Senin, 11 Juli 2016

Dilema di Hari Raya

Baru kenal agama tapi sibuk berfatwa,
tak jauh beda dengan anak SMA menceramahi orang dewasa
tentang kedewasaan. Ironis, dan menggelikan.
@noffret


Setiap kali lebaran atau hari raya Idul Fitri datang, saya merasa dilema. Setidaknya ada dua alasan mengapa saya dilema setiap kali lebaran datang. Pertama, karena alasan pengetahuan. Kedua, karena alasan personal. Mari saya ceritakan.

Setiap kali lebaran datang, masyarakat di tempat saya—sebagaimana umumnya masyarakat di tempat lain—biasa melakukan hal-hal khas, yaitu saling bertemu, bersalaman, dan saling mengunjungi untuk meminta dan memberi maaf. Dalam hal itu, terus terang, saya kesulitan mengikuti. Alasannya, seperti yang disebut tadi, karena pengetahuan dan sebab personal.

Berdasarkan pengetahuan—sebagaimana yang telah saya tulis di sini—saya menyadari bahwa Idul Fitri tidak dimaksudkan untuk maaf-maafan. Karenanya, saya pun menganggap acara maaf-maafan hanya sekadar budaya. Karena budaya, maka saya tentu punya pilihan—untuk mengikuti atau untuk tidak mengikuti. Jika orang lain berhak memilih untuk melakukan, saya pun punya hak untuk tidak melakukan.

Yang menjadi masalah, saya hidup di tengah-tengah masyarakat, dan kebanyakan masyarakat belum mampu menyadari perbedaan antara “ajaran agama” dan “sebatas budaya”. Seperti maaf-maafan di hari lebaran. Merayakan Idul Fitri adalah bagian dari agama, karena memang disyariatkan. Tetapi maaf-maafan di hari Idul Fitri hanyalah bagian budaya. Masalahnya, sekali lagi, masyarakat belum bisa membedakan dua hal tersebut.

Sebagai pribadi, saya merayakan Idul Fitri secara sederhana, yaitu hanya makan dan minum di siang hari. Sudah, hanya itu. Karena itulah esensi Idul Fitri, yaitu merayakan kembali hari biasa untuk bebas makan dan minum, setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadan. Jadi, saya tidak membeli baju baru, tidak mengecat rumah, bahkan tidak menyiapkan makanan atau minuman dan jajan khusus.

Soal mengecat atau memperbaiki rumah, saya akan melakukan kapan pun saya ingin, terlepas lebaran atau tidak. Soal membeli baju baru, saya akan melakukan kapan pun saya butuh, terlepas lebaran atau tidak. Begitu pun, soal meminta dan memberi maaf, saya akan melakukan kapan pun jika memang diperlukan, tanpa peduli sedang lebaran atau tidak!

Memang, di lebaran tahun ini, saya secara khusus mengirimkan SMS dan pesan berisi selamat berlebaran kepada orang-orang tertentu. Orang-orang yang saya kirimi SMS adalah teman-teman lama, yang kebetulan tidak pernah lagi bertemu, dan tidak pernah lagi berkomunikasi. Tujuan saya mengirim SMS kepada mereka, pertama untuk mengecek nomor ponsel mereka masih aktif atau tidak, dan kedua untuk menjalin kembali pertemanan lama yang bisa dibilang putus setelah lama tak bertemu.

Saya memanfatkan moment lebaran untuk mengirim SMS-SMS tersebut, agar mereka tidak “kaget”, karena setidaknya mereka akan menganggap umum jika seseorang tiba-tiba berkirim SMS di hari lebaran. Karenanya, saya pun berharap mereka membalas, hingga kami bisa kembali menjalin hubungan seperti dulu. Kalau pun mereka tidak membalas, ya tidak apa-apa, karena memang setiap orang punya hak dan pilihan.

Sejauh terkait dengan teman-teman, bisa dibilang saya tidak terlalu mengalami masalah, khususnya karena rata-rata teman saya memang sudah memahami “kelainan” saya. Maksudnya, rata-rata mereka sudah biasa dengan kelakuan saya yang berbeda dengan umumnya orang lain.

