Kamis, 01 Desember 2022

Melihat Fitnah Bekerja

Omong-omong soal fitnah...

Sambil nunggu udud habis.

Suatu malam, Si A ngetwit, “Capek banget badanku.” 

Kita tentu sepakat kalau itu tweet netral. Seseorang sedang sambat kalau badannya capek. Mungkin habis bersih-bersih rumah, atau habis jalan-jalan, apa pun. Dia tidak menyinggung siapa pun, selain hanya ingin sekadar sambat.

Tetapi, ada orang lain—sebut saja Si B—membaca tweet itu, lalu “memelintirnya”. 

Si B satu kantor dengan Si A. Besoknya, ketika di kantor, Si B menemui manajernya, dan ngadu, “Si A kayaknya nggak betah kerja di sini, tiap malam ngeluh terus di Twitter. Capek, lah. Bosan, lah.”

Si Manajer terpancing, dan sejak itu berprasangka buruk pada Si A, berpikir bahwa Si A tidak suka kerja di kantornya. Karena pikirannya sudah keliru, penilaiannya pada Si A juga keliru. Mungkin Si A pekerja yang baik dan rajin, tapi Si Manajer tidak bisa melihat kelebihan itu.

Dalam contoh tadi, itu bahkan omongan dari orang pertama (yang melihat langsung tweet Si A). Bayangkan akan seperti apa jadinya ketika omongan Si A melewati beberapa orang lain. 

Si B membaca tweet Si A, lalu cerita ke Si C—“eh, Si A nulis gini-gini di Twitter, loh.”

Lalu Si C cerita ke Si D, “menurut Si B, Si A nulis gini-gini di Twitter, gimana menurutmu?”

Si D terpengaruh, “Oooh, pantesan. Si A emang sukanya gitu.”

Lalu Si D cerita ke yang lain lagi.

Tiap kali omongan pindah dari orang ke orang, hampir selalu akan bertambah (ditambahi).

Ini mungkin terkesan sepele, tapi bisa berdampak besar pada orang lain. 

Seseorang ngetwit biasa, atau ngobrol biasa dengan temannya, lalu tweet atau omongannya dipelintir/ditambahi orang yang kebetulan nguping, dan digunakan untuk mengadu domba, atau untuk tujuan apa pun.

Ada orang berbicara dengan orang lain, dan kebetulan ada rokok terselip di bibirnya. Karena bibirnya sedang mengapit rokok, suara omongannya terdengar tidak jelas. Sebenarnya itu bukan masalah, karena dia sedang berbicara dengan temannya, dan si teman memahami ucapannya.

Tapi ada orang yang kebetulan melihat hal itu, mendengar suara yang tidak jelas (karena ada rokok terselip di bibir), lalu menuduh orang tadi sedang mabuk. 

“Oooh, dia pasti lagi mabuk, tuh. Suaranya aja gak jelas gitu.” Lalu tuduhan ngawur itu disebarkan ke orang-orang lain.

Itu mirip dengan kasus yang kuceritakan di sini. Aku memanggil temanku dengan sebutan “Mbah”—karena dia memang biasa dipanggil begitu—lalu ada orang lain mendengarnya, dan menyebarkan fitnah kalau itu dukun peliharaanku. Tidak tahu, tapi sok tahu.



Kasus lain. Ada dua orang sedang menghitung pergerakan nilai saham, lalu ada orang lain yang kebetulan mendengar, dan mengira sedang meramal angka togel. Sudah salah dengar, salah paham, sok pintar, lalu menyebar-nyebarkannya ke orang lain. Begitulah cara fitnah bekerja.

Sayangnya, ada orang-orang semacam itu di dunia ini; orang-orang yang sok tahu tentang orang lain hanya karena kebetulan membaca tweet-nya, atau karena nguping obrolannya. Lalu mereka salah paham, tapi merasa benar, dan menyebar-nyebarkannya ke orang lain.

“L'enfer, c'est les autres,” kata Jean Paul Sartre. 

Sering kali memang begitu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2022.

 
;