Rabu, 10 Juni 2020

Jalan Pagi

Tadi malam:
Bocah 1: Besok pagi, olah raga bareng, yuk.
Bocah 2: Oke.

Pagi ini:
Bocah 2: *Nilpon* Jadi mau olah raga bareng?
Bocah 1: *Suara ngantuk* Uhm... dinginnya kok gini amat, ya? 
Kayaknya lebih enak tidur lagi aja.

Bah!

Pagi hari, kalau pas lagi rajin, saya pergi ke alun-alun untuk berolah raga. Ringan saja olah raganya, yaitu berjalan cepat mengelilingi alun-alun. Berapa kali? Tak terhitung, pokoknya sampai tubuh berkeringat, dan saya merasa lelah hingga tak mampu melanjutkan.

Dulu, saat memulai olah raga, saya hanya berjalan santai mengelilingi alun-alun. Hanya jalan santai, seperti saat kita jalan-jalan di swalayan. Sampai lama saya melakukan aktivitas jalan santai seperti itu, dan setiap pagi saya bisa mengelilingi alun-alun berkali-kali, tanpa berkeringat sama sekali. Wong tidak mengeluarkan tenaga! Tapi saya menikmatinya.

Saya menikmati aktivitas jalan santai itu, karena suasananya memang menyenangkan, sekaligus menenangkan. Hari masih sangat pagi, udara masih bersih, lalu lintas di sekeliling alun-alun belum ramai, hingga minim polusi. Saya pikir, itu sarana mendapatkan oksigen yang “layak hirup”.

Belakangan, saya meningkatkan aktivitas itu dengan berjalan cepat. Jika semula hanya berjalan pelan, sekarang saya berjalan cepat seperti mau melabrak orang—kira-kira begitulah. Berbeda dengan jalan santai, jalan cepat membutuhkan energi. Artinya, saya harus mengeluarkan tenaga untuk berjalan cepat mengelilingi alun-alun sampai berkali-kali. Karena mengeluarkan energi, tubuh saya pun berkeringat.

Dalam aktivitas jalan cepat, saya membutuhkan proses, dan pelan-pelan saya menyadari peningkatan yang terjadi. Mula-mula, saya hanya mampu berjalan cepat mengelilingi alun-alun sepuluh kali, lalu kelelahan dan berkeringat, dan merasa sudah tak mampu lagi melanjutkan. Setelah itu, saya akan duduk-duduk di kursi yang banyak tersedia di alun-alun, dan menenangkan napas.

Perlahan-lahan, saya mampu meningkatkan kemampuan. Beberapa waktu setelah itu, saya bisa berjalan cepat mengelilingi alun-alun sampai sebelas kali, lalu dua belas kali, tiga belas kali, empat belas kali, lima belas kali, dan seterusnya. Biasanya, saya baru berhenti setelah napas ngos-ngosan, wajah penuh keringat, dan terduduk di kursi sambil merasa tak mampu melanjutkan lagi. Lelah, berkeringat, tapi rasanya nikmat sekali.

Saya biasa menikmati aktivitas itu sendirian, atau bersama Adit, seorang teman. Biasanya kami ketemu di sana, lalu olahraga bersama. Saat sama-sama kelelahan setelah berjalan cepat mengelilingi alun-alun, kami biasanya duduk di kursi sambil mengatur napas kembali.

Setelah energi mulai pulih, kami akan melanjutkan olah raga, sampai nanti kelelahan lagi. Kami sama-sama menikmati sensasi menyenangkan saat tubuh berkeringat, karena energi yang terkuras. Aktivitas semacam itu kami lakukan hampir setiap hari.

Tempo hari, seperti biasa, saya berangkat ke alun-alun untuk olah raga. Seperti biasa pula, Adit juga muncul, lalu kami melangkah cepat bersama, mengelilingi alun-alun. Memasuki putaran kelima, kami mendapati sepasang pria wanita—mungkin suami istri—yang tampak berjalan santai mengelilingi alun-alun. Mereka berjalan perlahan, seperti yang dulu pernah saya lakukan.

