***
Pada waktu SD pula, sekolah Riza memberlakukan kewajiban menabung bagi para siswa. Masing-masing siswa diberi buku tabungan, dan setiap hari mereka bisa mengisi tabungan itu berapa pun, yang tujuannya untuk membantu pembayaran SPP atau untuk keperluan lain menyangkut kegiatan belajar (waktu itu belum ada BOS—Bantuan Operasional Sekolah—seperti sekarang).
Seperti para siswa lain, Riza juga mendapat buku tabungan, dan setiap hari orangtuanya memberi sedikit uang untuk ditabungkan. Di sekolah, buku tabungan itu ditangani oleh wali kelas. Setiap hari, masing-masing siswa menyerahkan buku tabungan serta sejumlah uang, lalu wali kelas akan menyimpan uang yang diberikan, serta menuliskan catatan di buku tabungan—meliputi saldo dan lain-lain.
Biasanya, orangtua Riza akan menyuruh menggunakan uang di tabungan untuk membayar SPP, jika jumlah tabungannya kebetulan cukup. Biasanya pula, petugas TU (mewakili wali kelas) akan memotong saldo di buku tabungan, untuk dialihkan sebagai pembayaran SPP pada bulan yang berjalan. Hal itu telah berlangsung berkali-kali.
Pada waktu Riza kelas 5 SD, ada peristiwa terkait buku tabungan tersebut. Ceritanya, uang di buku tabungan Riza telah cukup untuk membayar SPP, dan orangtuanya pun menyuruhnya menggunakan uang di tabungan untuk membayar SPP bulan tersebut. Di sekolah, Riza menemui petugas TU dengan membawa buku tabungan serta kartu SPP. Petugas TU menerima hal itu seperti biasa, bahkan mungkin sudah hafal dengan Riza. Tapi waktu itu terjadi “kekeliruan”.
Petugas TU membubuhkan tanda tangan di kartu SPP, dan mencatat bahwa biaya SPP bulan itu telah dibayar. Tetapi, tampaknya si petugas TU lupa memotong uang di buku tabungan Riza. Jadi, saldo di buku tabungan Riza masih utuh, meski sebenarnya telah digunakan untuk membayar SPP bulan tersebut. Riza baru menyadari hal itu malam hari, saat sedang menyiapkan buku-buku pelajaran yang akan digunakan besok.
Malam itu, menjelang tidur, Riza memandangi buku tabungannya. Ada sejumlah uang di buku tabungan itu yang seharusnya sudah hilang—karena digunakan untuk membayar SPP—namun masih tercatat sebagai saldo di buku tabungan. Sebagai bocah SD, dia berpikir, “Bagaimana kalau aku mencoba mengambil uang di tabungan ini? Siapa tahu wali kelas tidak tahu kalau sebenarnya uang di tabungan telah digunakan untuk membayar SPP?”
Pikiran nakal itu menari-nari di benak Riza. Dia membayangkan rencana itu berhasil, dan dia akan memiliki sejumlah uang cukup besar. Selama ini, dia jarang memiliki uang, karena orangtuanya sangat jarang memberi. Uang hasil kerjanya pun sering diminta ibunya, sehingga Riza tak pernah bisa menikmati hasil kerjanya. Dia pikir, apa salahnya kalau sekarang dia mendapatkan uang di buku tabungan? Jika ini berhasil, pikir Riza waktu itu, kemungkinan besar tidak akan ada yang tahu.
Besoknya, saat di sekolah, Riza nekat menemui wali kelas. Dia mengatakan ingin mengambil sejumlah uang dari buku tabungan. (Dia sengaja mengambil sejumlah biaya SPP bulanannya). Karena di buku tabungan masih tercatat saldo yang cukup, si wali kelas tidak curiga. Dia menyerahkan sejumlah uang yang diminta Riza, lalu membubuhkan catatan di buku tabungan bahwa sejumlah uang telah diambil.
Usaha Riza berhasil, tepat seperti yang dibayangkannya. Jadi, hari itu, dia pulang dari sekolah dengan membawa sejumlah uang dalam tasnya.
