Your boundaries must be stronger than
your need to be liked by other people.
Kemarin malam, saya berkumpul dengan beberapa teman, dan ada satu orang yang baru saya kenal. Saya mendapat pelajaran penting darinya, dan ingin saya bagikan di sini. Dia mengizinkan saya menceritakannya, tapi tidak mengizinkan saya menyebut namanya. Jadi sebut saja dia X.
Salah satu topik percakapan kami kemarin malam adalah tentang “memikirkan apa kata orang lain”. Ini hal yang sering muncul dalam pikiran banyak orang, termasuk kita. Ketika ingin melakukan sesuatu, kita kadang berpikir, “Apa kata orang lain nanti?” dan varian semacamnya.
Saya juga dulu sering berpikir begitu. Saat ingin menyampaikan sesuatu, atau ingin melakukan sesuatu, kadang saya terhenti karena berpikir, “Apa kata orang lain nanti?”
Belakangan saya mulai belajar untuk tidak lagi berpikir seperti itu, dan tetap melakukan apa pun yang saya yakini benar.
Nah, X memberi saya ilustrasi yang benar-benar “frontal” tentang bagaimana dia tidak peduli lagi pada apa pun pendapat orang lain, dan dia menjalani hidupnya dengan caranya sendiri. Ia bilang, “Selama tidak mengganggu atau merugikan orang lain, aku akan melakukan, dan persetan dengan mereka.”
Dulu, X mengakui, dia sama seperti orang lain umumnya, sering berpikir, “Apa kata orang lain nanti?” Karenanya, dia juga mengakui, dia kadang khawatir saat ingin melakukan sesuatu dalam kehidupannya. Sampai suatu saat, dia jatuh dalam kebangkrutan, dan miskin.
Singkat cerita, X benar-benar miskin saat itu, sampai tidak punya uang untuk makan, sementara kendaraannya tidak bisa dipakai karena kehabisan bensin. Dia tinggal sendirian di rumahnya, barang-barang berharga sudah habis terjual, dan setelah itu satu-satunya cara agar dia bisa makan hanya jalan kaki ke rumah orang tuanya.
Dan itulah yang dilakukan X. Selama waktu-waktu itu, setiap hari dia jalan kaki ke rumah orang tuanya, sekitar 5 km jauhnya, hanya agar bisa makan. Tentu saja dia hanya makan satu kali sehari, agar tidak terus bolak-balik jalan kaki. Kadang-kadang dia menginap di rumah orang tuanya, jika kelelahan, tapi sering kali dia pulang ke rumahnya sendiri. Dan dia menjalani masa pahit itu hingga beberapa bulan.
Kenapa dia tidak menginap terus saja di rumah orang tuanya, agar tidak bolak-balik? Jawabannya sederhana; tidak nyaman.
“Itu fase paling rendah dan menyedihkan dalam hidupku,” curhat X.
Dan selama dia berjalan kaki setiap hari sejauh 5 km hanya agar bisa makan, X berpikir dan menyadari bahwa tidak ada orang lain yang peduli kepadanya. Tidak ada orang peduli dia jalan kaki sejauh 5 km hanya untuk bisa makan satu kali sehari.
“Dan itu memberiku kesadaran,” ujar X, “bahwa orang-orang di sekitar kita sebenarnya tidak peduli dengan kita. Mereka hanya peduli dengan urusan mereka sendiri, dan mereka sudah terlalu sibuk dengan hidup mereka sendiri. Jadi, persetan, kenapa aku harus mempedulikan mereka?”