Jumat, 08 Juli 2011

Sekolah Bukan Komplek Prostitusi

Apa ruginya negeri ini jika semua sekolah dan universitas,
sebagaimana yang kita kenal selama ini, dibubarkan saja...
Andrias Harefa


Ini kisah usang yang telanjur terkenal, membuat gempar, tapi kemudian dilupakan. Ini kisah paling memalukan dalam sejarah pendidikan nasional—setidaknya kisah yang sempat diketahui publik, karena masih adanya orang-orang yang punya nurani.

Saya sendiri mengetahui kisah ini pertama kali di blognya Vicky Laurentina, yang menulis post khusus mengenai kisah itu untuk mendukung Gerakan Indonesia Jujur—beberapa waktu yang lalu. Karena kisah dalam post itu benar-benar membuat dongkol, saya sampai meninggalkan komentar “ngablak” di sana—komentar paling ngablak yang pernah saya tulis di blog orang.

Oh ya, kalian pasti tahu kisah ini—kasus Bu Siami yang didemo dan diusir para tetangga dan warga kampungnya, karena melaporkan guru anaknya ke Dinas Pendidikan Nasional, lantaran guru tersebut menyuruh anak Bu Siami untuk membantu memberikan contekan pada teman-teman sekelasnya agar murid-murid di sekolah itu lulus ujian. Inti busuknya adalah; seorang guru mendidik muridnya untuk menjadi penjahat, dengan tujuan agar semua murid di sekolahnya lulus ujian.

Dari postingnya Dokter Vicky, saya kemudian menelusuri kisah tersebut ke web dan blog-blog lain untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai kasusnya. Dan semakin lama kepala saya makin pening. Dari blog ke blog, inti semua kisah itu sama—bahwa sebuah kejahatan paling memalukan sedang terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia, bahwa ada guru yang mengajarkan murid-muridnya untuk melakukan kejahatan demi tujuan yang diinginkan.

Jadi, seperti yang kita tahu, berita itu pun heboh beberapa waktu yang lalu. Tetapi, salah satu kebiasaan buruk negeri ini yang tidak juga berubah adalah mudah heboh, tapi juga mudah lupa. Baru kemarin-kemarin kasus itu heboh, dan kita meributkannya di mana-mana. Tetapi, baru beberapa waktu berselang, kita sudah lupa. Mungkin bahkan kita sudah tak ingat Bu Siami itu siapa.

Tiga puluh delapan tahun yang lalu, Ivan Illich, seorang pemikir radikal, menulis sebuah buku yang menganjurkan masyarakat dunia untuk mulai melakukan ‘re-sekolah-isasi masyarakat’ (deschooling society). Sekarang, dalam konteks berbeda, kita menyaksikan kembali aktualitas pemikiran Illich, bahwa sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar. Atau, dalam kasus Bu Siami, sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar yang baik.

Sekolah telah berubah fungsinya, dari tahun ke tahun, dan lembaga pendidikan yang diharapkan menjadi sarana pembelajaran itu telah berubah fungsi menjadi sarana pemerataan. Jutaan murid yang masuk ke sekolah-sekolah mana pun akan dipaksa untuk mengikuti sistem yang diberlakukan—tanpa mau menyadari bahwa masing-masing manusia adalah makhluk yang berbeda, baik dalam kemampuan maupun latar belakang.

Pendidikan, yang merupakan terjemahan Education dalam bahasa Inggris, memiliki akar pada kata Yunani, Educo, yang berarti Mengeluarkan. Artinya, fungsi paling mendasar dari sebuah pendidikan—apa pun bentuknya, termasuk sekolah—adalah ‘mengeluarkan’, yakni mengeluarkan potensi yang ada pada masing-masing anak didik.

Tetapi di situlah letak masalah sekolah-sekolah kita selama bertahun-tahun. Sekolah dan sistem yang disebut pendidikan itu bukannya ‘mengeluarkan’ potensi yang dimiliki masing-masing anak didiknya, tetapi malah sibuk ‘memasukkan’ apa saja yang dapat mereka jejalkan ke dalam pikiran anak didik—dari kurikulum, buku bacaan, sistem yang disamaratakan, sampai bentuk ujian yang dinasionalkan.

Murid-murid sekolah di zaman sekarang menghadapi sekian banyak tuntutan tak masuk akal untuk alasan ‘pendidikan’—hingga sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi, kesibukan mereka hanya berkutat pada urusan dan tugas sekolah. Begitu banyaknya tekanan sekolah di masa sekarang, hingga seorang anak Sekolah Dasar tidak kalah sibuk dibanding seorang Presiden.

Dalam wawancara dengan SCTV pada 7 Februari 1999, Romo Mangun Wijaya menyatakan, “Selama tiga puluh dua tahun, anak-anak dipenjara oleh sistem pendidikan yang diselenggarakan melalui sekolah formal.”