Seperti yang dinyatakan di atas, Riza adalah anak sulung dari empat bersaudara. Waktu itu, adik-adik Riza masih kecil (dua sudah sekolah, satu belum sekolah), dan sama menghadapi kehidupan yang malang. Mereka jarang jajan di sekolah atau di rumah, karena orangtua jarang memberi uang. Karena itu, ketika Riza memiliki sejumlah uang yang ia ambil dari buku tabungan, pikiran pertamanya adalah membahagiakan adik-adiknya.
Dengan kepolosannya sebagai bocah, hari itu dia mengajak adik-adiknya ke warung es buah yang tak jauh dari rumah mereka. Di warung es buah juga tersedia aneka jajan, dan Riza memanjakan adik-adiknya di sana. Mereka pun bergembira di warung itu, karena sangat jarang bisa menikmati jajan sebagaimana umumnya anak-anak lain. Riza mengatakan kepada mereka, bahwa dia baru saja mendapat arisan di sekolah, sehingga bisa membayari jajan adik-adiknya.
Tapi rupanya kegembiraan itu menjadi petaka bagi Riza.
Di rumah, adik-adik Riza menceritakan kepada ibu mereka, bahwa Riza baru saja mentraktir jajan, dan mereka senang sekali. Ibu mereka seketika curiga, dan langsung menginterogasi Riza mengenai uang yang dimilikinya. (Saya sengaja menggunakan istilah “menginterogasi” di sini, karena kenyataannya memang itulah yang terjadi). Ibu Riza tidak bertanya sebagaimana ibu yang baik kepada anaknya. Dia menginterogasi Riza, seperti polisi yang penuh curiga menginterogasi penjahat.
Singkat cerita, Riza akhirnya mengakui dari mana uangnya berasal, bahwa dia memanfaatkan “keteledoran” petugas TU yang tidak memotong saldo di buku tabungannya, saat dia membayar SPP. Pengakuan itu membuat Riza sangat menderita, karena ibunya—seperti biasa—langsung menganiaya dengan kejam, plus memuntahkan sederet caci-maki.
Itu bukan pertama kali Riza menghadapi kekejaman orangtua, khususnya ibunya. Sebelumnya, Riza sudah biasa menghadapi perlakuan buruk orangtuanya. Ayah maupun ibunya sangat kejam. Ibunya bahkan lebih kejam, karena selain sering menganiaya secara fisik, juga biasa merendahkan Riza dengan caci-maki yang penuh hinaan.
Karena uang tabungan yang diambil Riza baru digunakan sedikit—hanya untuk mentraktir adik-adiknya jajan—maka sisanya pun masih banyak. Orangtua Riza menuntutnya mengganti uang yang telah digunakan, dan meminta Riza untuk mengembalikan serta mengakui kejahatan yang dilakukannya kepada wali kelas. Riza pun patuh. Dia menemui wali kelasnya, mengembalikan sejumlah uang yang kemarin telah diambilnya secara tidak benar, dan mengakui perbuatannya. Si wali kelas tidak mempermasalahkan hal itu.
Tetapi, dampak ulah nakal Riza itu kemudian berbuntut panjang. Sejak itu, Riza sering mendengar ibunya bercerita kepada para tetangga dan para famili, tentang keberhasilannya “mengungkap kejahatan” yang dilakukan oleh Riza. Dalam ingatan Riza, ibunya sering berkata kira-kira seperti ini, “Mula-mula Riza tidak mau mengaku. Tapi setelah kutanya mutar-mutar, dan kujebak dengan berbagai pertanyaan, dia tidak bisa mengelak lagi, dan akhirnya mengakui kejahatannya.”
Riza tidak habis pikir dengan ulah ibunya. Setiap kali ibunya menceritakan hal itu pada siapa pun, Riza bisa melihat atau mendengar nada bangga ibunya. Padahal, kasus itu terjadi pada anaknya sendiri. Riza menyadari perbuatannya tidak baik. Tetapi, bukannya menutupi hal itu sebagai aib, ibunya justru mengumbar dan menceritakan ke mana-mana. Ibu Riza seperti tidak menyadari bahwa perbuatannya telah membuka aib anaknya sendiri. Karena hal itu, Riza pun sangat malu pada tetangga dan para famili.
(Kelak, Riza mengetahui bahwa itu menjadi awal dia menyadari kebiasaan buruk ibunya, yaitu senang menceritakan apa pun—termasuk keburukan orang—meski menyangkut anak atau keluarganya sendiri.)
