Dunia tidak punya masalah, karenanya tidak perlu diubah.
Yang punya masalah adalah manusia. Merekalah yang seharusnya berubah.
—@noffret
Yang punya masalah adalah manusia. Merekalah yang seharusnya berubah.
—@noffret
Baim Wong galau, karena sering ditanya “kapan nikah?”. Bukan hanya galau, dia bahkan mengaku sudah bosan, karena begitu sering menerima pertanyaan itu. Dalam wawancara media di Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan (13 Maret 2017), Baim menyatakan, “(Dikasih) Pertanyaan terus, sih. Pertanyaannya, ‘kapan, kapan, kapan’. Nanyain terus, kapan.”
Untung, Baim saat ini sudah punya pacar. Dia sedang dekat dengan wanita asal Surabaya, bernama Luthya Sury. Karena itu, Baim bisa menghadapi pertanyaan “kapan kawin?” dengan cukup mudah. Setidaknya, lebih mudah dibanding umpama tidak/belum punya calon pasangan sama sekali.
Tetapi, hubungan Baim dengan Luthya Sury baru jalan enam bulan. “Kami baru deket,” ujar Baim. Tentu saja mereka, sebagaimana yang dikatakan Baim, ingin cepat-cepat menikah. Tapi menikah tentu tidak semudah membalik telapak tangan, kan? Pernikahan butuh proses, butuh persiapan, dan butuh hal-hal lain, apalagi menyangkut artis terkenal seperti Baim Wong.
Dulu, sebelum punya pacar atau calon pasangan, Baim sudah menghadapi pertanyaan “kapan kawin?” tanpa henti. Sekarang, setelah punya calon pasangan, pertanyaan serupa makin banyak berdatangan. Belum punya pacar dituntut pertanyaan “kapan”, sudah punya pacar pun masih dituntut pertanyaan “kapan”.
Dan pertanyaan “kapan” itu tampaknya tidak akan berhenti, meski kelak Baim telah menikah. Akan selalu ada “kapan” yang lain. Dari “kapan punya anak”, sampai “kapan nambah anak”.
Kenyataan itu bahkan sudah terjadi pada Ryana Dea, artis Indonesia yang lain. Ryana Dea, yang membintangi sinetron serial “Dunia Terbalik”, menikah dengan Puadin Redi. Pernikahan mereka baru jalan lima bulan. Sekali lagi, baru jalan lima bulan!
Tetapi bahkan baru menikah lima bulan pun, Ryana Dea menceritakan, dia sudah terus menerus menghadapi pertanyaan “kapan”, kali ini “kapan punya anak”. Orang-orang di sekelilingnya bertanya apakah dia sudah hamil atau belum. Sebegitu sering menghadapi pertanyaan semacam itu, Ryana Dea sampai mengaku risih.
“Sempat risih, karena semua orang nanyain terus,” ujarnya kepada wartawan, saat acara tasyakuran sinetron “Dunia Terbalik”, di Harjamukti, Cibubur, Jaktim (13 Maret 2017).
Sebenarnya, Ryana Dea mengaku ia bersama suaminya sudah ingin punya anak. Tapi kenyataannya memang dia belum hamil. Ryana maupun Redi tidak menunda untuk punya anak. “Cuma memang belum dikasih aja sama Tuhan,” kata Ryana Dea.
Kisah Baim Wong maupun Ryana Dea hanyalah contoh kasus. Di luar mereka, ada banyak orang yang sama galau, sama bosan, sama risih, sama muak, bahkan mau muntah, karena begitu sering menghadapi pertanyaan “kapan”. Dari “kapan kawin” sampai “kapan hamil”. Yang masih lajang ditanya kapan menikah, yang sudah menikah ditanya kapan punya anak, bahkan yang sudah punya anak pun masih ditanya kapan nambah anak.
Alangkah sulit menjalani hidup sebagai manusia, kalau dipikir-pikir. Semua orang menginginkan yang lain sama, dan sepertinya tidak rela jika ada di antara mereka yang berbeda. Karena mereka menikah, maka semua orang juga harus menikah. Karena mereka memiliki anak, maka semua orang juga harus memiliki anak. Jika belum menikah, mereka akan menerormu sampai kau menikah. Jika belum punya anak, mereka akan menerormu sampai kau punya anak-anak.
Menikah dan punya anak adalah soal pilihan. Tapi masyarakat mengubah pilihan menjadi kewajiban, kewajaran, keharusan, dan bahkan kenormalan.
Padahal, setiap lajang memiliki hak untuk memilih. Memilih menikah, menunda menikah, atau bahkan tidak menikah. Begitu pula, yang sudah menikah juga punya hak untuk memilih. Memilih punya anak, memilih menunda punya anak, atau bahkan memilih untuk tidak punya anak. Bahkan, jika ini mau diteruskan, yang punya anak pun masih punya hak untuk memilih. Memilih hanya punya satu anak, memilih untuk punya dua anak, atau bahkan memilih punya banyak anak.
