Kamis, 10 November 2022

Asal Usul Perkawinan yang Tidak Dikatakan Kepadamu

... Dan sekarang aku gatal ingin ngoceh—memuntahkan sesuatu yang telah kutahan-tahan selama 11.567 tahun... fakta perkawinan yang tidak pernah dikatakan kepadamu.

Kawin tangkap, istilah yang kita kenal sekarang, mungkin terkesan primitif. Tapi sebenarnya itu "modernisasi" dari sesuatu yang jauh lebih primitif, ketika praktik itu bahkan tidak/belum punya nama atau istilah; sesuatu yang dilakukan oleh manusia purba, beribu-ribu tahun lalu.

Lima tahun yang lalu, pada Oktober 2015, aku menulis tweet ini. Sebenarnya, waktu itu, aku sudah ingin ngoceh, tapi sejujurnya juga khawatir kalau orang-orang belum mampu menerimanya. 


Beribu-ribu tahun yang lalu, di zaman purba, ketika Homo sapiens masih hidup dalam suku-suku terisolir, mereka belum kenal konsep perkawinan. Tapi mereka sudah mengenal nafsu seksual, khususnya pada lawan jenis, khususnya lagi lawan jenis dari suku lain (penjelasannya panjang).

Singkatnya, untuk dapat menyalurkan nafsu seks, Homo sapiens pria harus mendapatkan wanita dari suku lain. So, ketika seorang pria sudah puber, dia akan keluar dari sukunya, lalu mencari tempat suku-suku lain, dan mengintai... mencari wanita yang sekiranya "cocok" untuknya.

Setelah menemukan wanita yang cocok, dia akan menculik si wanita—dalam arti harfiah—dan membawanya ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Ketika itu terjadi, si wanita tentu memberontak. Tetapi, seiring waktu, dan karena jauh dari sukunya, akhirnya dia pun menerima si pria.

Di tempat terasing, dan yang ada hanya mereka berdua, dan keduanya sudah diamuk libido, terjadilah yang alam kehendaki. Si pria akhirnya berhubungan seks dengan si wanita, dan evolusi bertepuk tangan.

And then... itulah asal usul kawin tangkap, dan... yang kita sebut bulan madu.

Setelah berminggu-minggu si pria dan si wanita menghabiskan waktu bersama, keduanya pun merasa saling nyaman. Kali ini, seks tidak lagi dilakukan dengan paksaan oleh pria, tapi juga dikehendaki si wanita. Witing tresno jalaran soko kulino, kata orang Jawa.

Dan cinta bersemi.

Setelah si pria yakin bahwa si wanita "sudah menjadi miliknya", dia akan membawa si wanita pada sukunya. Dalam moment pertemuan itu, si pria "minta izin" pada orang tua si wanita untuk menjadikannya pasangan. Karena sudah "kadung diculik", biasanya orang tua wanita mengizinkan.

Tetapi, agar orang-orang lain tahu bahwa si wanita sudah "dimiliki" seseorang, si pria harus membuat "tanda". 

Lalu si pria akan menempa besi untuk dibuat kalung, gelang, atau rantai, yang dililitkan pada tubuh si wanita. And then... inilah asal usul "ijab kabul" dan "maskawin".

Setelah si wanita dirantai dengan gelang, kalung, dan semacamnya, dan setelah orang-orang sekitar tahu bahwa si wanita sudah dimiliki seseorang, si pria biasanya akan mengajak si wanita untuk hidup mandiri, di tempat lain, dan dari situlah lalu tumbuh suku lain.

Evolusi dimulai.

Seiring perjalanan waktu, dan nalar peradaban Homo sapiens semakin berkembang, urusan kawin-mawin mulai diatur. Kali ini, bukan menculik dulu lalu minta izin, tapi minta izin dulu, diberi "tanda" lebih dulu, dan baru setelah itu "diculik". Apakah ini terdengar familier bagi kita?

Urusan perkawinan yang dilakukan Homo sapiens di zaman kita mengadopsi dari sesuatu yang terjadi ribuan tahun lalu. Intinya sama. "Minta izin" jadi pertunangan atau ijab kabul, "besi tempa" jadi mahar/maskawin, dan "penculikan" jadi bulan madu. And then happily ever after—maybe.

Kayaknya ini nyambung dengan ocehan barusan:

Romantisasi Kemiskinan, Glorifikasi Perkawinan » https://bit.ly/3ehJc3n


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 November 2020.

 
;