Sejak itu pula, image Riza perlahan-lahan rusak di mata para tetangga dan para famili. Di mata mereka, mungkin, Riza adalah penjahat kecil. Ibunya sendiri yang menceritakan keburukan anaknya—orang mana yang tidak akan percaya? Jadi, sejak itu, para tetangga dan para famili menatap Riza dengan pandangan buruk. Kelak, image buruk yang sebenarnya keliru itu akan menumpuk dan terakumulasi, hingga dampaknya sangat mengerikan. Ceritanya ada di bawah.
(Ketika menceritakan kisah ini kepada saya, Riza mengatakan, “S-setelah dewasa, aku menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada ibuku. Dia—seperti umumnya orang lain—ingin menganggap dirinya penting. Dan menceritakan perbuatanku kepada orang lain membuatnya merasa penting, karena dia pikir itu berkat kecerdikannya. Dia tidak peduli jika harus mengumbar aib anaknya sendiri, asal itu membuatnya merasa penting.”)
Yang dikatakan Riza sepertinya tidak berlebihan. Berdasarkan uraian dan ceritanya, saya bisa membayangkan ibu Riza adalah sosok yang tinggi hati, menilai diri terlalu tinggi, dan kecenderungan itu pula yang melatari perlakuannya terhadap Riza serta adik-adiknya. Bagi ibu Riza, menceritakan keburukan atau aib anak-anaknya tidak masalah, asalkan itu bisa membuatnya merasa penting. Suatu pola pikir yang rusak, dan kerusakan pola pikir itu kemudian berdampak pada anak-anaknya, khususnya pada Riza.
Kecenderungan serta pola pikir itu pulalah yang membuat ibu Riza sangat mudah menganiaya serta mencaci-maki dan merendahkan Riza, saat terjadi masalah apa pun dalam kehidupan sehari-hari. Adik-adik Riza waktu itu masih kecil, hingga yang sering menjadi korban penganiayaan—baik fisik maupun verbal—adalah Riza, si anak sulung.
Sebegitu pahit kehidupan yang dijalaninya, di masa-masa itu Riza sering berkhayal bahwa dia sebenarnya anak orang kaya, dan suatu hari kelak orangtuanya yang asli akan datang menjemput, untuk mengeluarkannya dari keluarga miskin dan kejam yang selama ini dihadapinya. Tapi khayalan itu tentu tidak pernah menjadi kenyataan. Faktanya, Riza memang anak orangtuanya, yang miskin dan kejam.
Sepulang sekolah, Riza berangkat ke tempat penjemuran ikan untuk bekerja di sana. Sering, dia datang ke tempat itu sambil menangis, karena baru dianiaya ibunya, lalu wanita-wanita yang bekerja di sana menghiburnya. Riza tak pernah bisa melupakan kenangan itu. Sikap lembut wanita-wanita di tempat penjemuran ikan jauh lebih baik, daripada sikap ibunya sendiri terhadapnya.
Ketika Riza memasuki SMP, kehidupan tidak berubah. Dia masih miskin, masih jarang memiliki uang jajan, dan masih sering menghadapi penganiayaan orangtua. Semua itu, beserta pengalaman-pengalamannya sejak kecil, kemudian ikut membentuk kepribadian Riza. Dia tumbuh menjadi anak yang sering khawatir, ketakutan, kebingungan, dan sulit bergaul.
Di sekolah, ketika teman-temannya berlarian untuk jajan pas jam istirahat, Riza pergi ke perpustakaan. Dia terpaksa melakukan itu, karena dua hal. Pertama, dia tidak punya uang untuk jajan. Kedua, dia tidak bisa menikmati kebersamaan dengan teman-temannya. Di perpustakaan, Riza menenggelamkan dirinya ke dalam buku-buku, majalah, dan apa pun yang bisa dibaca.
Kenyataannya, Riza tidak menikmati masa sekolahnya. Penganiayaan dan sikap merendahkan yang biasa ia terima dari orangtuanya membentuk Riza menjadi sosok “aneh”—tipe anak yang biasa di-bully teman-temannya di sekolah. Lebih banyak teman Riza di sekolah yang bersikap buruk kepadanya, daripada yang baik, dan kondisi itu menjadikan Riza terus menerus tersiksa. Di rumah, dia menghadapi perlakuan buruk orangtua. Di sekolah, dia menghadapi perlakuan yang sama buruk dari teman-temannya.
