“The little boy was already dead... in the snow. His heart was
already dead. He cannot be described now, except as a monster.”
—Quote from Hannibal Rising
“Di balik tubuh dewasa saya, ada anak kecil terluka yang tak pernah
already dead. He cannot be described now, except as a monster.”
—Quote from Hannibal Rising
“Di balik tubuh dewasa saya, ada anak kecil terluka yang tak pernah
berhenti menangis. Di balik kehidupan saya yang tampak normal dan biasa, ada
jiwa yang berdarah, hati yang bernanah... sebuah luka yang terus menganga.”
jiwa yang berdarah, hati yang bernanah... sebuah luka yang terus menganga.”
—Quote dari Korban Broken Home
Ibu saya menggemari ceramah Mamah Dedeh. Kita tahu, Mamah Dedeh berceramah dengan gaya seorang wanita yang berbicara kepada sesama wanita. Topik ceramahnya pun sering kali membahas kehidupan wanita, kehidupan ibu, masalah keluarga, urusan dengan suami, mendidik anak, dan semacamnya. Karenanya pula, jamaah Mamah Dedeh juga kebanyakan wanita, termasuk ibu saya.
Daya tarik Mamah Dedeh adalah kemampuannya dalam mengangkat topik-topik sederhana—dalam kehidupan sehari-hari, yang lekat dengan kehidupan wanita—lalu dibahas dengan baik dan bijak, serta mencerahkan, khususnya bagi kaum wanita.
Tentang mendidik anak, misalnya. Mamah Dedeh tidak menyodorkan teori-teori rumit yang sulit dipahami orang awam. Sebaliknya, Mamah Dedeh menjelaskan topik mendidik anak dengan uraian yang mudah dipahami, dengan contoh-contoh sederhana, sehingga jamaahnya bisa langsung mengerti.
Selama menyimak ceramah-ceramah Mamah Dedeh, ibu saya seperti mendapat pencerahan, dan dia mulai introspeksi. Sejak itu pula, dia mulai menyadari bahwa cara dia mendidik anak-anaknya—termasuk saya—ternyata sangat keliru, bahkan sangat salah! Karena itu, selama ini, ibu saya diam-diam menyesal karena telah mendidik serta membesarkan anak-anaknya dengan cara yang ia anggap benar, tapi ternyata sama sekali tidak benar.
Saya tahu kenyataan itu, karena ibu saya mengatakan dan mengakuinya sendiri.
Suatu hari, kami berkunjung ke rumah adik saya yang telah berkeluarga. Ceritanya, adik saya waktu itu punya hajatan, dan ibu, beberapa famili, serta saya, datang ke sana. Di mobil, dalam perjalanan pulang, ibu saya bercerita pada famili, bahwa dia kerap menasihati adik saya tentang cara mendidik anaknya (adik perempuan saya telah punya satu anak laki-laki).
Adik perempuan saya mendidik anaknya, persis seperti ibu kami dulu mendidik anak-anaknya (saya dan adik-adik). Selama ini, saya diam-diam menyaksikan dan menyadari hal itu. Saat melihat adik saya berinteraksi dengan anaknya, saya seperti melihat ibu dulu ketika berinteraksi dengan saya. Tetapi, selama ini, saya hanya diam. Bagaimana pun, itu anak adik saya—bukan anak saya. Jadi, meski sebenarnya tidak setuju dengan cara dia mendidik anaknya, saya merasa tidak punya hak untuk bersuara.
Rupanya, ibu juga menyadari hal itu. Dia melihat cara adik saya mendidik anaknya, serupa seperti dulu cara ibu mendidik kami (anak-anaknya). Ibu pun menasihati adik saya agar tidak mendidik anaknya dengan cara seperti itu. Karena itu cara mendidik yang—ternyata—salah.
