan pun, tanpa harus menunggu datangnya lebaran.

Terakhir, selamat Idul Fitri.

 
;