Lanjut ke sini: Lara Terluka (3)
Seperti para siswa lain, Riza juga mendapat buku tabungan, dan setiap hari orangtuanya memberi sedikit uang untuk ditabungkan. Di sekolah, buku tabungan itu ditangani oleh wali kelas. Setiap hari, masing-masing siswa menyerahkan buku tabungan serta sejumlah uang, lalu wali kelas akan menyimpan uang yang diberikan, serta menuliskan catatan di buku tabungan—meliputi saldo dan lain-lain.
Biasanya, orangtua Riza akan menyuruh menggunakan uang di tabungan untuk membayar SPP, jika jumlah tabungannya kebetulan cukup. Biasanya pula, petugas TU (mewakili wali kelas) akan memotong saldo di buku tabungan, untuk dialihkan sebagai pembayaran SPP pada bulan yang berjalan. Hal itu telah berlangsung berkali-kali.
Pada waktu Riza kelas 5 SD, ada peristiwa terkait buku tabungan tersebut. Ceritanya, uang di buku tabungan Riza telah cukup untuk membayar SPP, dan orangtuanya pun menyuruhnya menggunakan uang di tabungan untuk membayar SPP bulan tersebut. Di sekolah, Riza menemui petugas TU dengan membawa buku tabungan serta kartu SPP. Petugas TU menerima hal itu seperti biasa, bahkan mungkin sudah hafal dengan Riza. Tapi waktu itu terjadi “kekeliruan”.
Petugas TU membubuhkan tanda tangan di kartu SPP, dan mencatat bahwa biaya SPP bulan itu telah dibayar. Tetapi, tampaknya si petugas TU lupa memotong uang di buku tabungan Riza. Jadi, saldo di buku tabungan Riza masih utuh, meski sebenarnya telah digunakan untuk membayar SPP bulan tersebut. Riza baru menyadari hal itu malam hari, saat sedang menyiapkan buku-buku pelajaran yang akan digunakan besok.
Malam itu, menjelang tidur, Riza memandangi buku tabungannya. Ada sejumlah uang di buku tabungan itu yang seharusnya sudah hilang—karena digunakan untuk membayar SPP—namun masih tercatat sebagai saldo di buku tabungan. Sebagai bocah SD, dia berpikir, “Bagaimana kalau aku mencoba mengambil uang di tabungan ini? Siapa tahu wali kelas tidak tahu kalau sebenarnya uang di tabungan telah digunakan untuk membayar SPP?”
Pikiran nakal itu menari-nari di benak Riza. Dia membayangkan rencana itu berhasil, dan dia akan memiliki sejumlah uang cukup besar. Selama ini, dia jarang memiliki uang, karena orangtuanya sangat jarang memberi. Uang hasil kerjanya pun sering diminta ibunya, sehingga Riza tak pernah bisa menikmati hasil kerjanya. Dia pikir, apa salahnya kalau sekarang dia mendapatkan uang di buku tabungan? Jika ini berhasil, pikir Riza waktu itu, kemungkinan besar tidak akan ada yang tahu.
Besoknya, saat di sekolah, Riza nekat menemui wali kelas. Dia mengatakan ingin mengambil sejumlah uang dari buku tabungan. (Dia sengaja mengambil sejumlah biaya SPP bulanannya). Karena di buku tabungan masih tercatat saldo yang cukup, si wali kelas tidak curiga. Dia menyerahkan sejumlah uang yang diminta Riza, lalu membubuhkan catatan di buku tabungan bahwa sejumlah uang telah diambil.
Usaha Riza berhasil, tepat seperti yang dibayangkannya. Jadi, hari itu, dia pulang dari sekolah dengan membawa sejumlah uang dalam tasnya.
Seperti yang dinyatakan di atas, Riza adalah anak sulung dari empat bersaudara. Waktu itu, adik-adik Riza masih kecil (dua sudah sekolah, satu belum sekolah), dan sama menghadapi kehidupan yang malang. Mereka jarang jajan di sekolah atau di rumah, karena orangtua jarang memberi uang. Karena itu, ketika Riza memiliki sejumlah uang yang ia ambil dari buku tabungan, pikiran pertamanya adalah membahagiakan adik-adiknya.