Hidup adalah soal pilihan, dan pilihan masing-masing orang dilatari pertimbangan yang dianggap baik oleh orang bersangkutan.
Umpamakan saja saya seorang lajang yang masih menganggur, dan hidup masih belum jelas. Sebagai orang dewasa, tentu saya bertanggung jawab pada kehidupan sendiri, dan saya pun berusaha sekuat tenaga untuk mencari dan mendapat kerja. Tetapi, takdir belum membukakan kesempatan, sehingga saya masih menganggur. Meski begitu, saya terus berusaha, semampu saya bisa, agar mendapat pekerjaan.
Karena masih menganggur, dan kehidupan belum jelas, saya pun mencoba berpikir waras, bahwa menunda pernikahan jauh lebih baik bagi saya, daripada buru-buru menikah. Sekali lagi, ini pikiran waras.
Meski secara usia sudah layak menikah, tapi saya sadar diri, bahwa saya belum memiliki kemampuan untuk itu. Daripada saya mengecewakan istri, keluarga, bahkan anak-anak saya kelak, karena tidak mampu memberi penghidupan layak, jauh lebih baik bagi saya untuk menunda pernikahan, sampai saya merasa mampu. Saya pikir, itu pilihan yang logis, waras, dan tidak menyalahi siapa pun.
Saya yang menjalani hidup saya, bukan orang lain. Jika saya menikah, dan kemudian rumah tangga saya keblangsak, sayalah (dan pasangan) yang akan menghadapi—bukan orang lain. Jadi, sekali lagi, menunda pernikahan adalah langkah yang saya pikir tepat sekaligus waras. Karena, bagaimana pun, saya tidak ingin menikah dengan modal selangkangan. Saya ingin menikah dengan tanggung jawab, dan berharap bisa membahagiakan pasangan.
Itu salah satu ilustrasi yang jelas dan gamblang, mengenai latar belakang orang menunda pernikahan (tidak buru-buru menikah, meski usia sudah layak untuk menikah). Di luar ilustrasi tersebut, masih banyak ilustrasi lain—yang nyata—di sekitar kita, mengenai latar belakang kenapa orang menunda menikah, atau tidak buru-buru menikah, meski secara usia sudah layak.
Apakah pertimbangan dalam ilustrasi di atas salah? Tentu saja tidak! Setiap orang bertanggung jawab terhadap hidupnya, keputusannya, juga pilihan-pilihannya. Jika saya menikah, sayalah yang akan bertanggung jawab, bukan orang lain. Karena saya yang bertanggung jawab, maka saya pun memikirkannya secara waras. Karena saya merasa belum mampu, maka saya lebih memilih untuk menunda menikah, daripada buru-buru menikah.
Karenanya, tidak usah meributkan orang lain yang belum menikah, karena setiap orang memiliki pertimbangan masing-masing yang mereka pikir baik untuk hidupnya, berdasarkan pemikiran yang waras. Jika yang lajang tidak meributkan orang yang sudah menikah, kenapa yang sudah menikah sangat hobi ngerusuhi kehidupan yang masih lajang?
Begitu pula soal punya anak. Setiap orang yang menikah memiliki hak untuk punya anak, menunda punya anak, atau tidak punya anak sama sekali. Itu pilihan mereka, dan merekalah yang akan menghadapi—bukan kita!
Ada pasangan yang menikah, dan segera punya anak. Biasanya, mereka memang ingin segera punya anak, dan kebetulan takdir mengabulkan keinginan mereka. Ada pula yang sudah cukup lama menikah, tapi belum juga punya anak. Bisa jadi, mereka sebenarnya sudah ingin punya anak, tapi takdir belum mengabulkan. Atau, mereka memang menunda punya anak, karena ingin menata rumah tangga dengan baik terlebih dulu, sehingga kelak bisa merawat anak dengan lebih baik. Atau, bisa jadi pula, mereka memang tidak bermaksud punya anak, dengan pertimbangan tertentu, yang mereka pikir baik.
Apakah ada yang salah dalam ilustrasi tersebut? Tentu saja tidak! Karena setiap orang—atau setiap pasangan—memiliki hak dan pilihan yang sama. Hak untuk punya anak, hak untuk menunda punya anak, atau hak untuk tidak punya anak sama sekali. Kita tidak bisa memaksa siapa pun untuk segera punya anak hanya karena telah menikah, sebagaimana kita tidak bisa memaksa siapa pun untuk tidak punya anak!
Hidup adalah soal pilihan. Yang lajang punya pilihan kapan ia akan menikah, atau pilihan untuk tidak menikah. Yang sudah menikah juga punya pilihan kapan akan punya anak, atau pilihan untuk tidak punya anak. Ini aturan yang fair—setiap orang menghadapi hidupnya masing-masing, dan mereka bertanggung jawab terhadap setiap pilihan yang diambil.
