Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.
Kisah “mengharukan” yang terjadi pada Fettima menyangkut buku, tidak hanya sebatas itu. Ada kisah lain yang tak kalah mengharukan.
Seperti yang sudah saya ceritakan di post sebelumnya, Fettima sangat mencintai buku-bukunya, dan ia pun selalu merawat, menjaga, dan memelihara buku-bukunya dengan baik. Tiga bulan sekali, secara rutin, Fettima akan mengeluarkan buku-bukunya dari ruang perpustakaan untuk diangin-anginkan. Kegiatan itu sebagai bagian perawatan terhadap buku-buku yang disayanginya, agar buku-buku itu tidak lembab sehingga mudah rusak.
Nah, Minggu pagi itu, Fettima pun menjalankan kebiasaan rutinnya. Ia keluarkan koleksi bukunya yang luar biasa banyak dari ruang pepustakaan, kemudian dibawanya ke ruang tengah yang mendapat pantulan sinar matahari. Sambil menunggu buku-bukunya “berjemur”, Fettima membersihkan ruang perpustakaan yang telah kosong. Biasanya acara rutin itu berjalan dengan baik. Tetapi hari itu suatu “malapetaka” yang tak terbayangkan terjadi.
Hari itu seorang familinya menikah, dan seluruh keluarga Fettima sudah berada di rumah si famili sejak kemarin. Fettima hampir lupa pada acara pernikahan familinya kalau saja adiknya tidak menelepon. Menjelang dhuhur, Fettima ditelepon dan diminta agar segera datang ke tempat resepsi. Maka Fettima pun segera berkemas. Ia harus segera datang ke acara resepsi itu. Bukan hanya untuk menghadiri resepsinya, tetapi juga untuk mambantu-bantu sebagai famili.
Tanpa menghiraukan buku-bukunya yang masih tertumpuk di ruang tengah, Fettima meninggalkan rumahnya untuk pergi ke acara resepsi familinya. Dia tidak merasakan firasat buruk apa pun, karena selama ini tak pernah ada kejadian buruk yang menimpa buku-buku yang dicintainya. Tetapi rupanya ia salah sangka….
Sore hari, saat Fettima masih sibuk di acara resepsi perkawinan familinya, hujan turun dengan lebat. Fettima tidak terlalu merisaukan, karena waktu itu memang sedang musim penghujan. Tetapi, malam harinya, ketika ia beserta keluarganya telah pulang kembali ke rumah, barulah Fettima tahu bahwa hujan yang tadi turun telah merenggut cinta terbesarnya dalam hidup.
Saat melangkah ke ruang tengah dan melihat buku-bukunya, Fettima menjerit histeris dan menangis melolong-lolong. Apa yang terjadi? Buku-bukunya yang masih tertumpuk di ruang tengah itu kini dalam keadaan basah-kuyup mengenaskan. Air ada di mana-mana, membasahi lantai, membasahi buku-bukunya, dan Fettima pun terduduk di depan buku-bukunya sambil menangis pilu.
Selama ini, hujan memang tak pernah menjadi masalah bagi Fettima ataupun buku-bukunya, karena genteng rumahnya tidak ada yang bocor. Tetapi, entah kenapa, hari itu rupanya ada genteng yang terlepas, dan entah kenapa pula kebocoran itu tepat berada di bagian ruang tengah, tepat ketika Fettima sedang meletakkan buku-bukunya di sana. Air hujan yang deras pun kemudian mengalir masuk karena kebocoran itu, dan alirannya membasahi buku-bukunya tanpa ampun. Seluruh keluarga Fettima sudah mencoba menyabar-nyabarkannya atas tragedi itu, tetapi Fettima terlanjur berduka.
“Maafkan aku… Maafkan aku…” ucap Fettima berulang-ulang kepada buku-bukunya yang kini basah dan rusak, seperti seorang ibu yang menyesal karena telah membuat anak yang disayanginya terluka.
