Kalau kamu menyatakan cinta dan ditolak, ada dua kemungkinan.
Kamu tidak pantas untuknya, atau dia tidak pantas untukmu. Tertawakan saja.
Rata-rata pria pernah ditolak saat menyatakan cinta kepada wanita, dan patah hati karenanya. Saya pun pernah—dulu, zaman masih remaja. Saya tidak menyesalinya, karena saya anggap sebagai pengalaman berharga. Sekarang, kalau mengingat kejadian itu, saya malah senyum-senyum sendiri.
Seperti umumnya remaja lain, saya juga pernah mengenal cinta monyet, mengenal perasaan jatuh cinta pada seseorang, dan mengenal patah hati. Kalau mengingat masa-masa itu, rasanya benar-benar konyol. Saya mikirnya, “Kok bisa dulu aku kayak gitu?” Tapi, yeah... namanya juga remaja.
Ketika tumbuh dewasa, ada banyak perubahan di dalam diri kita. Bukan hanya perubahan fisik, tapi juga perubahan nalar, perubahan cara berpikir, yang semuanya tentu semakin dewasa seiring usia. Meski begitu, kadang ada hal-hal tertentu yang sulit berubah. Misalnya sifat-sifat tertentu.
Saya, misalnya, dari dulu tetap kikuk kalau mau pedekate pada seseorang. Boro-boro pedekate, wong mau menyapa orang lain yang tidak kenal saja, saya sering kebingungan.
Di Twitter, misalnya, kadang saya ingin menyapa seseorang, atau menanyakan sesuatu kepadanya—terkait tweet yang dia tulis—tapi sering ragu-ragu. Saya mikirnya, “Bagaimana kalau dia nanti terganggu? Bagaimana kalau dia jadi tidak nyaman? Bagaimana kalau sapaanku membuatnya tak berkenan?”
Jadi, alih-alih menyapa atau menanyakan sesuatu seperti yang saya bayangkan, pada akhirnya saya memilih diam saja. Kalau pun saya masih penasaran terkait sesuatu—hal yang ingin saya tanyakan kepadanya—saya beralih ke Google dan berusaha mencari jawabannya sendiri. Bagi saya, itu lebih baik, daripada mengganggu orang lain.
Perasaan semacam itu saya rasakan, tak peduli ketika saya ingin menyapa wanita atau sesama pria. Karenanya pula, kalau akhirnya saya benar-benar menyapa seseorang, biasanya karena saya sudah yakin dia orang ramah. Jika saya tidak yakin dia orang ramah—atau saya tidak yakin dia akan merespons dengan baik—mending saya diam.
Dengan “kondisi” semacam itu, bayangkan bagaimana repotnya saya ketika ingin pedekate pada seseorang. Wong sekadar menyapa sesama pria saja saya sering kebingungan, apalagi pedekate pada wanita?
Tetapi, diam-diam, kondisi itu ternyata juga menjadi semacam “berkat” bagi saya, hingga tidak sampai patah hati ketika ditolak.
Ketika membuka percakapan dengan seseorang yang masih asing—percakapan biasa, bukan pedekate—saya harus menyiapkan diri dulu sampai lama. Ketika sapaan saya direspons dengan baik, dan saya merasa nyaman, saya bisa melanjutkan, dan—seiring percakapan yang mengalir dari waktu ke waktu—bisa jadi kami kemudian merasa saling kenal, hingga berteman, karena adanya kenyamanan.
Sebaliknya, ketika sapaan saya direspons dengan negatif/tidak baik, atau tidak direspons sama sekali, saya pun berhenti. Karena saya akan berpikir, “Mungkin aku telah mengganggunya.”
Respons yang tidak baik akan membuat saya tidak nyaman. Dan kalau saya tidak nyaman, saya tidak akan melanjutkan apa pun. Sekali lagi, itu interaksi biasa dengan orang lain—bukan pedekate.
Ketika ingin pedekate pada seseorang, saya harus menyiapkan diri dan memikirkannya sampai lama, mencari cara yang tepat untuk membuka percakapan dengannya, berharap dia tertarik merespons saya. Itu sesuatu yang melelahkan, jujur saja. Dan ketika saya benar-benar membuka percakapan dengannya, sikapnya akan sangat menentukan langkah selanjutnya.
Kalau wanita yang saya dekati menunjukkan respons yang baik, dan membuat saya nyaman, saya akan melanjutkan. Tapi kalau responsnya tidak baik, atau malah tidak ada respons sama sekali, saya pun berhenti saat itu juga. Simpel, sederhana, dan tidak ada yang terganggu.
