“Aku membenci ibuku. Kalau aku ditanya siapa
yang paling kubenci di dunia ini, aku sangat membenci ibuku.
Dia telah begitu merusakku...”
—Riza
yang paling kubenci di dunia ini, aku sangat membenci ibuku.
Dia telah begitu merusakku...”
—Riza
Beberapa pekerjaan bisa diselesaikan sendirian, tapi beberapa yang lain harus dikerjakan oleh tim. Itu pula yang terjadi dua bulan lalu, ketika saya menghadapi sesuatu yang harus dikerjakan, tapi menyadari tak bisa menyelesaikannya sendiri. Maka saya pun menghubungi teman-teman yang biasa menjadi bagian dari tim—Aditya, Febri, dan Andra.
Selama ini, tiga orang itu biasa bekerja bersama saya—kami mengerjakan hal-hal yang memang harus dikerjakan beberapa orang, sesuai keahlian masing-masing. Kami menjadi tim yang solid. Dua bulan lalu, kami menghadapi pekerjaan serupa, dan menyadari harus melibatkan orang lain. Ada beberapa bagian dari pekerjaan itu yang di luar keahlian kami, dan kami harus mencari orang yang tepat. Yaitu orang yang bisa menerjemahkan tulisan ke dalam gambar.
Febri mengusulkan satu nama, yang ia pikir dapat ditarik untuk bergabung dengan tim kami. Sebut saja namanya Riza, dan dia sangat ahli dalam urusan menggambar. Febri mengenal Riza dalam suatu pekerjaan sebelumnya, dan menurutnya Riza orang yang tepat. “Dulu, waktu kami bekerja sama,” ujar Febri menceritakan, “Riza bisa bekerja dengan baik, dan hasil pekerjaannya benar-benar memuaskan.”
Di antara kami berempat, hanya Febri yang mengenal Riza. Andra, Aditya, maupun saya, sama sekali tidak mengenalnya. Bahkan mendengar namanya pun belum pernah.
Andra bertanya, “Orangnya bagaimana?” (Maksudnya, bagaimana sifat/kepribadian Riza).
Febri menjelaskan, “Riza sangat cerdas, meski kurang bisa bergaul. Tapi, kupikir, itu tidak akan menjadi masalah dalam pekerjaan kita, karena—berdasarkan pengalamanku dulu—dia mengerjakan tugasnya dengan baik. Tinggal beritahu apa yang harus dia kerjakan, dan dia akan mengerjakannya dengan sempurna. Dia juga tidak terikat kantor atau tempat kerja mana pun, jadi kita tidak akan terganggu dengan jadwal kerja hariannya.”
Waktu itu kami tidak punya kandidat lain, dan Riza—yang disodorkan Febri—tampaknya sosok yang pas, sesuai yang kami butuhkan. Terlepas Riza dinilai kurang bisa bergaul, itu sama sekali bukan masalah. Toh kami juga bersamanya tidak sampai seminggu—hanya sampai pekerjaan itu rampung. Febri sudah menegaskan bahwa Riza sangat cerdas, perhatian pada detail, dan bisa bekerja di bawah tekanan. Itu sudah cukup.
Jadi, kami pun menyetujui usul Febri untuk memasukkan Riza ke dalam tim, untuk menggarap pekerjaan yang kami tangani waktu itu.
Seperti biasa, ketika ada pekerjaan yang dikerjakan bareng, kami menggunakan rumah Andra sebagai base camp. Rumah Andra sangat luas, dan memiliki cukup banyak kamar. Dulu, sebelum dibeli Andra, pemilik rumah itu menerima anak-anak kost. Ada enam kamar berbentuk melingkar di belakang rumah, lengkap dengan dua kamar mandi dan taman.
Setelah Andra membeli rumah itu, dia melakukan renovasi besar-besaran, tapi tetap membiarkan kamar-kamar di belakang dalam bentuk utuh—hanya diperbarui dan dibuat lebih baik. Oleh Andra, kamar-kamar itu dijadikan kamar tamu, meski kenyataannya dia jarang menerima tamu.
Di rumah itulah, kami kemudian berkumpul, untuk menggarap pekerjaan yang waktu itu kami tangani. Seperti yang telah dijanjikan sebelumnya, Febri datang bersama Riza—orang luar yang akan bergabung dengan tim—dan kami pun menyambut Riza dengan baik, berharap dia benar-benar bisa membantu.
Secara fisik, Riza tampaknya seumuran kami. Tubuhnya relatif kurus, berwajah murung, sikapnya terlihat kaku, dan ucapannya sering terdengar gagap. Penampilannya tampak tidak meyakinkan. Tetapi kami biasa menghadapi sosok semacam itu—orang yang secara fisik maupun penampilan tidak meyakinkan, tapi memiliki otak dan kecerdasan luar biasa. Jadi terus terang kami tidak kaget saat melihat Riza.
Singkat cerita, kami memulai pekerjaan itu bersama-sama, dan—seperti yang dinyatakan Febri—Riza memang orang yang tepat. Dia tidak banyak omong. Bahkan, sebenarnya, dia hanya bicara saat ditanya atau diajak bicara. Selebihnya dia hanya diam, dan terus tekun mengerjakan tugasnya.
Malam hari, setelah lelah dan mengantuk, kami tidur di kamar masing-masing, yang ada di belakang rumah. Di tengah-tengah kamar itu ada taman asri, yang dilengkapi lampu dan tempat duduk. Malam hari, saya biasa duduk-duduk di tempat itu, membaca buku sendirian, sementara yang lain mulai tidur. Suasananya seperti di karantina yang menyenangkan. Selama hari-hari itu, Andra mengisi lemari es di rumahnya hingga penuh, jadi kami tidak khawatir kehabisan makanan atau minuman.
