Selasa, 01 November 2022

Introver, Ekstrover, dan Ambiver

Mumpung ingat, aku mau melanjutkan ocehan ini. 


Kalau membicarakan introver dan ekstrover, selalu ada kemungkinan orang mengajukan istilah lain; ambiver (ambivert), yang disebut sebagai “pertengahan antara introver dan ekstrover”. Padahal, dalam perspektif psikologi, ambiver itu tidak ada. Yang ada cuma introver dan ekstrover

Asal usul “ambiver” bisa dirujuk pada Adam Grant, profesor psikologi di University of Pennsylvania. Ia menciptakan istilah “ambiver”—lebih tepat, istilah yang ia ciptakan adalah “keuntungan ambiver”—untuk menyebut para sales (penjual) yang menghasilkan penjualan tertinggi.

Jadi, Adam Grant melakukan riset untuk menemukan penyebab sebagian salesman bisa menghasilkan penjualan sangat banyak, sementara sebagian sales lain hanya menghasilkan penjualan rata-rata, atau bahkan sangat minim. Riset itu melibatkan 340 karyawan/salesman.

Berdasarkan riset, Adam Grant menemukan bahwa para salesman yang menghasilkan penjualan tertinggi adalah mereka yang memanfaatkan sifat-sifat introver, dan memadukannya dengan sifat-sifat ekstrover. Dari situlah ia lalu menciptakan istilah “ambiver” untuk fenomena tersebut.

Sifat introver, dalam konteks riset terhadap para sales, misalnya bisa menjadi pendengar yang baik, bisa berempati pada kebutuhan klien, dan semacamnya. Sementara sifat ekstrover yang dimaksud adalah antusias saat menjelaskan keunggulan barang yang dijual, ceria, dan semacamnya.

Jadi, istilah “ambiver” sebenarnya hanya untuk konteks di dunia bisnis, khususnya dalam riset Adam Grant. Dia tidak memaksudkan istilah itu—ambiver—digunakan secara general untuk semua orang, apalagi digunakan sebagai penyebutan kepribadian bersama introver dan ekstrover.

Belakangan, para pakar bisnis dan kepemimpinan juga memakai istilah “ambiver” saat menjelaskan bagaimana “orang harus memadukan dua kepribadian sekaligus—introver dan ekstrover—untuk meraih kesuksesan”. Dua pakar yang paling populer dalam hal ini; Karl Moore dan Daniel H. Pink.

Tapi konteks istilah itu—ambiver—tetap di dunia bisnis. Karl Moore dan Daniel H. Pink meminjam istilah “ambiver” hanya untuk menunjukkan maksud mereka, sebagaimana hasil riset Adam Grant. 

Sayangnya, kekeliruan massal terjadi; mengira ambiver adalah "bagian ketiga" kepribadian.

Kekeliruan massal itu terjadi, salah satunya, karena amplifikasi media di internet yang asal tulis tanpa verifikasi. Lalu orang-orang membaca dan percaya begitu saja, sekali lagi tanpa verifikasi. Di Twitter, misalnya, sering terjadi perdebatan soal ambiver yang salah kaprah ini.

Beberapa kali aku menemukan, di Twitter, ada orang memberi tahu, “Ambiver itu tidak ada.” Lalu seseorang menyahut, “Ambiver itu ada!” sambil menyematkan link artikel dari suatu situs yang menjelaskan “psikologi ambiver”. Padahal artikel di situs itu salah. 

Lha piye ngene iki?

Kesimpulannya, ambiver adalah istilah yang diciptakan di dunia bisnis, bukan di bidang psikologi. Jadi, menurut sebagian pakar bisnis dan kepemimpinan, kita perlu memadukan sifat-sifat introver dan ekstrover jika ingin meraih kesuksesan, dan itulah yang disebut ambiver.

So, introver dan ekstrover adalah kata sifat (karena ia kepribadian bawaan), sementara ambiver adalah kata kerja (karena ia butuh upaya pelakunya; memadukan introver dan ekstrover). 

Jadi, apakah ambiver itu ada? Dalam konteks psikologi (kepribadian), jawabannya tidak ada!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Oktober 2021.

 
;