Jumat, 01 Juli 2016

Lara Terluka (3)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Menjelang kenaikan kelas 2 SMP, karena sudah tidak tahan menghadapi tekanan di sekolah, Riza memberanikan diri mengatakan pada orangtuanya bahwa dia ingin keluar atau pindah sekolah. Tapi orangtuanya menolak keinginan itu.

Di antara teman-teman sekolah, ada sedikit teman yang baik kepada Riza. Salah satunya bernama Seno. Kadang, Seno berbaik hati membelikan jajan waktu istirahat di sekolah, mungkin karena tahu Riza sering tidak jajan. Yang membuat Riza tertarik pada Seno adalah keahlian Seno dalam menggambar. Di buku tulisnya, Seno sering membuat gambar-gambar pendekar, atau gambar-gambar tokoh kartun, dan Seno bisa menggambarnya dengan sangat bagus—setidaknya untuk ukuran Riza yang waktu itu masih SMP.

Terinspirasi oleh Seno, Riza terpikir untuk membuat gambar-gambar seperti itu. Jadi, dia pun menyisihkan uang hasil kerjanya sepulang sekolah, lalu dia gunakan untuk membeli buku kosong dan pensil untuk menggambar. Di rumah, saat waktu luang, Riza asyik menggambar di tempat tidurnya, dan dia berpikir itu saat-saat yang menyenangkan. Ketika asyik menggambar di buku tulis, Riza bisa membiarkan pikirannya mengembara, dan melupakan sejenak penderitaan hidupnya.

Tapi rupanya keasyikan itu justru membawa bencana.

Suatu sore, ketika Riza sedang asyik menggambar sepulang kerja, ibunya memergoki. Melihat Riza menggambar di buku tulis, seketika ibunya murka. Bukannya menghargai gambar anaknya atau bersikap positif sebagaimana ibu terhadap anak, ibu Riza justru menjambak rambut Riza, menganiaya, dan memarahi habis-habisan, seolah Riza telah melakukan sesuatu yang jahat dan hina.

Riza masih ingat kata-kata ibunya waktu itu, “Selama ini kupikir kamu belajar atau melakukan hal baik dengan bukumu, tapi ternyata kamu menggunakan buku tulis untuk menggambar!”

Mungkin Riza bersalah karena menggunakan buku tulis untuk menggambar. Tetapi, Riza pikir, dia membeli buku tulis itu dengan uangnya sendiri, dan dia sengaja menyisihkan uang hasil kerjanya untuk membeli buku tersebut. Riza asyik mengambar, karena aktivitas itu bisa membantu melenakan pikirannya yang getir, melupakan kehidupannya yang pahit. Tapi ternyata itu kesalahan di mata ibunya.

Setelah menganiaya Riza habis-habisan beserta sederet caci-maki seperti biasa, ibu Riza menyobek-nyobek buku tulis berisi gambar-gambar Riza, lalu meminta Riza mengganti buku tulis itu. Sambil terisak—karena habis dianiaya ibunya dan karena gambar-gambarnya kini hancur—Riza melangkah pergi ke toko buku yang cukup jauh dari rumahnya, untuk mengganti buku tulis sebagaimana yang diminta ibunya.

“Apa salahku?” Itu yang terus menerus dipikirkan Riza saat melangkah menuju toko buku. Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Dia hanyalah bocah terluka yang menanggung kepahitan hidup, yang mencoba melarikan diri dari sakitnya kenyataan dengan cara menggambar di buku tulis, yang sengaja ia beli dari uangnya sendiri. Kenapa dia harus disalahkan karena itu? 

Meski Riza tidak tahu apa salahnya, tapi ibunya tampak begitu yakin bahwa Riza bersalah. Sejak itu, seperti biasa, Riza kerap mendengar ibunya bercerita kepada para tetangga dan para famili, bahwa dia telah memergoki Riza melakukan sesuatu yang buruk, dan telah menuntut Riza untuk mengganti buku tulis yang dirusaknya. Ibu Riza menceritakan hal itu dengan nada bangga, seolah dia telah melakukan sesuatu yang baik dan mulia sebagai ibu.

