Ada warung bakso yang saya temukan tanpa sengaja, dan saya merasa cocok. Jadi, saya pun cukup sering ke sana. Baksonya besar, sebesar bola tenis, dan enak. Lebih dari itu, tempatnya juga lumayan nyaman—tidak terlalu ramai.
Suatu sore, saya masuk warung bakso itu, dan memilih tempat duduk menghadap dinding. Seperti biasa, penjual bakso di sana—seorang wanita muda ramah—menyapa, “Pakai mie, Mas?”
“Ya,” saya menyahut.
Setelah itu, saya pun khusyuk menikmati bakso dalam mangkuk. Setelah habis, saya meminum es teh dalam gelas. Lalu, sambil merasakan perut yang kencang, saya menyulut rokok, dan mengisap dengan nikmat. Sambil menghadap dinding.
Pada waktu itulah, beberapa cewek masuk warung bakso. Tanpa harus menengok, saya tahu cewek yang datang ada empat orang—suara celoteh mereka dapat diidentifikasi. Dan tanpa perlu menoleh, saya pun tahu keempat cewek itu seumuran Nabilah JKT48.
Empat cewek itu duduk mengelilingi meja di belakang saya. Penjual bakso menanyai mereka, “Pakai mie, Mbak?”
Cewek pertama berkata, “Saya tidak pakai mie kuning.”
Cewek kedua berkata, “Saya tidak pakai mie kuning juga mie putih.”
Cewek ketiga berkata, “Saya tidak pakai bumbu masak.”
Lalu jeda.
Diam-diam saya menunggu cewek keempat berbicara atau mengatakan apa pun.
Tapi tidak ada suara apa-apa.
Cewek keempat cuma diam.
Dan saya stres. Ada yang sangat salah di sini.
Sambil merokok menghadap dinding warung bakso, saya berpikir betapa banyak hal di dunia yang bisa membuat stres. Misalnya menunggu cewek keempat buka suara di warung bakso. Dan, tiba-tiba saya menyadari, hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah stres di warung bakso.