Jumat, 15 Juli 2011

Harga Capcay Naik Tiap Tahun (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Setiap tahun—saya ulangi, setiap tahun—harga capcay selalu saja naik. Kadang naiknya cuma seribu perak. Kadang dua ribu. Kadang tiga ribu. Sintingnya, kadang pula sampai empat ribu. Yang menjadi masalah, jika satu penjual capcay menaikkan harganya, maka penjual lain akan ikut menaikkan harga capcay mereka.

Nah, setelah melakukan penelitian yang amat rumit sekaligus nyaris membuat saya gila, akhirnya tertemukanlah fakta bahwa penyebab naiknya harga capcay adalah… lebaran!

Jadi, setiap kali lebaran datang, harga capcay akan naik. Pertama kali mendapati kenyataan ini, saya belum paham. Beberapa tahun yang lalu, seusai lebaran, saya membeli capcay di tempat Mister X. Sewaktu pelayan di sana menyodorkan bungkusan capcay dan saya membayarnya, si pelayan berfatwa, “Harganya naik, nih, Mas. Maklumlah, lebaran.”

Saya pun memaklumi. Tidak ada apa pun yang tidak dapat dimaklumi pada suasana lebaran. Termasuk kenaikan harga capcay. Jadi saya memaklumi kenaikan harga itu, dan berpikir bahwa harganya akan turun kembali setelah suasana lebaran berlalu. Waktu itu, kenaikan harganya cuma seribu perak.

Berbulan-bulan kemudian, setelah suasana lebaran benar-benar sudah tidak lagi terasakan, harga itu tidak juga turun. Kenaikan harga yang disebut “harga lebaran” itu tetap saja berlaku di waktu yang jelas-jelas tidak memiliki sangkut paut dengan lebaran.

Waktu itu saya tetap berusaha memaklumi. Toh hanya seribu perak ini, pikir saya. Ya, ya, meski kalau dihitung-hitung, seribu perak kali seratus juga seratus ribu!

Nah, lebaran tahun berikutnya, hal yang sama terjadi. Lagi-lagi si pelayan berfatwa, “Harganya naik, nih, Mas. Maklumlah, lebaran.”

Saya tetap belum paham. Dan dengan segala pemakluman seorang Muslim di waktu lebaran, saya pun memaklumi kenaikan harga itu. Kali ini, harganya naik dua ribu perak. Apalah arti dua ribu perak di hari lebaran, pikir saya dengan arif dan bijaksana.

Tetapi segala kearifan dan kebijaksanaan itu langsung lenyap dari diri saya, ketika mendapati fakta bahwa harga yang naik dua ribu perak itu tetap saja berlaku setelah lebaran lama berlalu. Waktu membayar capcay yang harganya sudah naik itu, saya memang diam saja—tidak komplain—tapi dalam hati ngedumel tidak ikhlas. Saya merasa telah dibodohi.

Gebleknya, kejadian semacam itu tetap saja terjadi pada lebaran selanjutnya. Setelah dua kali naik pada dua kali lebaran, harga capcay naik lagi di lebaran berikutnya. Dan kali ini kenaikan harganya tidak tanggung-tanggung. Empat ribu!

Ketika hal itu terjadi, cukup banyak pelanggan yang protes, termasuk saya. Akhirnya kenaikan harganya diturunkan, jadi tiga ribu perak. Tetapi kenaikan tiga ribu perak itu tetap saja seperti kenaikan-kenaikan harga sebelumnya—tetap saja dipertahankan—meski tidak lagi dalam suasana lebaran. Dan, kemudian, pada waktu lebaran selanjutnya lagi, harga capcay naik lagi.

Lanjut ke sini.

 
;