Tetapi, meski telah dinasihati, adik saya sepertinya sulit mengubah cara dalam mendidik anaknya. Bagaimana pun, seperti kata peribahasa, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Dalam percakapan di mobil waktu itu, saya pun berkata pada ibu, bahwa cara adik saya mendidik anaknya, adalah hasil “cetakan” yang telah dibuat ibu kepadanya dulu. Bagaimana seorang ibu mendidik anaknya, maka seperti itu pula cara si anak akan mendidik anaknya kelak. Karena, sekali lagi, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dan lingkaran setan selalu dimulai dari kebodohan.
Saya tidak menyalahkan adik saya, sebagaimana saya juga tidak menyalahkan ibu saya. Tetapi, sekarang, saya ingin mengakui kenyataan mengerikan ini. Bahwa saya, sampai saat ini, masih memendam amarah dan luka—amarah dan luka—akibat cara ibu saya yang salah dalam mendidik dan membesarkan. Dan mungkin amarah serta luka di dalam diri saya akan terus terbawa hingga kematian kelak. Karena begitu dalam luka yang telah tergurat....
....
....
Sedari kecil, setidaknya saat SMP, saya sudah mulai menyadari bahwa perlakuan orang tua saya kepada kami (anak-anaknya) bukanlah perlakuan yang benar, bukan cara mendidik yang benar, bukan cara membesarkan anak yang benar. Tetapi, saya bisa apa...? Saya masih kecil, sementara mereka orang tua saya. Dan orang tua mana pun selalu memiliki kecenderungan merasa benar, khususnya di depan anak-anaknya.
Mana mungkin saya berkata pada orang tua saya, “Hei, cara kalian mendidik kami sama sekali tidak benar!”
Bahkan kalau pun saya mengatakan hal itu, apakah mungkin orang tua saya akan mendengarkan? Jawabannya jelas, tidak! Mereka orang tua kami, mereka merasa memiliki hak atas kami, dan mereka meyakini cara mendidik serta membesarkan yang mereka terapkan kepada kami—anak-anaknya—pasti benar. Karena seperti itulah kebanyakan orang tua berpikir.
Jadi, sedari kecil, saya menghadapi perlakuan yang sangat tidak menyenangkan sekaligus salah dari orang tua. Saya anak paling besar. Karenanya, sayalah yang paling menanggung akibat didikan yang salah, yang diterapkan dalam membesarkan saya dan adik-adik. Tidak perlu saya jelaskan secara gamblang bagaimana cara mereka membesarkan kami. Yang jelas, ketika tumbuh dewasa, sayalah yang paling menanggung “kerusakan” akibat perlakuan salah mereka.
Sebagai manusia, ayah dan ibu saya mungkin orang baik. Tetapi, sebagai anak, saya tahu mereka bukan orang tua yang baik. Dalam arti, mereka mendidik dan membesarkan kami—anak-anaknya—dengan cara yang salah, bahkan sangat salah, tapi merasa benar, dan terus melakukannya sampai kami besar. Akibatnya, didikan serta cara membesarkan yang salah itu kemudian—diam-diam—justru menciptakan efek kerusakan.
Ironisnya, ibu saya baru menyadari kenyataan itu sekarang, ketika anak-anaknya telah besar dan dewasa. Ayah saya bahkan mungkin tidak sempat menyadari kesalahannya dalam mendidik kami, karena dia telah meninggal bertahun lalu. Ibu pun baru menyadari kesalahannya yang fatal dalam mendidik kami, setelah dia rajin menyimak ceramah Mamah Dedeh. Kalau saja dia tidak menyimak ceramah Mamah Dedeh, bisa jadi ibu tidak akan menyadari kesalahannya, bahkan kelak sampai mati.
Jadi, sekarang ibu saya sudah menyadari kesalahannya. Tetapi, sayang seribu sayang, kesalahan yang telah ia lakukan bertahun-tahun lalu telah menciptakan kerusakan yang amat parah dalam diri dan mental saya. Kini, saat telah dewasa, saya menyadari tidak utuh sebagai manusia—ada bagian dalam batin saya yang terluka sedemikian parah, hingga mungkin tidak akan pernah sembuh, bahkan sampai akhir hayat kelak.
