Mumpung ingat, mumpung selo, dan mumpung udud masih panjang, aku mau melanjutkan ocehan ini.
Mari kita mulai dengan artikel ilmiah ini.
The Conversation bertanya, mengapa rata-rata orang Indonesia menganggap kunci sukses adalah ikhtiar atau kerja keras, dan bukan latar kelas sosialnya?
Pertanyaan itu sering menghasilkan jawaban stereotipe, yaitu “kemiskinan sistemik”, “kemiskinan struktural”, dan semacamnya.
Sebagian (kecil?) orang Indonesia saat ini sudah mulai sadar bahwa masalah kemiskinan tidak sekadar karena takdir atau karena orang miskin bersangkutan kurang kerja keras. Penyebab kemiskinan mayoritas orang di Indonesia—atau bahkan di dunia—adalah sistem.
Mayoritas orang miskin dari lahir sampai mati, sering kali bukan karena kurang kerja keras, bahkan bukan karena takdir semata, melainkan karena sistem yang buruk, yang melemparkan miliaran orang terus berkejaran dengan aneka kekurangan dan hambatan dalam lingkaran setan.
Kenyataan itulah yang mendasari lahirnya istilah “kemiskinan sistemik” atau “kemiskinan struktural”, yaitu kemiskinan yang lahir karena sistem, kemiskinan yang tercipta karena hasil warisan. Ini benar, meski sebagian orang masih menyangkal, dan percaya dunia baik-baik saja.
Pertanyaannya, dan yang jadi masalah, sekarang... bagaimana sistem itu bisa tercipta, hingga kemudian menciptakan ketimpangan mengerikan—jurang dalam antara si kaya dan si miskin—hingga yang satu bergelimang kemewahan, sementara satu lagi terjebak dalam lingkaran setan?
Kapitalisme? Oh, well, tentu saja mudah menyalahkan kapitalisme, dan kenyataannya mereka memang salah. Kapitalisme bahkan tidak akan mengelak andai kita lempari mereka dengan segala sumpah serapah yang berasal dari neraka. Kapitalisme [ekstrem] sadar, mereka salah.
Karenanya, terlalu mudah kalau sekadar menyalahkan kapitalisme, dan itu jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Sekadar mengutuk kapitalisme juga membuktikan kita hanya mau cari gampang, sambil merasa jadi Che Guevara abad 21. Lebih dari itu, kapitalisme tidak berdiri sendiri.
Bagaimana kemiskinan sistemik dan struktural bisa ada di dunia? Terlalu menggampangkan kalau kita menganggap dan menuduh kapitalisme sebagai satu-satunya penyebab. Dalam perspektifku, kapitalisme bukan akar—ia “hanyalah” pohon besar yang ditumbuhkan oleh akar.
Dan apa akarnya? "Kebodohan" sistemik dan struktural! Kenapa kita tidak pernah berpikir ke situ—atau pura-pura tak tahu?
Kapitalisme bisa saja ada, tapi ia akan goyah, bahkan mudah ditumbangkan, andai tidak disokong akar kuat bernama "kebodohan" sistemik dan struktural.
Sampai di sini, kita harus masuk wilayah mengerikan terkait keyakinan, dan ocehan ini—kalau kulanjutkan—bisa sangat berbahaya, karena akan menyentuh impuls-impuls paling peka terkait keyakinan manusia. Tapi setidaknya kau mulai paham apa yang kumaksudkan—kalau kau cukup peka.
Karenanya, ketika The Conversation bertanya, “mengapa rata-rata orang Indonesia menganggap kunci sukses adalah ikhtiar atau kerja keras, dan bukan latar kelas sosialnya”, aku ingin menangis sambil tertawa. Tentu saja mereka akan menganggap begitu, karena didoktrin begitu!
Jangankan melihat kausalitas antara kerja keras dan kesuksesan—yang secara “gamblang” tampak berkaitan—bahkan untuk hal-hal yang jelas tak berkaitan pun mereka percaya! Mereka percaya bahwa menikah akan melancarkan rezeki, misalnya, meski realitas menunjukkan sebaliknya.
“Banyak anak banyak rezeki”, atau “tiap anak memiliki rezeki sendiri”, sebenarnya bukan ajaran agama—itu ajaran kapitalisme!
