Rahasiakanlah dirimu, Cintaku.
Kahlil Gibran seorang pria romantis, meski dia tak menikah sampai mati. Sepanjang hidupnya, ada tiga wanita yang sangat dicintai Gibran, yaitu Wardah al-Hani, Mary Hasskel, dan May Ziadah.
Dengan ketiga wanita itu, Gibran menjalin hubungan yang unik, sekaligus misterius. Di antara ketiganya pula, publik hanya mengenal Mary Hasskel—sedang keberadaan Wardah al-Hani dan May Ziadah tak pernah terungkap ke publik, hingga akhir hayat Gibran.
Nama Wardah al-Hani pertama kali dikenal publik ketika Gibran menuliskannya dalam sebuah prosa. Meski Gibran tidak pernah menyatakan bahwa Wardah al-Hani adalah tokoh nyata, tetapi penggambaran Gibran atas wanita itu dalam kisahnya membuat para pembacanya meyakini kalau wanita itu benar-benar ada.
Lebih dari itu, para pemuja Gibran bahkan meyakini bahwa Wardah al-Hani inilah cinta pertama Gibran—cinta dengan akhir sad ending yang kelak menjadikan Gibran seperti tak bisa jatuh cinta lagi. Sampai akhir hayatnya, Gibran tak pernah mengkonfirmasi keberadaan atau siapa sesungguhnya Wardah al-Hani, tetapi publik pecintanya tetap yakin bahwa dia wanita yang menjadi cinta pertama Gibran.
Yang kedua, May Ziadah, adalah wanita yang mampu membuat Gibran jatuh cinta, tetapi publik juga tak pernah tahu siapa sesungguhnya wanita ini. Jangankan orang lain, bahkan Gibran sendiri tidak tahu seperti apa wanita itu.
Awal hubungan Gibran dengan May Ziadah adalah ketika May mengirim surat kepada Gibran, karena terpesona dengan karya-karya Gibran. Karena isi surat May yang istimewa, Gibran pun membalasnya—dan setelah itu keduanya rajin berkirim surat, sampai beberapa tahun. Di dalam surat-surat itulah, keduanya saling menyatakan cinta, dan Gibran bahkan menyebut surat-surat May sebagai “nyala api biru di hatiku”.
Ketika Gibran wafat, keluarganya menemukan tumpukan surat-surat itu, lalu berusaha melacak ke alamat May Ziadah. Surat-surat Gibran di tempat May Ziadah juga masih terkumpul rapi—dan kemudian surat-surat keduanya dikodifikasi dan diterbitkan. Dalam edisi bahasa Inggris, kumpulan surat-surat cinta keduanya diterbitkan dalam buku berjudul “Beloved Prophet”.
Tetapi sampai surat-surat itu dibukukan pun, sosok May Ziadah tak pernah dilihat atau diketahui publik—sehingga keberadaannya sama misteriusnya dengan sosok Wardah al-Hani yang diyakini sebagai cinta pertama Gibran.
Wanita ketiga, Mary Hasskel, adalah satu-satunya cinta Gibran yang dikenal dan diketahui sosoknya oleh publik. Hasskel adalah wanita Amerika yang bisa dibilang ikut mempengaruhi kehidupan Gibran dan karya-karyanya. Hasskel pula yang berjasa besar dalam memperkenalkan Kahlil Gibran ke publik dunia melalui lukisan-lukisannya.
Ketika pertama kali mereka bertemu, Gibran masih seorang pemuda miskin. Pekerjaannya sebagai pelukis dan penulis waktu itu belum memberikan uang yang cukup untuknya, sehingga hidupnya pun pas-pasan. Hasskel meyakini bakat Gibran—khususnya dalam seni lukis—dan Hasskel pun membiayai acara-acara pameran lukisan untuk Gibran.
Melalui pameran-pameran yang diselenggarakan Hasskel, Gibran dapat menjual lukisan-lukisan karyanya dan berhasil mengumpulkan cukup banyak uang. Setelah itulah Gibran kemudian bisa menulis dengan tenang karena hidupnya sudah cukup nyaman—dan dari situ pula ia kemudian melahirkan karya-karya besar semacam “The Prophet” yang mengguncangkan dunia.
Bagi Gibran sendiri, Mary Hasskel adalah wanita tempatnya mendapatkan kasih sayang. Secara usia, Hasskel lebih tua dibanding Gibran, dan sepertinya Gibran menjadikan keberadaan Hasskel lebih dari seorang kekasih yang dicintai, tetapi juga sebagai kakak atau ibu yang ia hormati. Hasskel mengetahui kenyataan itu, dan ia pun menjalankan perannya dengan baik—meski dalam hati ia menyimpan perasaan cinta kepada Gibran.
Suatu malam, Mary Hasskel berbincang secara intim dengan Kahlil Gibran, dan mereka membicarakan tentang cinta dan pernikahan.
“Kahlil,” ujar Mary Hasskel, “selama bersamamu, aku belum pernah melihat seorang wanita pun yang dekat denganmu.”