Ketika pedekate pada seseorang dan dia menunjukkan sikap yang negatif—respons yang tidak baik—saya akan mengartikannya sebagai penolakan. Karena dia menunjukkan sikap menolak, saya pun tahu diri, dan berhenti mendekatinya. Sekali lagi, simpel, sederhana, dan tidak ada yang terganggu.
Dengan cara semacam itulah, saya mampu menghadapi penolakan tanpa patah hati, meski istilah “penolakan” di sini mungkin kurang tepat. Intinya, saya akan menganggap sikap atau respons yang negatif sebagai “penolakan”. Dan sikap terbaik menghadapi penolakan, menurut saya, adalah berhenti.
Setelah dewasa, saya menyadari kenyataan itu, bahwa sia-sia mendekati orang yang tidak tertarik kepada kita, sama sia-sia jatuh cinta kepada orang yang tidak jatuh cinta kepada kita. Karenanya, sebelum ada yang terganggu apalagi tersakiti, langkah terbaik adalah berhenti.
Bagaimana kalau si wanita menunjukkan sikap/respons menolak, padahal itu cuma cara dia “jinak-jinak merpati” dan berharap agar saya terus mendekatinya?
Oh, itu masalah dia—bukan masalah saya.
Intinya, saya akan menggunakan sikapmu untuk menentukan langkah selanjutnya. Sikapmu baik, saya akan meneruskan. Sikapmu tidak baik, saya akan berhenti. Sekali lagi, simpel, sederhana, dan tidak banyak drama. Karenanya, sikap “jinak-jinak keparat”—atau apa pun namanya—tidak berlaku bagi saya. Entah dengan cowok lain.
Prinsip saya sederhana saja, “Aku tertarik kepadamu. Kalau kau juga tertarik kepadaku, mari buat segalanya lebih mudah.”
Hidup sudah banyak masalah. Kalau cinta—sesuatu yang seharusnya membahagiakan—justru tampak seperti masalah, saya tidak tertarik.
Itulah yang saya pikirkan ketika menghadapi sikap tidak baik, respons yang negatif, atau hal lain semacamnya; tidak tertarik. Dan ketertarikan saya benar-benar akan lenyap.
(Wong saya mau menyapa seseorang saja sudah sangat kerepotan. Berusaha memberanikan diri untuk membuka percakapan saja rasanya sangat melelahkan. Kalau kemudian responsnya tidak menyenangkan, saya pikir eman-eman waktu, usaha, dan energi yang dikeluarkan. Mending melakukan hal-hal lain yang lebih bermanfaat).
Itulah kunci penting yang mampu membuat saya tidak patah hati ketika menghadapi penolakan, bahkan umpama ditolak seribu kali!
Saya bukan lagi remaja-budak-hormon yang menggebu-gebu saat mendekati seseorang, yang sudi menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan seseorang, yang rela dan bersedia melakukan apa pun demi cinta pada seseorang... meski akhirnya ditolak. Mohon maaf, saya bukan lagi remaja tolol semacam itu.
Seperti yang sering dikatakan anak Twitter, “Jatuh cinta adalah usaha dua orang. Kalau usaha satu orang, namanya wiraswasta.”
Kini, setelah dewasa, dan jatuh cinta pada seseorang, saya hanya mencintai sewajarnya. Ketika orang yang membuat saya tertarik menunjukkan ketertarikan serupa, saya tentu akan bahagia, dan melanjutkan langkah menuju kepadanya. Sebaliknya, ketika orang yang membuat saya tertarik menunjukkan sikap sebaliknya, saya pun berhenti.
Mudah, simpel, sederhana, dan tidak ada yang terganggu.
Jadi, buat cowok-cowok yang mungkin sering patah hati karena ditolak seseorang yang membuat jatuh cinta, dan tidak ingin patah hati lagi, saya bisa menyarankan hal ini; jatuh cintalah sewajarnya, dan segera berhenti sebelum terluka.
Tidak usah menggebu-gebu, tidak perlu menganggap dia segalanya, apalagi sampai berpikir kau tidak bisa hidup tanpanya. Kau bisa hidup tanpanya, dan kau bisa pegang kata-kata saya.
Tetapi, tentu saja, ini cuma saran. Namanya saran, kau boleh menerima, juga boleh menolak. Kalau kau menerima, tidak ada untungnya bagi saya. Dan kalau pun kau menolak, juga tidak ada ruginya bagi saya. Karena dunia dan seisinya, termasuk cinta, sebenarnya biasa saja.