Ironi di dunia maya:
Cewek yang paling malu dan tidak pede nunjukin muka,
seringkali justru yang paling kepedean dan paling tidak tahu malu.
—@noffret
—@noffret
Ceritanya, si cowok mengirim surat cinta pada cewek yang ia cintai. Namanya surat cinta, isinya gombal-gombalan. Si cowok—yang sedang jatuh cinta—mungkin mengira surat yang ia tulis sangat hebat atau sangat romantis atau sangat indah, penyakit khas orang yang sedang jatuh cinta. Tapi bagi orang lain yang tidak sedang jatuh cinta, isi surat itu sangat norak.
Rupanya, si cewek yang mendapat surat cinta itu tidak menyukai si cowok. Dia juga menganggap surat cinta si cowok benar-benar norak. Ketika si cowok mengirim surat cinta untuk kesekian kali, si cewek mempermalukan cowok itu, dengan membacakan isi surat cinta tersebut di kelas. Si cowok pun merasa malu dan terpukul atas hal itu.
Sampai pada bagian tersebut, saya berpikir, “Kenapa si cewek harus mempermalukan si cowok seperti itu? Kalau memang dia tidak menyukai si cowok, kenapa tidak dijawab saja dengan sopan dan baik-baik?”
Pertanyaan dalam benak saya terjawab pada bagian akhir cerpen. Rupanya, si cowok sudah lama jatuh cinta pada si cewek. Sejak lama pula, si cowok terus menerus mengirim surat cinta, atau melakukan hal-hal yang sangat mengganggu si cewek. Si cewek telah menjawab bahwa dia tidak menerima cinta si cowok, dan dia menjawabnya dengan baik. Tapi rupanya si cowok sangat ndableg. Meski sudah jelas ditolak, dia terus saja mengganggu.
Hal itulah, yang kemudian membuat si cewek jengkel. Ia pun berpikir, langkah terakhir yang dapat ia lakukan untuk menghentikan ulah si cowok—yang sangat mengganggu—adalah dengan cara mempermalukannya. Maka dia pun sengaja membacakan isi surat cinta yang isinya gombal-gombalan itu di kelas, agar teman-teman mereka tahu.
Cerpen itu—sebagaimana umumnya cerita bagus—meninggalkan kesan yang sulit dilupakan pembaca, setidaknya saya tidak pernah melupakannya. Cerpen itu membuat pembaca berpikir, “Siapakah yang salah dalam kisah itu?”
Mungkin si cewek salah, karena dia mempermalukan si cowok. Tapi jangan lupa, si cowok yang memicu hal itu, karena dia terus menerus mengganggu dan mengusik kehidupan si cewek. Cinta mungkin tak pernah salah. Tapi cara orang memperlakukan perasaan cintanya kadang-kadang sangat salah.
Di Twitter, saya pernah menulis tweet, berbunyi, “Ironi di dunia maya: Cewek yang paling malu dan tidak pede nunjukin muka, seringkali justru yang paling kepedean dan paling tidak tahu malu.” Tweet itu diikuti tweet berikutnya, berbunyi, “Doa di dunia maya: Jauhkanlah aku dari cewek-cewek yang malu dan tidak pede menunjukkan muka, tapi kepedean dan tak tahu malu dalam sikap.”
Dua tweet itu sebenarnya saya tujukan untuk seseorang di dunia maya. Tapi karena saya menulisnya di Twitter, akibatnya banyak orang (cewek) yang mungkin ikut “merasa”. Sejujurnya, saya merasa bersalah atas hal itu. Karenanya, sekarang, saya ingin mengklarifikasi tweet itu untuk menjernihkan.
Ada cewek di dunia maya yang benar-benar sangat mengganggu, karena terus menerus mengusik kehidupan saya. Dia tipe cewek yang “tidak tahu malu” dalam arti sesungguhnya. Dia malu menunjukkan mukanya, tapi sikapnya benar-benar tidak tahu malu sekaligus memalukan.