Dulu, saya pernah menyambangi teman-teman saya satu per satu, meminta maaf pada mereka, padahal bukan hari lebaran. Di waktu lain, juga bukan di hari lebaran, saya pernah berkirim SMS pada hampir semua teman saya, berisi pesan, “Selamat merayakan hari biasa yang mulia seperti biasa. Mohon maaf lahir dan batin.”

Hal-hal semacam itu kerap saya lakukan, khususnya dengan teman-teman sepergaulan, dan mereka sudah biasa dengan ulah saya. Karenanya, sekali lagi, bisa dibilang saya tidak terlalu mengalami masalah—khususnya terkait lebaran—selama menyangkut teman-teman. Mereka telah menganggap saya “gila”, dan urusan selesai.

Yang masih menjadi masalah adalah yang terkait tetangga, saudara, dan sanak famili. Karena itulah, seperti yang dibilang tadi, saya selalu tertekan setiap kali lebaran datang, karena saya harus melakukan hal sama seperti yang dilakukan tetangga, saudara, dan sanak famili. Yaitu saling mengunjungi, saling memaafkan, dan lain-lain terkait lebaran.

Setiap kali lebaran datang, saya seperti diwajibkan untuk mendatangi tetangga, saudara, sanak famili, dan bermaaf-maafan dengan mereka. Sebagai introver, jujur saja, saya sangat-sangat kesulitan melakukan hal itu. Saya kurang mampu berbasa-basi, kurang luwes dalam urusan sosial dengan orang lain. Pendeknya, saya benar-benar kebingungan saat harus mendatangi tetangga dan sanak famili hanya untuk maaf-maafan dan berbasa-basi di hari lebaran.

Saat mengunjungi tetangga, famili, dan saudara, saya sering kebingungan mengenai apa yang harus saya katakan. Untungnya, saya masih punya keluarga—nyokap dan adik-adik—sehingga kami bisa mengunjungi tetangga, famili, dan saudara, bersama-sama. Dalam hal ini, saya tertolong oleh keberadaan nyokap dan adik-adik saya. Setidaknya, mereka lebih luwes dalam berinteraksi dengan orang-orang.

Kemudian, karena saya tinggal di rumah sendiri, saya pun punya tetangga sendiri. Sekali lagi saya kebingungan saat harus menyambangi para tetangga di tempat saya tinggal. Mengatasi hal itu, saya mengajak nyokap untuk menemani, dan biasanya nyokaplah yang aktif mengobrol dengan para tetangga, meski sebenarnya mereka tetangga saya.

Oh, saya tahu ini mungkin terdengar lucu, atau bahkan konyol. Tetapi, saya benar-benar kesulitan dalam menghadapi hal-hal seperti itu. Lebih baik saya diminta berbicara di depan forum untuk membahas masalah dunia atau peradaban manusia, daripada diminta mendatangi tetangga atau famili untuk berbasa-basi dengan mereka. Demi Tuhan, berbicara di forum ilmiah yang dihadiri ratusan orang jauh lebih mudah bagi saya, daripada berbasa-basi dengan famili atau tetangga, dan bermaaf-maafan dengan mereka.

Dan mengenai maaf-maafan dengan mereka di hari lebaran, kadang saya merasa konyol sendiri. Meski saya mungkin bisa tampak meyakinkan saat bersalaman dengan mereka dan mengatakan “maaf lahir batin”, tapi diam-diam saya berpikir, “Emang kita ini maaf-maafan untuk apa? Aku tidak salah sama kamu, dan kamu juga tidak salah sama aku, dan kita terpaksa melakukan kekonyolan ini karena orang-orang lain melakukan!”

Karena latar belakang itulah, saya selalu tertekan setiap kali lebaran datang. Dalam perspektif saya, Idul Fitri adalah hari raya yang sederhana, yaitu hari biasa untuk merayakan kebebasan makan dan minum setelah sebulan berpuasa. Sudah, hanya itu. Tetapi, tampaknya orang-orang—masyarakat—menganggap Idul Fitri adalah perayaan istimewa yang harus dirayakan besar-besaran, dengan meriah, plus dengan maaf-maafan.