(Ketika menceritakan kisah ini kepada saya, Riza mengatakan, “Ibuku tidak gila. Dia hanya seorang ibu yang kebetulan kurang berpendidikan, tapi merasa dirinya pintar dan selalu benar.”)

Akhirnya, Riza lulus SMP. Sebenarnya, waktu itu, orangtua Riza tidak bisa lagi membiayai sekolahnya. Riza ingat, ayahnya mengusulkan agar Riza “libur dulu” setahun, sambil menunggu orangtuanya punya uang untuk menyekolahkannya di SMA. Tapi Riza menolak usul itu. Riza mengatakan, kalau dia harus “libur dulu”—sebagaimana usul ayahnya—maka Riza memilih tidak akan sekolah sama sekali. Jika ia harus sekolah lagi di SMA, dia harus melakukannya sekarang juga.

Akhirnya, Riza melanjutkan SMA, dan dia sengaja memilih sekolah yang paling jarang dimasuki teman-teman SMP-nya. Dia ingin membuka lembaran baru di SMA, dengan teman-teman baru, dengan suasana sekolah yang baru. Kali ini, dia berharap, teman-temannya di SMA lebih baik daripada teman-temannya di SMP yang suka mengganggu dan mem-bully.

Sebenarnya, kehidupan Riza di SMA bisa dibilang tidak berubah—dia tetap miskin, tetap sering dianiaya orangtua, tetap sering kebingungan saat harus membayar SPP, dan tetap menjalani hari-hari buruk yang penuh tekanan. Seperti di SMP, di SMA pun Riza tidak pernah bisa membeli baju seragam yang baru, meski seragamnya sudah sangat usang bahkan rusak. Sepatunya sama usang, tasnya sama rusak. Sampai kemudian Riza terpaksa sekolah tanpa tas, karena tasnya sudah tak bisa dipakai.

Seiring usianya yang terus bertambah, Riza mulai menyadari hal baru yang dialaminya. Karena tekanan hidup yang berat, kemiskinan, kekurangan, sikap orangtua yang buruk, dan segala siksa derita yang terus menerus dijalaninya, Riza tumbuh menjadi pribadi yang sangat rendah diri. Dia baru memahami hal itu saat SMA, ketika dia menyadari tidak bisa seperti kawan-kawannya yang bisa tampak asyik dengan lawan jenis. Riza tidak memiliki keberanian mendekati teman perempuan, karena merasa sangat rendah diri.

Perasaan rendah diri itu pulalah yang menjadikan Riza sering tergagap saat berbicara. Kegagapan itu telah terjadi sejak SMP, tapi dia baru menyadari penyebabnya saat SMA. Dia selalu kebingungan bahkan ketakutan saat akan berbicara dengan orang lain—sebegitu bingung dan takut, hingga tergagap. Kondisi itu pulalah yang menjadikan Riza kurang bisa bergaul dengan orang lain.

Di SMA, teman-temannya memang relatif lebih baik daripada teman-temannya di SMP dulu. Tapi Riza masih sama seperti dulu—tidak bisa jajan pas jam istirahat, dan lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan. Saat jam pelajaran kosong, ketika anak-anak lelaki mendekati anak-anak perempuan, Riza juga memilih masuk perpustakaan, meski sebenarnya dia ingin seperti teman-temannya yang lain. Tapi dia tak pernah punya keberanian.

Sering, saat di perpustakaan, Riza termenung, memikirkan nasibnya sendirian, “Apa salahku?” Sering kali pertanyaan itu yang muncul dalam benak Riza. Sedari kecil, dia terus dipaksa menghadapi hal-hal pahit dan penderitaan, kemiskinan dan kekurangan, sikap yang menyakitkan, perlakuan yang merendahkan, dan semuanya itu kemudian membentuk dirinya seperti sekarang—sosok yang kebingungan, ketakutan, rendah diri, tak bisa bergaul seperti umumnya orang lain.