Dengan kepolosannya sebagai bocah, hari itu dia mengajak adik-adiknya ke warung es buah yang tak jauh dari rumah mereka. Di warung es buah juga tersedia aneka jajan, dan Riza memanjakan adik-adiknya di sana. Mereka pun bergembira di warung itu, karena sangat jarang bisa menikmati jajan sebagaimana umumnya anak-anak lain. Riza mengatakan kepada mereka, bahwa dia baru saja mendapat arisan di sekolah, sehingga bisa membayari jajan adik-adiknya.
Tapi rupanya kegembiraan itu menjadi petaka bagi Riza.
Di rumah, adik-adik Riza menceritakan kepada ibu mereka, bahwa Riza baru saja mentraktir jajan, dan mereka senang sekali. Ibu mereka seketika curiga, dan langsung menginterogasi Riza mengenai uang yang dimilikinya. (Saya sengaja menggunakan istilah “menginterogasi” di sini, karena kenyataannya memang itulah yang terjadi). Ibu Riza tidak bertanya sebagaimana ibu yang baik kepada anaknya. Dia menginterogasi Riza, seperti polisi yang penuh curiga menginterogasi penjahat.
Singkat cerita, Riza akhirnya mengakui dari mana uangnya berasal, bahwa dia memanfaatkan “keteledoran” petugas TU yang tidak memotong saldo di buku tabungannya, saat dia membayar SPP. Pengakuan itu membuat Riza sangat menderita, karena ibunya—seperti biasa—langsung menganiaya dengan kejam, plus memuntahkan sederet caci-maki.
Itu bukan pertama kali Riza menghadapi kekejaman orangtua, khususnya ibunya. Sebelumnya, Riza sudah biasa menghadapi perlakuan buruk orangtuanya. Ayah maupun ibunya sangat kejam. Ibunya bahkan lebih kejam, karena selain sering menganiaya secara fisik, juga biasa merendahkan Riza dengan caci-maki yang penuh hinaan.
Karena uang tabungan yang diambil Riza baru digunakan sedikit—hanya untuk mentraktir adik-adiknya jajan—maka sisanya pun masih banyak. Orangtua Riza menuntutnya mengganti uang yang telah digunakan, dan meminta Riza untuk mengembalikan serta mengakui kejahatan yang dilakukannya kepada wali kelas. Riza pun patuh. Dia menemui wali kelasnya, mengembalikan sejumlah uang yang kemarin telah diambilnya secara tidak benar, dan mengakui perbuatannya. Si wali kelas tidak mempermasalahkan hal itu.
Tetapi, dampak ulah nakal Riza itu kemudian berbuntut panjang. Sejak itu, Riza sering mendengar ibunya bercerita kepada para tetangga dan para famili, tentang keberhasilannya “mengungkap kejahatan” yang dilakukan oleh Riza. Dalam ingatan Riza, ibunya sering berkata kira-kira seperti ini, “Mula-mula Riza tidak mau mengaku. Tapi setelah kutanya mutar-mutar, dan kujebak dengan berbagai pertanyaan, dia tidak bisa mengelak lagi, dan akhirnya mengakui kejahatannya.”
Riza tidak habis pikir dengan ulah ibunya. Setiap kali ibunya menceritakan hal itu pada siapa pun, Riza bisa melihat atau mendengar nada bangga ibunya. Padahal, kasus itu terjadi pada anaknya sendiri. Riza menyadari perbuatannya tidak baik. Tetapi, bukannya menutupi hal itu sebagai aib, ibunya justru mengumbar dan menceritakan ke mana-mana. Ibu Riza seperti tidak menyadari bahwa perbuatannya telah membuka aib anaknya sendiri. Karena hal itu, Riza pun sangat malu pada tetangga dan para famili.
(Kelak, Riza mengetahui bahwa itu menjadi awal dia menyadari kebiasaan buruk ibunya, yaitu senang menceritakan apa pun—termasuk keburukan orang—meski menyangkut anak atau keluarganya sendiri.)
