Minggu, 18 Juli 2010

Elegi Dolanan Bocah



Kehidupan adalah drama teater.
(William Shakespearre)

Dunia adalah panggung sandiwara.
(Taufik Ismail)

Jalan hidup adalah dolanan bocah.
(Hoeda Manis)

Orang-orang menjalani hidupnya hari ini dengan mengikuti alur takdir yang dibuat oleh dirinya sendiri. Siapa kau hari ini adalah seperti apa kau di hari kemarin. Siapa kau di hari esok adalah seperti apa kau di hari ini. Manusia adalah pencipta garis nasibnya sendiri, makhluk merdeka yang diberi kekuatan serta kekuasaan untuk membentuk nasibnya sendiri. Benar bahwa Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan nasib bagi dirinya.

Dan di sini, orang-orang hidup di atas bumi yang telah diciptakan sebagai panggung teater bagi semuanya. Di atas panggung teater ini, orang-orang menjalankan sandiwaranya masing-masing. Setiap orang telah memegang dan memiliki naskah skenarionya sendiri—yang ia tulis dan ia jalankan sendiri—dan alam semesta akan menontonnya… dengan tawa, atau dengan tangis.

Sesungguhnya, tak ada yang salah dengan manusia. Yang sering salah adalah cara mereka dalam memainkan perannya. Tak ada yang keliru dalam Awal Penciptaan, yang sering keliru adalah Setelah Penciptaan. Di atas bumi, di dalam hidupnya masing-masing, di atas panggung teater yang secara khusus diberikan kepadanya, manusia telah diberi kesempatan untuk memainkan sandiwaranya yang terbaik. Tetapi alih-alih memainkan sandiwara yang megah dan indah, mereka justru asyik dolanan seperti bocah.

Jadi bocah-bocah itu pun dolanan… bermain dengan asyik, serta pura-pura lupa bahwa tujuan penciptaan mereka, dan keberadaan mereka di sini, bukanlah untuk itu. Jadi bocah-bocah itu pun tertawa… terbahak dengan penuh gembira, mengambil semuanya, menyanyikan lagu indah, dan tenggelam dalam apa yang secara membingungkan mereka sebut cinta.

Yang tersenyum paling akhir itulah yang menang—tetapi orang sering tak sabar untuk menjadi yang terakhir. Jadi mereka pun buru-buru tersenyum, menjadi yang pertama dalam tawa, tak peduli pada akhirnya—bahkan dalam prosesnya—mereka menangis darah dan air mata. Mereka menjadi korban dari keasyikan dolanan, seperti bocah-bocah tanpa nalar, dan kemudian menangis ketika hari mulai malam.

Dan… yang paling menyedihkan di atas segalanya, mereka sama sekali tak pernah menyadari bahwa sesungguhnya mereka hanyalah korban. Korban dari sikap pura-pura lupa bahwa sesungguhnya mereka tidak diciptakan untuk menjadi korban…


 
;