Bahkan, masyarakat tampaknya menganggap Idul Fitri sebagai “Hari Suci”, gara-gara kekeliruan dan ketidaktahuan dalam menerjemahkan bahasa Arab. “Idul Fitri” berasal dari kata bahasa Arab, yaitu “Ied” dan “Fithr”. Dalam bahasa Arab, “Ied” berarti “hari raya”, sedangkan “Fithr” berarti “makan” atau “makanan”. Karenanya, “Idul Fitri” berarti “hari raya untuk makan” (setelah sebulan berpuasa Ramadan).

Susahnya, sebagian orang yang sok ustad mengartikan “Idul Fitri” secara ngawur dan sok tahu. Mereka mengira “Fitri” dalam Idul Fitri berasal dari kata “Fithrah”. Sekilas, “Fithr” dan “Fithrah” tampak sama, tapi memiliki arti jauh berbeda. “Fithrah” menggunakan ta’ marbutoh pada akhir kata, dan memiliki arti “suci” atau “kesucian”. Sementara “Fithr” tidak menggunakan ta’ marbutoh, dan—seperti yang disebut tadi—artinya “makan” atau “makanan”.

Begitu pula dengan “Ied” yang menjadi asal kata “Idul Fitri”. Sebagian orang yang sok ustad mengira “Ied” pada “Idul Fitri” berasal dari kata “Ya’udu”, yang artinya “kembali”. Padahal itu keliru. Dalam perspektif ilmu shorof, bahasa Arab untuk “kembali” adalah ‘aada–ya’uudu–‘audatan. Sekilas memang terdengar seperti “Ied”, tapi jelas bukan. Karenanya, “orang yang kembali” tidak disebut “Ied”, melainkan “Audah”. Karena “Ied” dalam “Idul Fitri” bermakna “hari raya”, yang—jika dijamakkan—menjadi “A’yad”.

Karenanya, sekali lagi, “Idul Fitri” sama sekali tidak bermakna “kembali suci” sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang, melainkan “hari raya makan”, atau hari raya yang ditujukan untuk makan dan minum setelah sebulan berpuasa Ramadan. Hanya itu, sesederhana itu.

“Idul Fitri” juga sama sekali tidak berhubungan dengan urusan maaf-maafan antarmanusia, karena kenyatannya memang tidak dimaksudkan untuk itu. Dengan kata lain, kita tidak diwajibkan sibuk meminta maaf di hari lebaran!

Maaf dengan sesama manusia—siapa pun—sama sekali terlepas dari hari raya Idul Fitri. Dengan kata lain, jika kita merasa perlu meminta maaf pada seseorang karena menyadari kesalahan yang telah kita lakukan, tidak usah menunggu datangnya lebaran! Sebaliknya, jika kita memang tidak punya masalah atau kesalahan apa pun dengan orang lain, tidak perlu repot-repot minta maaf hanya karena lebaran, karena lebaran memang tidak dimaksudkan untuk maaf-maafan!

Di rumah, saya tidak pernah sungkem kepada orangtua ketika lebaran datang. Bukan karena kurang ajar, tapi karena saya menyadari bahwa lebaran memang tidak dimaksudkan untuk sungkem. Adik-adik saya juga tidak pernah meminta maaf atau sungkem pada saya ketika lebaran, dan saya juga tidak pernah mempersoalkan. Karenanya, terkait dengan keluarga sendiri dan teman-teman sepergaulan, saya tidak punya masalah apa pun dengan lebaran. Yang masih jadi masalah, seperti yang saya ceritakan tadi, adalah tetangga, saudara, sanak famili, dan masyarakat.

Bagaimana pun, jika saya tidak mengunjungi mereka di hari lebaran, dan tidak bermaaf-maafan dengan mereka sebagaimana umumnya orang lain, saya akan dianggap salah, keliru, bahkan mungkin dianggap berdosa. Bagaimana pun, mereka telah telanjur meyakini bahwa maaf-maafan di hari lebaran adalah bagian dari ajaran agama. Akibatnya, jika saya tidak melakukan, saya akan dicap tidak mematuhi ajaran agama.