Sejak itu pula, image Riza perlahan-lahan rusak di mata para tetangga dan para famili. Di mata mereka, mungkin, Riza adalah penjahat kecil. Ibunya sendiri yang menceritakan keburukan anaknya—orang mana yang tidak akan percaya? Jadi, sejak itu, para tetangga dan para famili menatap Riza dengan pandangan buruk. Kelak, image buruk yang sebenarnya keliru itu akan menumpuk dan terakumulasi, hingga dampaknya sangat mengerikan. Ceritanya ada di bawah.
(Ketika menceritakan kisah ini kepada saya, Riza mengatakan, “S-setelah dewasa, aku menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada ibuku. Dia—seperti umumnya orang lain—ingin menganggap dirinya penting. Dan menceritakan perbuatanku kepada orang lain membuatnya merasa penting, karena dia pikir itu berkat kecerdikannya. Dia tidak peduli jika harus mengumbar aib anaknya sendiri, asal itu membuatnya merasa penting.”)
Yang dikatakan Riza sepertinya tidak berlebihan. Berdasarkan uraian dan ceritanya, saya bisa membayangkan ibu Riza adalah sosok yang tinggi hati, menilai diri terlalu tinggi, dan kecenderungan itu pula yang melatari perlakuannya terhadap Riza serta adik-adiknya. Bagi ibu Riza, menceritakan keburukan atau aib anak-anaknya tidak masalah, asalkan itu bisa membuatnya merasa penting. Suatu pola pikir yang rusak, dan kerusakan pola pikir itu kemudian berdampak pada anak-anaknya, khususnya pada Riza.
Kecenderungan serta pola pikir itu pulalah yang membuat ibu Riza sangat mudah menganiaya serta mencaci-maki dan merendahkan Riza, saat terjadi masalah apa pun dalam kehidupan sehari-hari. Adik-adik Riza waktu itu masih kecil, hingga yang sering menjadi korban penganiayaan—baik fisik maupun verbal—adalah Riza, si anak sulung.
Sebegitu pahit kehidupan yang dijalaninya, di masa-masa itu Riza sering berkhayal bahwa dia sebenarnya anak orang kaya, dan suatu hari kelak orangtuanya yang asli akan datang menjemput, untuk mengeluarkannya dari keluarga miskin dan kejam yang selama ini dihadapinya. Tapi khayalan itu tentu tidak pernah menjadi kenyataan. Faktanya, Riza memang anak orangtuanya, yang miskin dan kejam.
Sepulang sekolah, Riza berangkat ke tempat penjemuran ikan untuk bekerja di sana. Sering, dia datang ke tempat itu sambil menangis, karena baru dianiaya ibunya, lalu wanita-wanita yang bekerja di sana menghiburnya. Riza tak pernah bisa melupakan kenangan itu. Sikap lembut wanita-wanita di tempat penjemuran ikan jauh lebih baik, daripada sikap ibunya sendiri terhadapnya.
Ketika Riza memasuki SMP, kehidupan tidak berubah. Dia masih miskin, masih jarang memiliki uang jajan, dan masih sering menghadapi penganiayaan orangtua. Semua itu, beserta pengalaman-pengalamannya sejak kecil, kemudian ikut membentuk kepribadian Riza. Dia tumbuh menjadi anak yang sering khawatir, ketakutan, kebingungan, dan sulit bergaul.
Di sekolah, ketika teman-temannya berlarian untuk jajan pas jam istirahat, Riza pergi ke perpustakaan. Dia terpaksa melakukan itu, karena dua hal. Pertama, dia tidak punya uang untuk jajan. Kedua, dia tidak bisa menikmati kebersamaan dengan teman-temannya. Di perpustakaan, Riza menenggelamkan dirinya ke dalam buku-buku, majalah, dan apa pun yang bisa dibaca.
Kenyataannya, Riza tidak menikmati masa sekolahnya. Penganiayaan dan sikap merendahkan yang biasa ia terima dari orangtuanya membentuk Riza menjadi sosok “aneh”—tipe anak yang biasa di-bully teman-temannya di sekolah. Lebih banyak teman Riza di sekolah yang bersikap buruk kepadanya, daripada yang baik, dan kondisi itu menjadikan Riza terus menerus tersiksa. Di rumah, dia menghadapi perlakuan buruk orangtua. Di sekolah, dia menghadapi perlakuan yang sama buruk dari teman-temannya.
Lanjut ke sini: Lara Terluka (3)