Luka kita dapat mengingatkan pada masa lalu yang nyata. —Hannibal Lecter
Yang menarik dari kisah Hannibal Lecter, ia antagonis yang menjadi tokoh utama. Karenanya, kisah-kisahnya bukan tentang kepahlawanan ala superhero atau tokoh hebat yang menginspirasi kebaikan, tapi tentang perjalanan luka seseorang yang menjadikannya sosok mengerikan.
Hannibal Lecter mungkin tidak akan menarik, andai dia antagonis biasa dengan kemampuan rata-rata dan menjalani hidup mbah-mbuh. Yang membuatnya menarik, bahkan mempesona, dia sosok antagonis yang... well, akademis—kalau boleh disebut begitu.
Dia memiliki kecerdasan di atas rata-rata, bahkan genius, dengan penampilan dan tutur kata menawan, serta selera pribadi yang mewah. Semua itu, bercampur dengan luka dan trauma yang dialaminya, menjadikannya sosok yang sangat berbahaya. Cerdas sekaligus kejam luar biasa.
Aku mengimpikan bisa menulis novel tentang sosok semacam itu. Sang tokoh utama bukan protagonis hebat yang menginspirasi kebaikan, tapi justru sang antagonis yang—meski cerdas dan menawan—menjalani hidup penuh luka, trauma, hingga menjadi sosok mengerikan... sekaligus mempesona.
Omong-omong soal Hannibal, aku jadi ingat tokoh-tokoh antagonis dalam novel-novel Dan Brown. Tokoh-tokoh antagonis dalam novel-novel Dan Brown juga selalu mempesona, bahkan sebenarnya merekalah yang menjadi tokoh utama, bukan Robert Langdon. Fungsi Langdon hanya narator.
Robert Langdon tidak akan ada, tanpa tokoh-tokoh antagonis yang muncul dalam hidupnya. Dalam hal itu, Dan Brown agak "licik", karena dia tidak hanya menjadikan Langdon sebagai narator yang menyeret pembaca ke dalam kisahnya, tapi juga difungsikan sebagai semacam kompas moral.
Edmond Kirsch dalam novel Origin, misalnya, adalah tokoh yang mempesona. Dia semacam perpaduan Elon Musk dan Richard Dawkins. Genius dalam bidang teknologi, kaya-raya, sekaligus memiliki pemikiran yang mengerikan... atau mungkin harus kukatakan, "mampu mengguncang umat manusia".
Begitu pula Bertrand Zobrist dalam novel Inferno. Sebelas dua belas dengan Edmond Kirsch—muda, genius, kaya-raya, dan memiliki visi yang mampu mengubah dunia, atau bahkan meruntuhkan peradaban manusia. Aku suka dua bocah itu!
Dan Robert Langdon? Nothing, dia cuma narator.
Di situlah "kelicikan" Dan Brown. Dia sengaja menempatkan tokoh-tokoh hebat yang visionaris itu sebagai antagonis. Sama seperti film Hollywood—tokoh-tokoh hebat diplot sebagai bajingan. Dari Soloman Lane, Kurt Hendricks, Magneto, Thanos, sampai... ya, tentu saja, En Sabah Nur.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 November 2019.