Dulu, dia mengirim e-mail ke saya. Karena isinya baik, saya menjawabnya dengan baik. Lalu dia kirim e-mail lagi, lagi, dan lagi, dan isinya makin “tidak karuan”—berisi rayuan-rayuan tolol. Tidak pernah saya urusi. Tapi rupanya dia memang tidak tahu malu. Meski sudah dicueki berkali-kali, dia terus mengirim e-mail. Isinya sama, gombal-gombalan dan pernyataan cinta serta rayuan yang tak tahu malu.
Sampai di sini, kita mungkin sudah bisa mengatakan kalau cewek ini keterlaluan. Tapi ulahnya tidak berhenti di situ.
Setelah alamat e-mail-nya saya blokir, dia masuk ke Facebook. Di Facebook, dia mengirim pesan pribadi ke akun saya. Isinya juga sama, gombal-gombalan tolol. Saya pun langsung memblokir akun Facebook cewek itu. Lalu dia pindah ke blog saya, Belajar Sampai Mati.
Di blog Belajar Sampai Mati, dia mengirim aneka macam rayuan di kolom komentar. Sejak itu, saya pun memoderasi kolom komentar di blog tersebut, agar komentar-komentar berisi gombal-gombalan cewek itu tidak muncul di blog. Dan dia terus nyampah di kolom komentar blog itu tanpa henti, tanpa malu, tanpa tahu diri.
Karenanya, seperti yang dibilang tadi, dia benar-benar “cewek tidak tahu malu” dalam arti sesungguhnya. Diblokir di e-mail, dia masuk ke Facebook. Diblokir di Facebook, dia masuk ke blog. Satu-satunya tempat dia tidak berani macam-macam, hanya di Twitter. Karena dia paham, kalau dia mencoba mengganggu saya secara langsung di Twitter, orang-orang akan tahu.
Cewek ini punya akun di Google+, di Facebook, juga di Twitter. Tapi di mana pun, dia malu menunjukkan mukanya. Di Google+ dia menggunakan foto kartun. Di Twitter, dia menutupi mukanya dengan helm. Di Facebook, lagi-lagi tidak berani menunjukkan muka. Konyol?
Tentu saja setiap orang berhak menggunakan foto/avatar apa pun di akun media sosial. Asal tidak mengganggu orang lain, semua sah-sah saja. Tapi kalau kau mencoba mengganggu orang lain dengan rayuan-rayuan tolol, dan mengusik ketenteraman orang lain dengan perasaan cintamu yang tolol, tunjukkan dulu mukamu. Menunjukkan muka sendiri malu, tapi kelakuan tidak tahu malu.
Cewek tidak tahu malu inilah, yang kemudian membuat saya menulis tweet tadi.
Di Twitter, sebagai antisipasi, saya telah memblokir akun cewek itu. Tapi dasar “sakit”, dia membuat akun kloningan, yang khusus digunakan untuk mem-follow akun Twitter saya. Jadi, meski akun miliknya (yang asli) telah saya blokir, dia tetap bisa memantau aktivitas saya di Twitter.
Nah, beberapa waktu lalu, saya menulis rangkaian tweet di Twitter, mengenai kerinduan pada dosen saya di kampus dulu, yang biasa disapa Bu Hasti. Rangkaian tweet itu telah saya transkrip di blog ini, dan kalian bisa membacanya di sini.
Ketika menulis rangkaian tweet mengenai dosen saya tersebut, saya hanya ingin menulisnya. Hubungan saya dengan Bu Hasti baik-baik saja, dan—kalau mau—saya bisa menghubunginya kapan pun, dengan berbagai media. Artinya, saya menulis rangkaian tweet itu bukan karena malu atau sedih atau tidak berani menghubungi Bu Hasti. Saya menulis rangkaian tweet itu, semata-mata karena ingin menulisnya!
Nah, cewek tidak tahu malu ini melakukan perbuatan yang sangat sok tahu, yang benar-benar membuat saya malu. Dia mengirim pesan ke Bu Hasti di Facebook, dan berikut ini isinya.
