Ada ruang kosong dalam segmen pembaca kita. Pembaca remaja diserbu buku-buku remaja, begitu pun pembaca dewasa dan orang tua. Mereka memiliki bacaannya sendiri-sendiri. Tetapi, ada satu segmen yang tak tersentuh—yakni peralihan ketika ‘si remaja’ berubah menjadi ‘si dewasa’. Yang saya maksud bukan hanya usia biologisnya, tetapi juga intelektualnya. Segmen ini sudah tak bisa lagi mengkonsumsi buku remaja, tetapi juga ‘tersedak’ jika membaca buku-buku berat. Hoeda Manis mengisi kekosongan ini—entah dia sadar ataupun tidak. Buku-bukunya menjadi pilihan bagi anak-anak muda yang menginginkan bacaan cerdas, tetapi ditulis oleh sesama anak muda…
Jose Purnomo, Pendidik Informal
dalam wawancara dengan majalah Forum Intelektual,
No. XII, edisi Juni-Juli 2009
dalam wawancara dengan majalah Forum Intelektual,
No. XII, edisi Juni-Juli 2009
Era Agraria telah menjadi sejarah, Era Industri telah berlalu, dan sekarang manusia memasuki Era Informasi. Di sini, saat sekarang, kita bisa duduk di atas kursi putar di depan layar monitor di rumah, dan detik itu pula kita bisa mengetahui apa pun yang ingin kita ketahui. Kita bisa mendapatkan informasi tentang apa saja yang kita inginkan. Kita bisa menelusuri rute-rute asing di berbagai kota, berbagai negara, bahkan kita bisa memasuki kota bawah tanah, semacam Kranoyarsk di Siberia yang terasing.
Tanpa beranjak kemana-mana, kita dapat terhubung dengan siapa pun yang kita kenal, atau bahkan yang tidak kita kenal. Sambil menyeruput kopi atau minuman lain yang kita sukai, kita bisa memperoleh informasi apa pun yang ingin kita peroleh. Jika seratus tahun yang lalu manusia kesulitan mendapatkan berita dan informasi, saat ini manusia kesulitan menghindarkan diri dari berita dan informasi.
Dan itulah dilema kita—sekarang ini.
Hujan atau bahkan banjir informasi ini telah nyaris menenggelamkan kita semua dalam hiruk-pikuk dunia yang tak pernah selesai—teriakan di sana-sini yang sama-sama menjerit minta didengarkan. Atau kita bahkan mungkin telah tenggelam di dalamnya. Mengunyah berita demi berita tanpa henti, menelan informasi demi informasi tanpa pernah selesai. Dan, terkadang lupa, bahwa pada suatu titik tertentu, hidup seseorang akan berhenti.
Manusia diasingkan oleh dirinya sendiri ketika ia semakin menjauh dari dirinya—karena terlalu berambisi mengetahui segala sesuatu di luar dirinya. Banjir berita dan informasi ini telah menarik manusia untuk berlari, berpacu... untuk menjauh dari akar kemanusiaannya.
Sudah saatnya untuk menjadi manusia kembali—yang tersenyum kepada keheningan, dan bermesraan dengan kesadaran.
Sebelum dilahirkan, janin diri kita terpeluk dalam hening kandungan—dan di saat kematian, jasad kita pun kelak akan terpeluk dalam bumi yang hening. Ketika hiduplah manusia sering kali asing dengan habitatnya sendiri—habitat yang hening—dan sudah saatnya bagi kita semua untuk kembali, meski sesaat, meresapi detik-detik keindahan saat merasakan menjadi manusia kembali, ketika hati kita melangkah memasuki ziarah hening….
Tanpa beranjak kemana-mana, kita dapat terhubung dengan siapa pun yang kita kenal, atau bahkan yang tidak kita kenal. Sambil menyeruput kopi atau minuman lain yang kita sukai, kita bisa memperoleh informasi apa pun yang ingin kita peroleh. Jika seratus tahun yang lalu manusia kesulitan mendapatkan berita dan informasi, saat ini manusia kesulitan menghindarkan diri dari berita dan informasi.
Dan itulah dilema kita—sekarang ini.
Hujan atau bahkan banjir informasi ini telah nyaris menenggelamkan kita semua dalam hiruk-pikuk dunia yang tak pernah selesai—teriakan di sana-sini yang sama-sama menjerit minta didengarkan. Atau kita bahkan mungkin telah tenggelam di dalamnya. Mengunyah berita demi berita tanpa henti, menelan informasi demi informasi tanpa pernah selesai. Dan, terkadang lupa, bahwa pada suatu titik tertentu, hidup seseorang akan berhenti.
Manusia diasingkan oleh dirinya sendiri ketika ia semakin menjauh dari dirinya—karena terlalu berambisi mengetahui segala sesuatu di luar dirinya. Banjir berita dan informasi ini telah menarik manusia untuk berlari, berpacu... untuk menjauh dari akar kemanusiaannya.
Sudah saatnya untuk menjadi manusia kembali—yang tersenyum kepada keheningan, dan bermesraan dengan kesadaran.
Sebelum dilahirkan, janin diri kita terpeluk dalam hening kandungan—dan di saat kematian, jasad kita pun kelak akan terpeluk dalam bumi yang hening. Ketika hiduplah manusia sering kali asing dengan habitatnya sendiri—habitat yang hening—dan sudah saatnya bagi kita semua untuk kembali, meski sesaat, meresapi detik-detik keindahan saat merasakan menjadi manusia kembali, ketika hati kita melangkah memasuki ziarah hening….