Itulah luka... luka yang sering saya sebut-sebut... luka yang kadang membuat saya begitu rapuh... luka yang membuat saya sedemikian marah dan murka... luka yang diguratkan oleh orang tua saya sendiri.
Bertahun-tahun lalu, saat saya masih SMP, dan terdampar di jalanan karena kehidupan yang amat miskin, kadang-kadang saya duduk sendirian di tengah malam, di alun-alun yang sepi, lalu menangis... dan berpikir, “Aku tidak minta dilahirkan ke dunia ini. Tapi aku dilahirkan hanya untuk menanggung luka dan penderitaan... luka dan kesengsaraan... luka dan kepahitan... luka dan amarah...”
Dan kata-kata itu bagai mantra yang terus terulang dalam batin saya, karena seperti itulah kehidupan yang saya jalani, hari demi hari, saat saya seharusnya tumbuh ceria seperti anak-anak yang lain, tapi justru dilukai... dilukai... dan dilukai.
Menjalani kehidupan waktu itu, saya membayangkan diri saya adalah serigala yang melolong pada rembulan setiap malam, mencari jawab atas pertanyaan yang tak pernah terjawab, meneriakkan luka yang tak pernah usai.
Dan luka yang tak pernah usai itu, menjadikan saya begitu peka dan sensitif. Sebagai pribadi, saya menyadari ada luka yang menganga mengerikan di dalam batin saya—sebentuk luka yang amat perih. Karenanya, begitu tersentuh sedikit saja, luka itu menciptakan sakit luar biasa, yang membuat saya ingin menjerit.
Bahkan kini, saat dewasa, saya kadang masih menangis sendirian, saat tiba-tiba luka di dalam batin saya terasa perih, saat memori dari masa lalu menyeruak ke dalam pikiran, dan saya merasa begitu marah sekaligus pedih. Marah atas perlakuan orang tua saya sendiri di masa lalu, dan pedih merasakan kerusakan yang saya alami.
Karena itu pula, di dunia nyata maupun di dunia maya, saya sulit didekati siapa pun—kecuali orang yang benar-benar saya percaya—karena saya selalu takut dilukai. Di sisi lain, saya selalu tak bisa menahan amarah setiap kali orang melukai saya, dan luka yang ditimbulkannya akan memunculkan monster tersembunyi di dalam diri saya. Sudah terlalu banyak luka yang tergurat dalam batin, dan—demi iblis di neraka—saya tidak ingin menambahinya.
Selama bertahun-tahun, tanpa diketahui siapa pun, saya terus berusaha mengobati luka-luka di dalam batin saya, amarah di jiwa saya, demi bisa hidup normal. Selama bertahun-tahun, setiap hari, saya mengonsumsi berbutir-butir pil sakit kepala setiap kali “monster” di dalam diri saya mendesak ingin keluar.
“Sakit kepala” sebenarnya eufemisme yang sengaja saya gunakan untuk menutupi kondisi yang saya rasakan, yakni amarah mengerikan akibat luka yang tak juga sembuh. Pil yang saya konsumsi setiap hari memang ditujukan untuk meredakan sakit kepala. Tetapi, sebenarnya, saya mengincar suatu zat di dalamnya, yang ditujukan untuk meredakan ketegangan, agar perasaan saya kembali nyaman.
Apakah ibu saya tahu semua ini? Tidak, karena dia tak pernah bertanya!
Selama ini, dia mungkin mengira cara mendidiknya yang salah bertahun-tahun lalu dapat dianggap “baik-baik saja”, toh dia mendapati saya tumbuh seperti manusia umumnya. Tetapi, tanpa disadarinya, cara dia mendidik saya yang salah bertahun-tahun lalu tidak hanya menciptakan sesosok manusia... tapi juga sesosok monster yang tak terlihat. Cara dia membesarkan saya telah menciptakan kerusakan permanen di diri saya... sebentuk kerusakan yang mungkin akan terbawa sampai ke surga... atau neraka.
