Senin, 01 Juni 2020

Arti Sebenarnya Silaturahmi

“Bersilaturahmi dengan sesama pengguna Twitter.”

Bersilaturahmi kok dengan sesama pengguna Twitter. Itu bukan silaturahmi. Lebih tepat, mungkin, disebut “mempererat persahabatan”, atau “menjaga pertemanan”, antar-pengguna Twitter (atau antar-apa saja).

Istilah silaturahmi, sesuai makna aslinya, hanya berlaku bagi orang dengan orang-orang lain yang satu garis keturunan. Istilah itu berasal dari kata “shilah” dan “rahim”, yang arti mudahnya “hubungan kekerabatan yang berasal dari satu rahim (keturunan)”.

Karenanya, “memutus silaturahmi” ditujukan pada orang-orang yang memutus hubungan dengan orang lain, dan mereka memiliki garis darah dari satu leluhur yang sama (antarfamili atau antarsaudara). Misalnya kita putus hubungan dengan kakak, adik, sepupu, atau paman, atau bibi, dan seterusnya. Itulah yang disebut memutus silaturahmi.

Kalau kita ribut dengan tetangga, lalu saling bodo amat, itu bukan memutus silaturahmi, tapi “ribut antartetangga”.

Kalau kita tidak mau kenal lagi dengan seorang teman, misal karena dia ternyata bajingan yang diam-diam menusuk dari belakang, itu bukan memutus silaturahmi, tapi memutus hubungan pertemanan.

Akulturasi—atau apa pun namanya—antara agama dan budaya itu baik, pada hal-hal tertentu. Tapi ada kalanya juga menimbulkan kekacauan. Contohnya pada istilah silaturahmi. Istilah “silaturahmi” diadopsi oleh bahasa Indonesia, lalu artinya jauh melenceng dan berbeda dari makna aslinya, dan digunakan seenaknya sendiri.

Orang cuma kenal di Facebook, misalnya, lalu terjadi cekcok dan saling unfriend. Lalu aktivitas itu disebut “memutus tali silaturahmi”.

Bukan! Itu bukan memutus silaturahmi, tapi memutus hubungan pertemanan di Facebook. Kecuali kalau yang di-unfriend itu memang adik kandungmu, atau sepupumu, atau bibimu, atau pamanmu, dan seterusnya.

Kenal paling di medsos, kok bawa-bawa istilah silaturahmi.

 
;