Romo Mangun menyatakan hal itu sepuluh tahun yang lalu. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir, sistem pendidikan nasional bukannya makin baik tetapi makin buruk. Terakhir, hal paling memilukan dari tragedi sekolah formal Indonesia adalah sistem ujian nasional, yang seolah-olah dianggap dewa—satu-satunya penentu kelulusan, dan dianggap pintu suci kesuksesan.

Ujian nasional adalah tragedi pendidikan Indonesia, karena ujian ini kemudian menjadi akar segala macam masalah, bahkan kejahatan, sebagaimana yang kemudian muncul dalam kasus Bu Siami. Saya percaya bahwa apa yang menimpa Bu Siami hanyalah kasuistis. Artinya, masih banyak kasus lain yang serupa namun tak terungkap ke publik, apa pun alasannya.

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya tergoda untuk membandingkan sekolah formal kita dengan komplek prostitusi. Tanpa bermaksud kurang ajar, sistem pendidikan yang tidak benar—hanya semata bertujuan nilai atau kelulusan—tidak ada bedanya dengan proses bisnis di komplek prostitusi.

Ketika seseorang berniat menyalurkan hasratnya di komplek prostitusi, apa yang ada di dalam pikirannya? Benar, semata ejakulasi. Seseorang masuk ke komplek prostitusi, memilih yang diinginkan, kemudian melepaskan hasrat dan tujuan untuk ejakulasi. Tidak ada proses di sini, selain mungkin sedikit negosiasi dan haha-hihi. Begitu ejakulasi selesai, orang pun kabur dari sana dengan perasaan lega.

Sekarang, dalam konteks sekolah dan pendidikan formal, proses dangkal semacam itu juga terjadi. Seseorang masuk sebagai murid di sekolah, dan kemudian diindoktrinasi bahwa satu-satunya tujuan mereka belajar adalah agar punya nilai tinggi dan lulus ujian nasional. Dan, demi tujuan itu, seorang murid bebas melakukan segala cara dan upaya, bahkan kemudian seorang guru pun merasa tak tabu untuk mengajarkan kejahatan demi tujuan yang sama.

Tidak ada proses pembelajaran di sana. Tak ada lagi ajakan pada murid untuk mencintai proses pembelajaran, untuk memahami bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk belajar, untuk menghayati bahwa hal paling mendasar dalam hidup adalah memahami bahwa manusia ditentukan oleh perjalanan belajarnya. Sama seperti tujuan si hidung belang masuk ke komplek prostitusi, murid-murid sekolah di zaman sekarang diajarkan cara masturbasi.

Sekolah dan sistem pendidikan formal telah tercerabut dari akarnya. Sekarang, yang paling penting bahkan paling mulia dalam sistem pendidikan kita bukan lagi proses pembelajaran, melainkan nilai, nilai, nilai, nilai, dan kemudian lulus ujian nasional—bagaimana pun caranya.

Ketika tingginya nilai dan kuantitas kelulusan ujian menjadi standar bahkan tujuan, maka semua yang terlibat di dalamnya telah melepaskan apa yang paling hakiki dari pendidikan. Sama sebagaimana tujuan ejakulasi di komplek prostitusi yang tidak melibatkan proses kasih sayang, tujuan lulus ujian di sekolah yang tidak jujur juga tidak melibatkan proses pembelajaran.

Winarno Surakhmad, seorang pemikir pendidikan Indonesia, menulis di harian Kompas edisi 3 Februari 2000, “Apakah sumbangan pendidikan sejauh ini? Nihil...! Sekarang ini hampir tidak ada sisa pengaruh yang menunjukkan bahwa bangsa ini telah (pernah) besar atau dibesarkan oleh pendidikan di masa lalu.”

Sekolah, di zaman ini, telah menjadi tempat untuk memasukkan anak-anak manusia dalam mengenali pendidikannya. Karenanya, jika sekolah yang sekarang fungsinya begitu vital bagi pembangunan manusia itu telah kehilangan akar kesadarannya yang luhur, maka sekolah sebenarnya sedang melakukan proses penciptaan robot-robot bernyawa, sosok-sosok manusia yang mulai kehilangan kemanusiaannya.

Jika memang tidak mungkin membubarkan sekolah sebagaimana yang diserukan Andrias Harefa dan para pemikir lainnya, maka sekolah harus dikembalikan pada fungsi dasarnya, yakni untuk mencerdaskan anak didiknya, untuk mengajarkan pada mereka tentang pentingnya proses pembelajaran, proses pembelajaran, proses pembelajaran…

Tanpa kesadaran bahwa proses pembelajaran adalah fungsi penting pendidikan, maka ujian nasional akan terus menciptakan tragedi. Dan tanpa integritas, kejujuran, serta nilai-nilai moral, maka sekolah tak ada bedanya dengan komplek prostitusi.

 
;