Karena saya dan Adit berjalan cepat, kami pun bisa mengelilingi alun-alun dua hingga tiga kali, sementara pasangan suami istri tadi baru mengelilingi alun-alun satu kali. Ketika saya dan Adit mulai berkeringat, pasangan suami istri itu masih tampak santai. Akhirnya, setelah sepuluh kali lebih memutari alun-alun, dan Adit maupun saya mulai kelelahan, pasangan suami istri tadi masih tampak enjoy meneruskan langkah mengelilingi alun-alun.

Seperti biasa, kami akan beristirahat sebentar, duduk-duduk di kursi, sambil mengatur napas dan memulihkan energi. Waktu itu Adit maupun saya sama-sama berkeringat, juga sama-sama senang, karena merasakan sensasi menyenangkan yang biasa muncul saat tubuh berkeringat.

Ketika kami masih duduk di kursi, pasangan suami istri tadi lewat di depan kami. Di luar dugaan, si pria atau si suami berkata pada kami, “Saya tadi bilang ke istri saya, kalian pasti akan cepat lelah karena berjalan dengan sangat bernafsu. Sekarang terbukti. Saya belum capek sama sekali, tapi kalian sudah kelelahan dan berkeringat. Makanya santai saja, tidak usah terlalu nafsu!”

Saya dan Adit cuma diam, saling berpandangan dengan bingung, sementara pasangan suami istri tadi terus melanjutkan jalan santai. Lalu saya melepas senyum, seperti orang yang dongkol campur merasa geli. Adit paham ekspresi saya, dan dia ikut nyengir.

Pria tadi mungkin mengira kami “para pemula” yang baru menapakkan kaki di alun-alun, dan dia mungkin merasa lebih tahu. Padahal kami sudah biasa melakukan yang kami lakukan, dan kami tahu apa yang sedang kami lakukan. Kami memang sengaja berjalan sangat cepat—atau bernafsu, sesuai istilahnya—bukan karena tidak tahu hal itu akan membuat kami kelelahan, tapi justru karena kami tahu!

Jauh sebelum dia dan istrinya berjalan santai di alun-alun—kami baru mendapati dia satu kali itu—saya maupun Adit sudah lama melakukan yang dia lakukan. Berjalan santai mengelilingi alun-alun sampai puluhan kali, dan kami tidak berkeringat sama sekali! Berjalan santai terlalu ringan bagi kami, karena sama sekali tidak mengeluarkan energi. Meminjam istilah Captain America, “Aku bisa melakukan ini seharian!”

Karena kesadaran itu, kami meningkatkan yang kami lakukan. Dari berjalan santai jadi berjalan cepat, setara dengan aktivitas lari. Agar energi keluar, kalori terbakar, dan tubuh berkeringat. Aktivitas jalan cepat atau lari tentu membuat kami cepat lelah dan berkeringat, karena memang mengerahkan energi, tapi justru itu yang kami tuju! Dan saat kami tersengal-sengal di kursi alun-alun, kami bukan hanya kelelahan, tapi juga merasakan kesenangan dari yang kami lakukan.

Sayangnya, Adit maupun saya tidak bisa menjelaskan uraian itu kepadanya, karena dia tidak bertanya dan tidak meminta penjelasan. Sebenarnya, dia memang tidak bermaksud bertanya atau pun meminta penjelasan—dia hanya ingin menyampaikan opininya tentang orang lain, yang ia pikir pasti benar, meski ternyata tidak benar. Mirip sebagian kita.

Orang kadang—bahkan sering kali—terlalu mudah menarik kesimpulan dari asumsi yang mereka buat sendiri, lalu menggunakannya untuk menilai orang lain. Seperti lelaki tadi. Dia pasti mengukur kami menggunakan dirinya sendiri, mengira kami dengan skala pikirannya sendiri, dan menyimpulkan kami berdasarkan pengalamannya sendiri.

Tapi lelaki tadi masih layak dipuji, karena setidaknya dia mengatakan langsung isi pikirannya kepada kami. Dan karena dia tidak meminta penjelasan, saya maupun Adit tidak merasa perlu memberi penjelasan. Setidaknya kami tahu isi pikirannya—yang keliru. Dan kami sama-sama nyengir karena merasa lucu.

 
;