....
....
Adik lelaki saya saat ini bekerja sebagai akuntan. Kita tahu, pekerjaan sebagai akuntan adalah bekerja mengurus angka-angka akuntansi. Untuk mendapat pekerjaan tersebut, adik saya harus kuliah bertahun-tahun, termasuk kuliah di STAN.
Hanya untuk mengurus angka-angka saja, orang harus belajar dan kuliah selama bertahun-tahun, hingga di perguruan tinggi yang sangat terpercaya. Mengapa? Karena mengurus angka-angka akuntansi membutuhkan pengetahuan, kemampuan, sekaligus kecermatan.
Sekarang bayangkan, jika untuk mengurus angka-angka yang disebut akuntansi saja membutuhkan proses pembelajaran dan kuliah bertahun-tahun, apalagi mengurus anak-anak yang akan tumbuh menjadi manusia...?
Ironisnya, amat sangat... sangat sedikit orang yang memahami kenyataan penting itu.
Untuk menjadi akuntan dan mengurus akuntansi, orang perlu belajar bertahun-tahun. Untuk menjadi pengacara dan mengurus hukum, orang perlu belajar bertahun-tahun. Untuk menjadi dokter dan mengurus kesehatan, orang perlu belajar bertahun-tahun. Untuk menjadi guru dan mendidik murid di sekolah, orang perlu belajar bertahun-tahun. Tapi untuk menjadi orang tua dan membesarkan anak-anak... mereka sama sekali tidak belajar!
Demi Tuhan, apa yang lebih mengerikan dari itu...?
Ada jutaan—oh, well, miliaran—orang yang begitu pede melahirkan anak-anak, lalu membesarkan dan mendidik anak-anaknya, padahal mereka tidak memiliki pengetahuan memadai, tidak memiliki pemahaman yang mumpuni, pendeknya tidak memiliki kompetensi dalam mendidik dan membesarkan anak. Maka anak-anak itu pun tumbuh di bawah didikan yang keliru, di bawah asuhan yang keliru, dengan cara membesarkan yang keliru.
Seperti yang saya alami. Seperti yang dilakukan orang tua saya kepada anak-anaknya.
Bisa dibilang, orang tua saya—dan miliaran orang tua lain di dunia—memiliki anak-anak bukan dengan kesadaran dan pengetahuan, melainkan sebagai hasil eksperimen mengerikan.
Mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang mendidik dan membesarkan anak, melainkan hanya bermodal keyakinan bahwa mereka bisa melakukan. Apa yang lebih mengerikan dari itu? Ini urusan membesarkan manusia, bukan urusan angka-angka keparat di layar komputer! Tapi mereka melakukan tanpa belajar dan tanpa pengetahuan, melainkan hanya bermodal nekad!
Sekali lagi, saya tidak menyalahkan orang tua saya. Karena, bagaimana pun, orang tua saya adalah hasil didikan orang tuanya. Meski saya tidak melihat bagaimana mereka dulu saat masih kecil, tapi saya yakin cara mereka dididik orang tuanya sama persis seperti cara mereka mendidik saya. Sebuah lingkaran setan yang diawali dari kesalahan yang dianggap benar. Cara mendidik dan membesarkan yang sebenarnya keliru, tapi diyakini benar.
Mungkin saya patut bersyukur, karena setidaknya ibu kini menyadari kesalahannya, mengakui bahwa cara mendidik dan membesarkan anak yang dulu dilakukannya adalah kesalahan, dan sekarang dia menyesal.
Tetapi, seperti yang sering dikatakan orang, penyesalan selalu datang di belakang. Dan penyesalan itu, sayangnya, telah menciptakan begitu banyak kerusakan. Saya tahu betul hal itu. Karena sayalah korbannya, sayalah yang menanggung kerusakan terbesar. Dan kini, setiap malam, saya masih kerap membayangkan diri sebagai serigala yang kesakitan, melolong sendirian di tengah kegelapan... pada hening rembulan.