Orang tua menuntut anak-anaknya “berbakti”
seolah si anak yang minta dilahirkan.
Padahal anak-anak lahir karena kehendak orang tua.
—@noffret
seolah si anak yang minta dilahirkan.
Padahal anak-anak lahir karena kehendak orang tua.
—@noffret
Di tengah hiruk-pikuk dan gemerlap Seoul, Korea Selatan, ada fakta miris yang tersembunyi, dan menyedihkan. Yaitu keberadaan nenek-nenek (wanita berusia lanjut, antara 60-70-an) yang menjadi pekerja seks komersial. Para wanita lanjut usia itu menutupi praktik prostitusi yang mereka jalani dengan menjual bacchus (minuman dalam botol kecil, yang biasa ditujukan untuk meningkatkan energi kaum pria—mirip jamu di Indonesia).
Memang tidak semua wanita penjual bacchus juga berprofesi sebagai pekerja seks. Tetapi banyak dari mereka yang memang nyambi sebagai pekerja seks, dan bisa dibilang sudah rahasia umum sebagian masyarakat di sana. Dan siapa konsumennya? Siapa pun. Dari laki-laki iseng sampai kakek-kakek.
Praktik perdagangan seks terselubung itu berada di Jongmyo Park, sebuah taman yang merupakan jantung Kota Seoul, Korea Selatan. Di tempat itu, banyak lelaki setengah baya hingga usia lanjut, yang menikmati waktu dengan bermain catur dan bergosip dengan teman-teman sebaya. Di tempat itu pula, nenek-nenek penjual bacchus berada, dan—sebagian dari mereka—menyediakan layanan seks.
Wanita-wanita yang berjualan bacchus memang dapat ditemukan di banyak tempat di Korea Selatan, khususnya di Seoul. Misal di dekat stasiun bawah tanah, atau di tempat-tempat keramaian lain. Mereka yang berjualan di tempat-tempat selain di Jongmyo Park memang umumnya murni berjualan bacchus. Tetapi mereka yang berjualan bacchus di Jongmyo Park, sebagian besar—untuk tidak menyebut semuanya—nyambi sebagai pekerja seks. Karena di taman itulah banyak laki-laki iseng menikmati waktu senggang.
Kita mungkin bertanya-tanya, kenapa nenek-nenek atau wanita-wanita lanjut usia di sana sampai melakukan hal semacam itu—menjadi pekerja seks? Apa motivasinya?
Jawabannya simpel; bertahan hidup!
Wanita-wanita lanjut usia itu—nenek-nenek yang menjadi pekerja seks di sana—butuh makan untuk bertahan hidup. Karena penghasilan dari jualan bacchus tidak cukup untuk makan, atau bahkan kurang laku akibat ketatnya persaingan, mereka pun terpaksa menjadi pekerja seks, demi mendapat uang, demi bisa makan.
Apakah nenek-nenek itu tidak punya keluarga? Apakah wanita-wanita lanjut usia itu tidak punya anak yang merawat mereka?
Pertanyaan menarik. Jadi, mari kita uraikan nasib mereka, agar menemukan jawaban atas pertanyaan itu.
Nenek-nenek di Korea, wanita-wanita lanjut usia di sana, juga punya keluarga, punya anak-anak. Dulu, mereka menikah dan memiliki suami, lalu punya anak-anak. Seperti kebanyakan orang lain, mereka pun memiliki anak karena berharap kelak anak-anak akan merawat mereka ketika berusia lanjut. Itu “keyakinan” yang telah diwarisi bertahun-tahun, kan?
Kita merawat orang tua ketika mereka berusia lanjut, karena kita—juga orang tua kita—berpikir bahwa memang seperti itulah yang seharusnya terjadi. Anak harus merawat orang tua yang telah lanjut usia, sebagaimana dulu orang tua merawat kita saat masih bayi dan tak berdaya. Jadi, sebagai bakti pada orang tua, kita merawat mereka.
Ketika kita menikah, dan memiliki anak-anak, kita pun berharap anak-anak kelak juga akan merawat kita, saat lanjut usia dan tak berdaya. Sekali lagi, itu kepercayaan—atau kebudayaan—yang telah diwariskan turun temurun, kan? Kita berharap anak-anak merawat kita ketika menua, sebagaimana kita juga merawat orang tua ketika mereka lanjut usia.
Begitu pula nenek-nenek di Seoul, Korea—wanita-wanita penjual bacchus yang nyambi jadi pekerja seks—sebagaimana yang saya ceritakan. Mereka, sebagaimana kebanyakan orang, juga berpikir seperti itu. Dulu, mungkin mereka merawat orang tua yang telah lanjut usia, sebagai bakti anak terhadap orang tua. Lalu, ketika menikah, mereka pun punya anak-anak, dengan harapan anak-anak akan merawat mereka ketika lanjut usia.
Tapi ada satu masalah di sini, yang mungkin tidak sempat terpikir oleh kebanyakan orang. Yaitu zaman yang telah jauh berubah!
Di masa lalu, keberadaan anak dengan orang tua bisa dibilang masih dekat. Artinya, ketika seorang anak menikah dan membangun keluarga sendiri, kemungkinan besar mereka masih berdekatan dengan orang tua. Bisa tinggal serumah, atau setidaknya satu kampung, atau satu kota. Karena di masa lalu belum ada globalisasi. Orang di Kota A bisa mudah mendapat kerja di Kota A, sehingga tetap bisa tinggal bersama orang tua di Kota A.
Ketika orang tua mulai lanjut usia, anak-anak pun bisa mudah menemui dan merawat, atau bahkan tinggal bersama, karena kondisi di masa lalu memang memungkinkan untuk itu.