“Oh, Mary,” sahut Gibran, “kaulah yang paling dekat denganku.”
“Maksudku, tidakkah kau ingin menikah dengan seseorang—menjalani hidup berkeluarga sebagaimana laki-laki umumnya?”
Gibran tersenyum. Setelah mengisap rokoknya, dia berkata, “Aku ini seorang seniman, Mary. Hidupku hanya untuk menulis dan melukis. Kau tahu, kerjaku tidak bisa dibatasi waktu atau memiliki jadwal tetap seperti orang-orang lain. Jika memiliki istri dan keluarga, aku khawatir akan sering menelantarkan mereka karena aku akan lebih mencurahkan pikiran dan hatiku untuk pekerjaanku daripada untuknya.”
“Kahlil, kau terlalu jahat pada dirimu sendiri. Kau tentunya tak seburuk itu.”
“Kau baik sekali, Mary. Tetapi aku lebih suka menahan naluri manusiaku daripada harus menyakiti perasaan istriku, atau anak-anakku. Setelah menikah dan berkeluarga, aku tentunya harus membagi diriku—hati, jiwa, pikiran—untuk istri dan anak-anakku. Rasanya aku tidak mampu melakukannya, karena bahkan aku merasa masih kekurangan waktu untuk mengurusi diriku sendiri.”
“Kau tahu, Kahlil, perspektif orang biasanya akan berubah setelah melakukannya. Maksudku, kau berpikir seperti itu karena kau masih melajang. Tetapi, setelah menikah dan berkeluarga, kau pun akan tahu bahwa ternyata kau bisa membagi perhatianmu untuk mereka.”
Gibran terdiam. Mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya perlahan-lahan. Setelah itu dia berbisik, “Aku boleh menceritakan sesuatu?”
“Aku mendengarkan.”
“Dulu, aku memiliki kawan-kawan dan sahabat yang hebat. Mereka orang-orang istimewa dengan pikiran dan hati yang sama istimewanya. Mereka memiliki impian, visi, serta cakrawala tak terbatas. Kau tahu siapa mereka—nama mereka terlalu terkenal untuk diabaikan. Lalu suatu hari mereka berpikir untuk menikah dan berkeluarga—dengan pola pikir seperti yang tadi kaukatakan kepadaku. Dengan sepenuh keyakinan, mereka pun menikah dan yakin akan dapat membagi dirinya untuk keluarganya, juga untuk visi yang dicintainya…”
Gibran menyedot asap rokoknya kembali, lalu melanjutkan, “Tapi kemudian hidup dan visi mereka selesai ketika pernikahan itu terjadi. Orang-orang yang dulu kukenal hebat dan istimewa itu berubah menjadi orang-orang biasa yang kini sibuk dengan dunia kecilnya—istri dan anak-anaknya dan kebutuhan hidup mereka—hingga lupa sama sekali pada visi serta impian besar mereka sebelumnya. Mereka bukan lagi orang hebat yang dulu kukenali—mereka kini adalah seorang suami dan ayah yang kehabisan waktu untuk mencari nafkah dan mengurusi keluarganya. Dunia tidak berubah, Mary, tetapi merekalah yang berubah.”
“Kahlil, tidak semuanya seperti itu, kan?”
“Mungkin tidak—tapi sayangnya semua yang kukenal mengalami hal sama seperti itu. Tentu saja aku tidak menyalahkan mereka—karena hidup masing-masing orang adalah pilihan yang diambilnya. Hanya saja, aku khawatir akan mengalami hal sama. Jika aku menikah, aku khawatir akan terlalu mencintai keluargaku hingga meninggalkan visi dan impianku. Dan jika aku masih mencintai visi serta impianku, aku khawatir akan menelantarkan keluargaku.”
Melihat wajah Gibran yang keruh, Mary menyentuh tangan Gibran lalu menggenggamnya. Dan dengan berbisik, Gibran menyatakan, “Itulah kenapa aku tetap mempertahankan kesendirianku. Aku mencintai kesunyian ini, dan aku ingin tetap jatuh cinta kepada keheningan…”
….
….
Sampai akhir hayatnya, Kahlil Gibran tetap melajang. Dia tidak memiliki istri dan anak-anak, tetapi dia meninggalkan anak-anak ruhani yang luar biasa, serta berjuta-juta orang yang mencintai dan mengaguminya. Karya-karyanya menjadi anak-anak yang abadi, dan jutaan orang yang mencintai karyanya menjadi mempelai di jiwanya.
Hari ini, saya telah membaca “The Prophet” dan “The Madman” yang ditulis Gibran, lebih dari empat puluh kali—dan saya tak pernah berhenti terpesona oleh isinya. Hari ini pun saya membayangkan, kalau saja Gibran menikah dan berkeluarga, mungkin dia tak akan punya waktu melahirkan karya-karya besar itu, karena sudah terlalu sibuk mencintai istri dan anak-anaknya.
Hidup adalah soal pilihan. Menikah atau melajang adalah hak setiap orang. Tetapi, saya meyakini, dunia patut berterima kasih atas pilihan yang diambil Kahlil Gibran.