Tetapi, sayang, masyarakat belum dapat berpikir sewaras itu. Dalam pikiran mereka, setiap orang harus menikah! Dan setelah menikah, setiap pasangan harus punya anak! Jika tidak, berarti salah!
Ini kan kacau! Hak diubah menjadi kewajiban. Pilihan diubah menjadi kewajaran. Perbedaan diubah menjadi ukuran normal atau tidak normal. Apa yang lebih kacau dari sistem semacam itu?
Dalam pikiran masyarakat, setiap orang harus menikah. Dan setelah menikah, setiap pasangan harus punya anak. Padahal, menikah dan punya anak adalah dua hal yang berbeda! Orang bisa menikah tanpa punya anak, sebagaimana orang bisa punya anak tanpa menikah. Misalnya lajang yang mengadopsi anak orang lain.
Jadi, kehidupan kita sebagai manusia sebenarnya mudah, tapi dipersulit oleh sistem yang kacau dan rumit. Sistem yang gila itu bahkan telah menjelma tirani, hingga siapa pun merasa tidak mampu melawan. Ini seperti zaman animisme yang memberhalakan pohon besar karena dianggap tuhan, padahal keparat itu hanya seonggok pohon besar yang bisa hancur dan tumbang.
Kehidupan manusia—sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial—sebenarnya mudah dan sederhana. Jalanilah hidup dengan baik, dan tidak merugikan orang lain. Sudah, hanya itu! Selama kau menjalani kehidupanmu dengan baik, dengan hal-hal atau pilihan yang kauanggap baik, dan pilihanmu tidak merugikan orang lain, maka tidak ada satu orang pun yang berhak mengusik hidupmu. Sederhana—oh, well, sangat sederhana.
Orang boleh menikah, boleh menunda menikah, bahkan boleh tidak menikah sama sekali—bebas! Begitu pun, orang boleh punya anak, boleh menunda punya anak, bahkan boleh tidak punya anak sama sekali. Sekali lagi, bebas! Selama pilihan itu tidak merugikan orang lain, siapa pun berhak memilihnya. Sederhana—oh, well, sangat sederhana.
Tetapi, gaya hidup yang sederhana dan baik itu diubah dan dikacaukan oleh sistem tirani masyarakat. Menikah, yang sebenarnya pilihan, diubah menjadi kewajiban, serta ukuran untuk menilai apakah seseorang normal atau tidak. Punya anak, yang sebenarnya pilihan, diubah menjadi kewajiban, serta ukuran untuk menilai apakah seseorang wajar atau tidak. Akibatnya, yang tidak/belum menikah dianggap tidak normal, yang sudah menikah tapi tidak/belum punya anak dianggap tidak wajar.
Padahal, kenormalan dan kewajaran sebagai manusia tidak bisa semata-mata diukur apakah seseorang menikah atau tidak, apakah pasangan punya anak atau tidak. Manusia adalah makhluk kompleks, yang tidak bisa disimpulkan semata-mata dari apakah dia sama dengan kita atau tidak, apakah dia menikah atau tidak, atau apakah punya anak atau tidak.
Seperti Baim Wong, atau orang-orang lain. Baim atau siapa pun tentu punya hak untuk hidup tenteram, tanpa harus dirusuhi oleh pertanyaan membosankan terkait kapan dia akan menikah. Karena Baim, atau siapa pun, tentu punya pikiran dan pertimbangan sendiri kenapa belum menikah—sama seperti orang lain yang telah menikah. Jika Baim dinilai “berbeda” karena belum juga menikah, memang begitulah manusia. Tidak mungkin mengharapkan semua manusia sama.
Begitu pula Ryana Dea, atau orang-orang lain yang telah menikah namun belum memiliki anak. Ryana Dea atau siapa pun tentu punya hak untuk menjalani kehidupan damai, tanpa harus direcoki pertanyaan kapan punya anak. Karena Ryana Dea, atau siapa pun, tentu punya latar belakang dan pertimbangan sendiri kenapa belum punya anak—sama seperti orang lain yang telah punya anak. Jika Ryana Dea dinilai “berbeda” karena sudah menikah tapi belum juga punya anak, ya memang begitulah romantika kehidupan. Tidak mungkin mengharapkan kehidupan semua orang bisa sama.
Hidup adalah soal pilihan. Itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia bisa memilih, karena memiliki akal budi dan pikiran—sesuatu yang tidak dimiliki binatang. Sama-sama punya otak, sama-sama berpikir, tapi manusia bisa berpikir jauh lebih baik—dan lebih bertanggung jawab—dibandingkan binatang. Karena manusia punya otak sekaligus kemampuan akal pikiran, sementara binatang hanya punya otak dan selangkangan!
Manusia bisa memilih, dan bertanggung jawab atas pilihannya. Sementara binatang tidak bisa. Dan, omong-omong, kenyataan itulah yang menjadikan manusia lebih mulia dari binatang.