Kemudian, di masa lalu, kondisi kehidupan belum sekeras sekarang, dan persaingan belum seketat sekarang. Kalau kita hidup sekian puluh tahun lalu, dan bekerja di sebuah pabrik, lalu suatu hari tiba-tiba minta izin untuk tidak masuk kerja, atasan kita tidak akan meributkan, karena menganggap hal semacam itu wajar dan biasa, serta manusiawi. Tetapi, kini, hal semacam itu sudah tidak semudah dulu.
Di masa sekarang, anak-anak umumnya tinggal di kota berbeda, sehingga berjauhan dengan orang tua. Di Indonesia, misal, orang tua bisa tinggal di Yogya, sementara anak bekerja di Medan. Itu jarak yang sangat jauh. Ketika orang tua membutuhkan kehadiran anak sewaktu-waktu, mungkinkah si anak bisa langsung datang menemui? Mungkin saja, tapi tetap membutuhkan waktu cukup lama, karena jarak yang sangat jauh. Belum lagi jika urusan di tempat kerja si anak cukup rumit, sehingga tidak bisa sewaktu-waktu minta izin cuti.
Kenyataan semacam itulah yang terjadi pada nenek-nenek di Korea. Dulu, ketika mereka menikah dan punya anak-anak, mereka berpikir kelak anak-anak itu akan merawat mereka ketika mulai menua dan tak berdaya, sebagaimana mereka dulu merawat orang tua. Tetapi, seperti yang disebut tadi, zaman sudah berubah. Ketika suami mereka meninggal, nenek-nenek itu mendapati diri mereka sebatangkara, karena anak-anak tinggal di tempat sangat jauh, juga telah memiliki keluarga sendiri.
Di masa kini, ketika globalisasi terjadi di hampir semua sudut bumi, keluarga-keluarga terpencar di berbagai tempat yang kadang berjauhan. Orang tua tinggal di Kota A, anak pertama di Kota B, anak kedua di Kota C, dan seterusnya.
Selain itu, masing-masing anak juga telah menikah dan memiliki keluarga sendiri, dengan anak-anak, dengan berbagai kesibukan dan problematika yang mereka hadapi. Dengan jarak yang berjauhan, serta berbagai masalah rumah tangga yang mereka hadapi, munginkah anak-anak masih dapat mengurus dan merawat orang tua secara paripurna, sebagaimana di zaman dulu?
Kenyataan semacam itu jarang dipikirkan banyak orang di zaman sekarang. Akibatnya, mereka hidup di zaman sekarang, tapi menggunakan pola pikir zaman dulu. Padahal, perubahan zaman selalu menuntut perubahan cara berpikir. Karena pola pikir yang sekian tahun lalu mungkin benar atau bahkan hebat, bisa jadi saat ini sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi relevan. Contoh mudahnya seperti yang dialami nenek-nenek di Korea.
Di masa lalu, ketika nenek-nenek itu masih muda, mereka mungkin bisa memberi perhatian atau bahkan merawat orang tua yang mulai menua, meski mereka sendiri juga telah berkeluarga. Di masa lalu, tempat tinggal mereka dengan orang tua mungkin berdekatan, atau tidak terlalu jauh. Selain itu, kehidupan mereka di masa lalu juga relatif lebih sederhana, dengan tantangan lebih sederhana, sehingga mereka bisa meluangkan waktu lebih mudah.
Tetapi, kemudian, ketika mereka memiliki anak-anak sendiri—dan anak-anak itu telah tumbuh dewasa serta berkeluarga—zaman telah jauh berubah. Tempat tinggal berjauhan, kehidupan semakin rumit, tantangan hidup semakin berat, hingga anak-anak itu pun mungkin lupa untuk merawat orang tua, karena sudah sangat sibuk mengurus rumah tangga sendiri.
Karenanya, memiliki anak-anak dengan harapan mereka akan merawat orang tua ketika telah menua dan tak berdaya, mungkin relevan diterapkan pada sekian dekade yang lalu. Tetapi pola pikir semacam itu mungkin tidak lagi relevan jika diterapkan untuk masa sekarang. Karena zaman sudah berubah, dunia sudah berubah, dan tantangan yang dihadapi juga telah jauh berubah. Kenyataan itu, sayangnya, tidak sempat terpikir oleh wanita-wanita di Korea, yang kini telah menjadi nenek-nenek.
Tentu saja—atau mungkin—mereka orang-orang baik yang menjalani hidup dengan baik, menikah, berkeluarga, dan memiliki anak-anak. Karena dulu mereka merawat orang tua ketika menua, mereka pun berharap anak-anak mereka juga melakukan hal yang sama. Sayangnya, sekali lagi, zaman sudah berubah. Anak-anak mereka kini terpencar berjauhan, dengan keluarga masing-masing, dengan kesibukan dan masalah sendiri-sendiri, sehingga tidak sempat mendatangi apalagi mengurus orang tua.
Sementara nenek-nenek itu tetap membutuhkan biaya untuk hidup. Jadi, dengan segala lemah dan renta yang menggerogoti tubuh, mereka pun mencoba jualan bacchus untuk bertahan hidup. Sayang, jualan bacchus tidak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari. Rata-rata, penghasilan penjual bacchus di Korea hanya sekitar 5.000 won (Rp70 ribu) per hari, sementara biaya makan sehari-hari jauh di atas itu. Apa lagi pilihan yang tersisa?
Mereka yang ada di Jongmyo Park, itulah jawabannya.
Karenanya, kelak, jika saya menikah dan bermaksud memiliki anak, saya akan berpikir terlebih dulu. Apa tujuan dan motivasi saya memiliki anak? Jika tujuan saya karena berharap anak-anak kelak akan merawat saya ketika tua dan tak berdaya, sepertinya saya perlu mengingat nenek-nenek di Korea.