Keesokan harinya, genteng yang bocor sudah dibereskan, tetapi Fettima tak bisa mengobati luka hatinya. Kebocoran itu telah merusakkan buku-bukunya. Memang tidak semua buku yang terkena air itu rusak, dan Fettima pun berupaya mengeringkan buku-buku yang masih bisa diselamatkan. Tetapi kondisi buku-buku itu tak bisa lagi semulus sebelumnya—dan Fettima tetap saja merasa terluka.
Berbulan-bulan semenjak kejadian itu, Fettima mengaku dia sempat “ngambek” kepada Tuhan—ia tak habis pikir kenapa Tuhan harus menurunkan hujan pada waktu itu, tepat ketika genteng rumahnya bocor, dan buku-bukunya sedang ada di bawah tempat kebocoran itu. Kenapa tidak di waktu lain saja, pikir Fettima.
Sekarang, Fettima memang sudah belajar untuk berbesar hati menerima tragedi itu, ia telah berusaha untuk mengikhlaskan buku-bukunya yang telah hilang karena air hujan, tetapi ia tak pernah berhenti bertanya pada Tuhan kenapa tragedi itu harus terjadi. Entah bercanda atau tidak, dia menceritakan bahwa setiap kali berdoa, ia tak pernah lupa untuk bertanya, “Tuhan, aku menyadari dan percaya, selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Tetapi aku tetap belum paham hikmah apa yang ingin Kau berikan kepadaku atas musibah yang menimpa buku-bukuku.”
Hari ini, Fettima masih terus berupaya untuk dapat menggantikan buku-bukunya yang telah hilang. Dan saya pun ikut berdoa semoga ia segera menemukan hikmah tersembunyi yang dicari-carinya. Mungkin saja hikmah itu ada dalam rahasia tersamar di balik genteng yang bocor, atau mungkin di sebuah halaman buku yang masih dimilikinya, atau bisa saja ada di sebuah lembar buku baru yang akan dibacanya.
Lanjut ke sini.
***
Kisah “mengharukan” yang terjadi pada Fettima menyangkut buku, tidak hanya sebatas itu. Ada kisah lain yang tak kalah mengharukan.
Seperti yang sudah saya ceritakan di post sebelumnya, Fettima sangat mencintai buku-bukunya, dan ia pun selalu merawat, menjaga, dan memelihara buku-bukunya dengan baik. Tiga bulan sekali, secara rutin, Fettima akan mengeluarkan buku-bukunya dari ruang perpustakaan untuk diangin-anginkan. Kegiatan itu sebagai bagian perawatan terhadap buku-buku yang disayanginya, agar buku-buku itu tidak lembab sehingga mudah rusak.
Nah, Minggu pagi itu, Fettima pun menjalankan kebiasaan rutinnya. Ia keluarkan koleksi bukunya yang luar biasa banyak dari ruang pepustakaan, kemudian dibawanya ke ruang tengah yang mendapat pantulan sinar matahari. Sambil menunggu buku-bukunya “berjemur”, Fettima membersihkan ruang perpustakaan yang telah kosong. Biasanya acara rutin itu berjalan dengan baik. Tetapi hari itu suatu “malapetaka” yang tak terbayangkan terjadi.
Hari itu seorang familinya menikah, dan seluruh keluarga Fettima sudah berada di rumah si famili sejak kemarin. Fettima hampir lupa pada acara pernikahan familinya kalau saja adiknya tidak menelepon. Menjelang dhuhur, Fettima ditelepon dan diminta agar segera datang ke tempat resepsi. Maka Fettima pun segera berkemas. Ia harus segera datang ke acara resepsi itu. Bukan hanya untuk menghadiri resepsinya, tetapi juga untuk mambantu-bantu sebagai famili.
Tanpa menghiraukan buku-bukunya yang masih tertumpuk di ruang tengah, Fettima meninggalkan rumahnya untuk pergi ke acara resepsi familinya. Dia tidak merasakan firasat buruk apa pun, karena selama ini tak pernah ada kejadian buruk yang menimpa buku-buku yang dicintainya. Tetapi rupanya ia salah sangka….