Klik untuk memperbesar
Padahal dia tidak kenal saya, juga tidak kenal Bu Hasti. Tapi dia dengan sok tahu campur tak tahu malu menghubungi Bu Hasti, dan melakukan perbuatan yang membuat saya sangat malu.
Saya benar-benar tidak habis pikir dengan cewek ini. Saya sudah memintanya baik-baik, agar tidak terus mengganggu saya, tapi dia terus mengganggu. Dulu, saat dia menyatakan cinta kepada saya, sudah dengan jelas saya menolaknya. Tapi dia benar-benar tidak tahu malu, dan terus mengganggu saya di berbagai tempat.
Seperti yang dibilang tadi—diblokir di e-mail, dia merayu saya di kolom komentar blog Belajar Sampai Mati. Ketika kolom komentar di sana dimoderasi, dia masuk ke Facebook, dan mengganggu saya di Facebook. Di Twitter, dia membuat akun kloningan demi bisa stalking saya. Sekarang, dengan tidak tahu malu, dia mencampuri urusan pribadi saya, hingga saya malu dan tidak enak hati pada dosen saya sendiri.
Sudah berkali-kali saya menulis di blog maupun di Twitter, bahwa saya tidak berharap pacar, bahkan tidak berminat pacaran! Karena hal itu pula, saya tidak pernah mengusik cewek mana pun, bahkan saya sangat berhati-hati setiap kali akan berinteraksi dengan lawan jenis di dunia maya, karena tidak ingin menimbulkan masalah apa pun.
Tapi di dunia ini rupanya ada cewek-cewek yang “sakit” dan mengerikan, sekaligus tidak tahu malu. Jujur saja, inbox e-mail saya menjadi saksi banyaknya cewek yang pernah menyatakan cinta, bahkan terang-terangan ingin menikah dengan saya, atau bahkan mengatakan “bersedia melakukan apa pun untuk saya”, asal saya mau menemuinya. Dan Tuhan menjadi saksi, tidak ada satu pun dari semua e-mail rayuan itu yang saya urusi.
Meski begitu, saya bersyukur cewek-cewek yang mengirim e-mail itu segera berhenti mengganggu saya, begitu saya menolak rayuan mereka. Walaupun ulah mereka bisa dianggap gila, tapi setidaknya kegilaan mereka masih dapat saya maklumi. Hal itu berbeda dengan cewek yang saya ceritakan dalam catatan ini. Dia bukan hanya sakit, tapi benar-benar menjadi contoh nyata cewek yang tidak tahu malu!
Berkali-kali merayu, dicuekin, malah menyatakan cinta. Cinta ditolak, terus saja mengirim rayuan-rayuan via e-mail. Alamat e-mail diblokir, pindah ke kolom komentar blog, dan masih mengirim rayuan-rayuan tolol yang sama. Kolom komentar blog dimoderasi, dia masuk ke Facebook, dan kembali mengganggu saya. Di Facebook diblokir, dia bikin akun kloningan di Twitter, demi bisa stalking saya. Lalu, dari hasil stalking-nya, dia menyimpulkan sendiri tweet-tweet saya, lalu dengan sok tahu menghubungi dosen saya, hingga membuat saya malu.
Sekali lagi, kenyataan mengerikan sekaligus memalukan seperti inilah yang membuat saya sangat... sangat berhati-hati, setiap kali ingin berinteraksi dengan lawan jenis, khususnya di dunia maya. Karena bahkan saya tidak melakukan apa pun, selalu ada cewek-cewek sakit—dan tak tahu malu—yang mengusik dan mengganggu saya.
Karena itu pula, sekarang saya sengaja menulis catatan ini secara frontal dan blak-blakan, agar bisa dijadikan sebagai pelajaran agar tidak seenaknya mengusik dan mengganggu orang lain, apalagi sampai mencampuri privasi dan urusan orang lain, padahal tidak tahu dan tidak kenal.
Teman saja bukan, tapi sok-sokan mencampuri urusan pribadi orang lain hanya karena sok tahu. Itu perilaku yang benar-benar memuakkan!