Riza menyadari, penyebab utama yang membentuk dirinya hingga seperti sekarang adalah perlakuan orangtuanya. Sikap orangtuanya begitu buruk, dan penganiayaan serta berbagai caci-maki yang pernah diterimanya telah mengguratkan luka yang mula-mula tak disadarinya. Kesadaran itu, perlahan-lahan, mulai membentuk hal lain dalam diri Riza. Selain menjadi pribadi yang sangat rendah diri, Riza juga menjadi pemurung dan pemarah.

Perasaan tak berdaya, rasa rendah diri, kekecewaan dan ketakutan—semua itu merenggut senyum dari wajah Riza, dan mengubahnya menjadi pemurung. Sementara luka yang begitu dalam tergurat pada dirinya membentuk Riza menjadi sosok pemarah. Dia marah pada banyak hal. Pada orangtuanya, pada nasibnya, pada kekurangannya, pada takdirnya, pada dirinya sendiri. Kombinasi itu—diakui sendiri oleh Riza—membentuk dirinya sebagai pribadi yang tidak menyenangkan.

Jadi, itulah kemudian yang terjadi pada diri Riza.

Di rumahnya, tidak ada yang berubah. Tetap ada kemiskinan, kekurangan, dan berbagai penderitaan. Tetapi, seiring usianya yang makin matang, Riza mulai berani melawan kesewenang-wenangan orangtuanya. Dia tidak bisa terus menerus membiarkan orangtuanya menganiaya, merendahkan, serta mempermalukannya.

Apakah sikap orangtuanya berubah, setelah sikap Riza kepada mereka berubah? Ya, tapi ternyata berubah lebih buruk.

Sejak Riza menunjukkan kecenderungannya yang pemarah, ibunya menggunakan hal itu untuk banyak hal yang menguntungkan dirinya sendiri. Kadang-kadang, ada tetangga yang menjemur keset atau sesuatu di depan rumah Riza. Ibu Riza—yang dasarnya tinggi hati—tidak suka mendapati hal itu. Tetapi, alih-alih mengatakan terus terang kepada si tetangga, dia menggunakan Riza sebagai senjata. Kepada tetangga yang menjemur keset atau hal lain di depan rumahnya, ibu Riza mengatakan, “Riza tidak senang kamu menjemur keset di depan rumahku.”

Si tetangga pun mengalah, dan tidak lagi menjemur keset atau apa pun di depan rumah Riza. Tapi itu tentu merugikan Riza, karena seolah-olah dia yang melarang, padahal dia sendiri tidak mempermasalahkan. Hal semacam itu terus dilakukan ibunya untuk menghadapi banyak hal. Jika ada suatu masalah dengan tetangga atau famili, ibunya akan menggunakan Riza sebagai senjata atau tameng. Akibatnya, image Riza begitu buruk di mata tetangga atau para famili, padahal dia tidak bersalah apa-apa.

Kesan buruk para tetangga bahkan telah terkumpul sejak Riza masih kecil, karena ibu Riza sangat hobi mengumbar apa pun—termasuk aib anak-anaknya, khususnya Riza—kepada para tetangga dan famili. Jadi, seiring Riza makin dewasa, pandangan para tetangga dan famili semakin buruk terhadapnya.

Kelak, kebiasaan ibu Riza menjadikan Riza sebagai senjata atau tameng semacam itu terus berlangsung sampai Riza dewasa, bahkan sampai sekarang. Akibatnya, tak terhitung banyaknya orang yang tidak menyukai Riza gara-gara ulah ibunya, padahal Riza tidak bersalah apa-apa.

(Saat menceritakan kisah ini, Riza menjelaskan, “Posisiku serbasalah. Kalau aku berterus terang kepada tetangga dan famili mengenai apa yang sebenarnya terjadi, mereka mungkin akan percaya kepadaku. Tapi hal itu akan membuat image ibuku rusak di mata mereka. Kupikir, daripada hal itu terjadi, aku memilih mengalah.”)

Lanjut ke sini: Lara Terluka (4)

 
;