Bagi kapitalisme, semakin banyak anak-anakmu (dan “mu” di sini merujuk pada orang-orang tak berprivilese) artinya semakin banyak tenaga yang bisa diperas.
Jadi kapitalisme sangat ingin kita (orang-orang tak berprivilese) cepat menikah dan beranak pinak, kalau bisa sebanyak-banyaknya. Karena anak-anak kita akan menjadi sapi perah mereka, dan menjadikan mereka semakin kaya-raya, sementara kita terus hidup keblangsak.
Sekarang pikirkan hal sederhana ini; apa yang membuat para kapitalis (khususnya kapitalisme ekstrem) jadi kaya dan semakin kaya? Hanya dua hal. Pertama adalah pekerja yang murah, dan kedua adalah pasar yang melimpah! Dan keduanya adalah... oh, well, benar sekali, populasi!
Itulah kenapa aku menulis ocehan ini, bahwa yang mendukung—bahkan pendukung utama—kapitalisme adalah overpopulasi. Dan akar overpopulasi adalah... doktrin perkawinan!
(Agar benar-benar paham, baca utas ini dari awal sampai akhir):
Tapi kita—rata-tata manusia—selalu tahu cara menghibur diri sendiri, ngadem-ngademi diri sendiri, karena salah satu keahlian manusia yang luar biasa adalah membohongi diri sendiri. Manusia tidak percaya pada realitas; mereka hanya percaya pada yang ingin mereka percaya.
Jadi, kalau kita bertanya bagaimana cara menghentikan ketimpangan serta kemiskinan struktural dan sistemik, jawabannya adalah meruntuhkan kapitalisme. Dan bagaimana cara meruntuhkan kapitalisme? Jawabannya sangat gamblang... kalau kau cukup punya nalar untuk memikirkannya.
PS:
Ada banyak miliuner yang juga menjadi filantropis, terlepas apa pun motivasi filantropi mereka. Jika kita meriset aksi filantropi para miliuner itu, rata-rata fokus pada bidang pendidikan, kesehatan, dan hal-hal semacamnya. Sekilas tampak baik, tapi sebenarnya sangat aneh.
Para miliuner/filantropis itu bukan orang-orang tolol; mereka tahu apa yang mereka lakukan. Tapi mereka hanya sekadar “menutupi masalah”. Ada kemiskinan? Mereka tutup dengan bansos. Kebodohan? Mereka tutup dengan kampus. Penyakit? Mereka tutup dengan rumah sakit. Dan seterusnya.
Tidak ada dari mereka yang mau masuk ke akar masalah sebenarnya, yang saat ini terjadi di dunia—kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural. Mereka pura-pura tak tahu. Kenapa? Jawabannya sederhana; karena punya kepentingan—mereka butuh anak-anakmu untuk menggerakkan industri!
Dalam bahasa yang blak-blakan, mereka justru ingin kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural terus ada, karena itu menguntungkan mereka.
Tapi yang diuntungkan oleh kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural bukan hanya kapitalisme... tapi juga akarnya! You know what!
Jadi Jeff Bezos mengkhayal memindahkan sebagian orang ke luar angkasa, Elon Musk mengkhayal semua benda di muka bumi bersih dari polusi, sementara Bill Gates mengkhayal di dunia ini tidak ada penyakit. Tapi sebenarnya mereka tahu, inti masalahnya bukan itu!
Diakui atau tidak, Bezos butuh anak-anakmu, dan anak-anak dari anak-anakmu, karena anak-anak itulah yang menjadikan dia semakin kaya-raya. Begitu pula Musk, Gates, Jack Ma, sebut lainnya. Seiring dengan itu, kita terus didoktrin, “Menikah akan melancarkan rezeki.” Oh, well.
Ada cara mudah untuk memahami bagaimana “permainan” dunia ini dijalankan, hingga kita terjebak dan terperangkap di dalamnya.
Belilah mainan Monopoli, dan bermainlah dengan teman-temanmu. Lemparkan dadu ke tengah mainan, lalu ingat kalimat Einstein, “Tuhan tidak bermain dadu.”
End note:
Di dunia yang fana ini, di tengah luka serta penderitaan umat manusia... hanya ada dua pihak yang mendapat keuntungan dari kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural, hingga mereka berusaha melanggengkannya. Yang pertama adalah kapitalisme, yang kedua adalah akarnya.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Agustus 2020.