Sebaliknya, jika saya mengunjungi mereka di hari lebaran untuk berbasa-basi dan bermaaf-maafan, saya memang akan dianggap benar, lurus, dan patuh terhadap ajaran agama. Tetapi, hati saya gelisah, dan saya sangat tertekan. Lebih dari itu, saya juga merasa konyol, karena menyadari bahwa saya terpaksa melakukan sesuatu demi dianggap benar, padahal yang saya lakukan justru tidak benar.

Akhirnya, dari ocehan yang tidak jelas juntrungnya ini, apa kira-kira pelajaran yang bisa diambil? Hanya satu, yaitu kesadaran untuk mau belajar.

Kesadaran untuk mau belajar—itulah masalah umum orang beragama. Mereka beragama dengan sistem “pasrah bongkokan”, dalam arti menerima apa pun yang dikatakan kepada mereka, tak peduli siapa yang mengatakan, tak peduli yang dikatakan benar atau tidak. Itulah awal mula munculnya taklid buta. Hanya karena yang mengatakan tampak seperti ustad, mereka pun serta-merta percaya. Padahal, yang tampak ustad belum tentu benar-benar ustad! Yang tampak alim belum tentu benar-benar berilmu.

Karena umumnya orang beragama tidak atau kurang memiliki kesadaran untuk mau belajar, mereka pun menelan mentah-mentah apa saja yang diajarkan kepada mereka. Seperti maaf-maafan di hari lebaran. Itu contoh sekaligus bukti nyata bagaimana sesuatu yang absurd, tidak jelas, dan tidak memiliki dasar agama yang dapat dipertanggungjawabkan, bisa dipercaya bulat-bulat oleh masyarakat untuk dilakukan, hanya karena yang ngomong dianggap ustad.

Akibatnya adalah masalah seperti yang saya alami. Dalam hal ini, bagaimana pun, saya menghadapi dilema dalam beragama dan bermasyarakat. Di satu sisi, saya menyadari agama tidak mengajarkan maaf-maafan di hari lebaran, sementara—di sisi lain—masyarakat menganggap maaf-maafan di hari hari lebaran adalah ajaran agama.

Jika saya mengikuti ajaran agama (tidak bermaaf-maafan di hari lebaran), masyarakat akan menganggap saya salah, karena saya dinilai melanggar aturan agama. Padahal, justru saya berusaha menerapkan apa yang diajarkan agama, yaitu tidak maaf-maafan di hari lebaran!

Ini kan konyol...???

Sebenarnya, dalam hal ini, saya telah berusaha moderat, dalam arti tidak benar-benar menggunakan metodologi dan kaidah agama (Islam) dalam menghadapi budaya maaf-maafan di hari lebaran. Jika saya mau “lugu” menggunakan metodologi agama, saya bisa saja mengatakan bahwa bermaaf-maafan di waktu lebaran adalah bid’ah, karena hal itu tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Tapi saya tidak mau sekaku itu.

Bagaimana pun, saya ingin menghormati sesuatu yang telah ada di masyarakat, dan tidak ingin mengusiknya. Seperti maaf-maafan di hari lebaran. Itu sesuatu yang telah ada di masyarakat sejak lama, dan bisa dibilang sesuatu yang baik (setidaknya bukan sesuatu yang buruk). Saya tidak ingin mempermasalahkan hal itu, apalagi sampai menyebutnya bid’ah. Saya hanya menganggapnya sebagai bagian dari budaya masyarakat. Sudah, hanya itu.

Karena bersifat budaya—dan bukan ajaran agama—maka siapa pun boleh memilih untuk mengikuti, dan siapa pun boleh memilih untuk tidak mengikuti. Sekali lagi, sudah, hanya itu.

Yang masih saya persoalkan, kenapa masyarakat menganggap saya salah, hanya karena tidak maaf-maafan di hari lebaran...?

 
;