Setelah empat hari bekerja bersama, pekerjaan itu pun selesai. Dan hasilnya benar-benar tepat seperti yang kami inginkan. Keberadaan Riza benar-benar membantu menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik. Rencananya, besok pagi kami sudah bisa berpisah, dan pulang ke rumah masing-masing. Karena bersama selama empat hari, saya dan Riza pun sudah saling mengenal, meski tidak bisa dibilang akrab.
Pada malam keempat itu, seperti malam-malam sebelumnya, saya membaca buku sendirian di kursi taman, sementara yang lain telah tidur di kamar masing-masing. Waktu itu sekitar pukul 02:00 dini hari, dan saya belum ingin tidur.
Pada waktu itulah, pintu kamar Riza terbuka, dan sosoknya kemudian muncul dari dalam kamar. Wajahnya terlihat masih mengantuk. Tampaknya dia terbangun dari tidur, dan bermaksud ke kamar kecil. Dia sempat kaget melihat saya sedang duduk di sana, tapi kemudian melangkah ke kamar kecil. Beberapa saat kemudian, dia keluar dari kamar kecil dengan wajah lebih segar. Sepertinya dia baru membasuh muka.
Lalu dia duduk di kursi di hadapan saya, dan menyapa ragu-ragu, “B-belum tidur?”
Saya meletakkan buku, dan menjawab, “Aku jarang tidur.”
Dia mengangguk. Lalu menuang teh dalam poci ke gelas, dan meminumnya. Setelah meletakkan kembali gelas di atas meja, dia menatap saya, dan berkata, “S-sebenarnya, a-aku tahu siapa kamu.”
Saya menatapnya bingung.
Riza menjelaskan, “A-aku sering membaca blogmu.”
Seketika saya paham yang dia maksudkan, dan saya pun tersenyum.
Waktu itu, saya tidak tahu harus ngomong apa. Riza—sebagaimana yang dikatakan Febri—kurang bisa bergaul. Yang jadi masalah, saya pun sebenarnya seperti itu. Saya tidak tahu bagaimana berbasa-basi, dan tampaknya Riza juga menghadapi hal yang sama—tidak tahu bagaimana berbasa-basi. Jadi, selama beberapa saat kemudian, keheningan yang canggung menggantung di antara kami. Bagaimana pun, saya dan Riza belum bisa dibilang akrab.
Akhirnya, saya menuangkan teh ke gelas, meminumnya, lalu menyulut rokok.
Riza kembali berkata, “A-aku sering membaca blogmu.” Lalu, setelah terdiam sesaat, dia meneruskan dengan ragu, “A-aku senang membaca kisah-kisah yang kamu tulis, karena rasanya sangat dekat dengan kehidupanku.”
Saya kembali tersenyum. “Aku senang mendengarnya.”
“B-banyak kisah dalam tulisanmu yang sangat mirip kehidupanku. A-aku sudah membaca isi blogmu seisi-isinya. S-setiap catatan. Semuanya.”
Saya takjub. “Sungguh?”
Dia mengangguk. “K-kalau aku menceritakan kisahku, kamu mau menulisnya?”
Mungkin karena melihat saya ragu-ragu, Riza buru-buru menambahkan, “A-aku tidak... tidak bermaksud memaksa. A-aku hanya ingin menceritakan. Itu pun kalau kamu mau mendengarkan. Kamu mau menulisnya atau tidak, tentu terserah kamu. Mmm... maksudku, kupikir kamu bisa memahami kisah yang akan kuceritakan.”
Waktu itu, saya merasa tidak punya pilihan. Jadi, saya pun memintanya bercerita.
Lalu cerita itu pun mengalir—cerita yang dituturkan dengan suara agak tergagap, tapi mengungkap sesuatu yang sangat... sangat mengerikan. Melihat ekspresi Riza, saya tahu dia jujur menceritakan kisah yang dialaminya—kisah panjang yang begitu gelap dan suram, hingga membentuk sosok dan kepribadiannya seperti sekarang. Saat dia bercerita, dan kisahnya terus mengalir, saya melihat matanya berkaca-kaca.
“Aku membenci ibuku,” ujar Riza penuh emosi. “K-kalau aku ditanya siapa yang paling kubenci di dunia ini, aku sangat membenci ibuku. Dia telah begitu merusakku...”
....
....
Riza adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik, sementara ibunya bekerja serabutan untuk menambah penghasilan keluarga. Sejak kecil, Riza telah menyadari kehidupan keluarganya yang miskin. Dia jarang mendapat uang saku saat sekolah, dan sering menunggak uang SPP karena orangtuanya sering tak punya uang untuk membayar. Di antara hal itu, Riza juga sering mendapat perlakuan buruk dan kekerasan dari orangtuanya, khususnya ibunya.
Karena kondisi serba kekurangan, Riza telah belajar mencari uang sejak kecil. Di tempat tinggalnya ada tetangga yang memiliki usaha perikanan, dan Riza bekerja di tempat penjemuran ikan sepulang sekolah.
Kerja sepulang sekolah itu telah dia lakukan sejak SD. Dari kerjanya sepulang sekolah, Riza mendapat sedikit uang, namun sering diminta ibunya. Sering kali, Riza harus merelakan uangnya habis diminta ibunya, dengan alasan untuk menambah pemasukan keluarga. Riza kecil tidak punya alasan dan keberanian untuk menolak.
Lanjut ke sini: Lara Terluka (2)