Sore hari, saat Fettima masih sibuk di acara resepsi perkawinan familinya, hujan turun dengan lebat. Fettima tidak terlalu merisaukan, karena waktu itu memang sedang musim penghujan. Tetapi, malam harinya, ketika ia beserta keluarganya telah pulang kembali ke rumah, barulah Fettima tahu bahwa hujan yang tadi turun telah merenggut cinta terbesarnya dalam hidup.
Saat melangkah ke ruang tengah dan melihat buku-bukunya, Fettima menjerit histeris dan menangis melolong-lolong. Apa yang terjadi? Buku-bukunya yang masih tertumpuk di ruang tengah itu kini dalam keadaan basah-kuyup mengenaskan. Air ada di mana-mana, membasahi lantai, membasahi buku-bukunya, dan Fettima pun terduduk di depan buku-bukunya sambil menangis pilu.
Selama ini, hujan memang tak pernah menjadi masalah bagi Fettima ataupun buku-bukunya, karena genteng rumahnya tidak ada yang bocor. Tetapi, entah kenapa, hari itu rupanya ada genteng yang terlepas, dan entah kenapa pula kebocoran itu tepat berada di bagian ruang tengah, tepat ketika Fettima sedang meletakkan buku-bukunya di sana. Air hujan yang deras pun kemudian mengalir masuk karena kebocoran itu, dan alirannya membasahi buku-bukunya tanpa ampun. Seluruh keluarga Fettima sudah mencoba menyabar-nyabarkannya atas tragedi itu, tetapi Fettima terlanjur berduka.
“Maafkan aku… Maafkan aku…” ucap Fettima berulang-ulang kepada buku-bukunya yang kini basah dan rusak, seperti seorang ibu yang menyesal karena telah membuat anak yang disayanginya terluka.
Keesokan harinya, genteng yang bocor sudah dibereskan, tetapi Fettima tak bisa mengobati luka hatinya. Kebocoran itu telah merusakkan buku-bukunya. Memang tidak semua buku yang terkena air itu rusak, dan Fettima pun berupaya mengeringkan buku-buku yang masih bisa diselamatkan. Tetapi kondisi buku-buku itu tak bisa lagi semulus sebelumnya—dan Fettima tetap saja merasa terluka.
Berbulan-bulan semenjak kejadian itu, Fettima mengaku dia sempat “ngambek” kepada Tuhan—ia tak habis pikir kenapa Tuhan harus menurunkan hujan pada waktu itu, tepat ketika genteng rumahnya bocor, dan buku-bukunya sedang ada di bawah tempat kebocoran itu. Kenapa tidak di waktu lain saja, pikir Fettima.
Sekarang, Fettima memang sudah belajar untuk berbesar hati menerima tragedi itu, ia telah berusaha untuk mengikhlaskan buku-bukunya yang telah hilang karena air hujan, tetapi ia tak pernah berhenti bertanya pada Tuhan kenapa tragedi itu harus terjadi. Entah bercanda atau tidak, dia menceritakan bahwa setiap kali berdoa, ia tak pernah lupa untuk bertanya, “Tuhan, aku menyadari dan percaya, selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Tetapi aku tetap belum paham hikmah apa yang ingin Kau berikan kepadaku atas musibah yang menimpa buku-bukuku.”
Hari ini, Fettima masih terus berupaya untuk dapat menggantikan buku-bukunya yang telah hilang. Dan saya pun ikut berdoa semoga ia segera menemukan hikmah tersembunyi yang dicari-carinya. Mungkin saja hikmah itu ada dalam rahasia tersamar di balik genteng yang bocor, atau mungkin di sebuah halaman buku yang masih dimilikinya, atau bisa saja ada di sebuah lembar buku baru yang akan dibacanya.
Lanjut ke sini.