Post ini lanjutan dari post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Kita memang tidak menutup mata bahwa Barat juga rusak dalam hal-hal tertentu—khususnya dalam hal moral anak-anak mudanya karena hidup dalam budaya liberal. Tetapi, sekali lagi, mengapa hanya bagian itu yang kita pandang, kita nilai, dan kita tiru?
Sekarang lihatlah lebih dekat, dan mari kita menatap gaya hidup mereka secara menyeluruh.
Di Barat, khususnya di Amerika, apabila seorang anak sudah mencapai usia akil balig, dia lepas dari tanggung jawab orangtuanya. Orangtua memang kadang masih menghidupi anaknya, namun itu bukan lagi kewajiban. Karenanya, sering kali anak-anak SMA di sana mulai nyambi bekerja (entah jadi pesuruh toko, pelayan restoran, pembersih gudang, dll), dan anak-anak itu pun keluar dari rumah orangtuanya dan memulai hidupnya yang mandiri. Ada yang mengontrak apartemen murah, tinggal di rumah kost, patungan bersama kawan-kawan sekampusnya untuk hidup bersama dalam satu rumah kontrakan—tidak peduli sekaya apa pun orangtua mereka.
Jadi semenjak belia mereka telah terdidik untuk hidup secara mandiri, tak tergantung pada orangtuanya, meskipun orangtuanya seorang jutawan dan kaya-raya. Bukankah ini cara hidup yang bagus dan layak dicontoh?
Anak-anak muda di Amerika tidak malu menjadi pelayan toko atau pesuruh di warung makan meski orangtua mereka memiliki rumah mewah dan mengendarai Jaguar atau BMW. Anak-anak muda di Amerika lebih bangga menjalani hidup dengan uang hasil keringat mereka sendiri, dan mereka lebih suka tinggal di tempat kumuh asal itu dibiayai dengan uangnya sendiri—tak peduli orangtua mereka memiliki istana yang mewah. Kalau kau hidup di Amerika dan telah berusia 20 tahun namun masih manja dan menggantungkan segalanya pada orangtua, kau akan jadi bahan cibiran, objek tertawaan, dan kau akan dianggap ‘tidak gaul’.
Nah, bandingkan itu dengan gaya hidup anak-anak muda di negara kita. Jangankan sudah akil balig, bahkan sudah menikah pun sering kali mereka masih menggantungkan hidup pada orangtua. Jadi, sering kali yang dicontoh anak-anak muda kita hanya kulitnya semata-mata (main hockey, main futsal, mabuk di diskotik, dll), namun mereka tak mau meniru hal-hal positifnya.
Well, anak-anak muda di Barat memang dugem ke diskotik, juga mabuk, namun mereka melakukan semua itu dengan uang hasil keringatnya sendiri. Sementara anak-anak muda kita dugem ke diskotik dan mabuk-mabukan dengan menghambur-hamburkan uang milik orangtuanya! Anak-anak muda di Barat bangga mengendarai mobil rusak yang dibeli dari uang hasil kerjanya, sementara anak-anak muda di negara kita sok gaya dan tidak malu membangga-banggakan mobil mewah milik orangtuanya.
Bukankah ini jauh berbeda—seperti bumi dan langit? Tetapi begitulah, kita hanya melihat kulit mereka, namun tak mau melihat isi mereka yang sejati. Kita hanya mau meniru gaya hidup mereka yang asyik, namun kita ketakutan jika disuruh meniru gaya hidup mereka yang mandiri dan berat.
Selain gaya hidup mandiri, apa lagi yang patut dicontoh dari anak-anak muda di Barat? Keseriusan mereka dalam menjalani sesuatu!
Soekarno, presiden pertama Indonesia, mengatakan, “Tuhan benci terhadap orang yang setengah-setengah.”
Soekarno benar. Karena tidak ada yang lebih menyedihkan selain melihat orang yang setengah-setengah. Dan gaya hidup yang ‘tidak setengah-setengah’ itulah yang dilakukan oleh kebanyakan anak-anak muda di Barat. Mereka total dalam apa saja yang mereka sukai, yang mereka minati, dan mereka pun kemudian terlahir menjadi bintang dalam bidang itu.
Yang paling terkenal, dalam dunia artis misalnya, lihatlah Michelle Branch atau Avril Lavigne. Dalam usia yang semuda itu (belum 20 tahun) mereka bisa menciptakan lagu-lagu dengan kualitas musik luar biasa, dan mereka pun menjadi bintang yang dikenal secara internasional. Barangkali (karena inferioritas diri) kita bisa saja mengatakan, “Ah, mungkin saja mereka itu jenius.”
Salah! Mereka tidak jenius. Mereka berhasil menjadi bintang karena totalitas dan keseriusan mereka dalam hal yang mereka lakukan.
Barangkali Michelle Branch atau Avril Lavigne tergolong ‘cewek urakan’ dalam ukuran kebudayaan kita. Tetapi, nilailah secara adil. Jauh lebih baik urakan namun berprestasi daripada urakan namun tak memiliki prestasi apa-apa! Dan secara psikologis, orang-orang yang memiliki prestasi luar biasa memang cenderung angkuh dan urakan—dalam hal ini kita bisa memaklumi orang-orang semacam itu, mengingat prestasi mereka.
Sekali lagi, pemaparan ini sama sekali tidak bermaksud mengunggul-unggulkan Barat, ini hanya sekadar upaya untuk mengajak kita menilai Barat secara lebih utuh, lebih arif, dan lebih menyeluruh.
Ada kalanya, kita menilai Barat sebagai buruk karena mewarisi keyakinan dari orang-orang tertentu yang belum tentu benar—mungkin guru kita, orangtua kita, dan semacamnya. Dan barangkali, kita yang ada di Timur menilai Barat sebagai jahat adalah karena faktor inferioritas kita sendiri yang merasa rendah diri terhadap Barat. Pernahkah kita merenungkan hal itu?
Sering kali sesuatu kita cap sebagai buruk bukan karena sesuatu itu memang buruk, tetapi karena kita merasa iri dan tak bisa menyamai sesuatu itu—sama seperti monyet yang memaki-maki apel sebagai busuk hanya karena dia tidak bisa meraih buah apel itu.
Jadi, mari belajar untuk arif dan menilai sesuatu tidak hanya dari kulitnya, melainkan juga dari isinya. Barangkali kita telah salah-kaprah dalam mengadili dan menghakimi Barat karena kita hanya melihat apa yang selama ini dapat kita lihat saja, padahal masih banyak yang belum kita lihat seluruhnya. Atau, kadangkala kita menilai minor terhadap Barat bukan karena kita menemukan kerusakannya, melainkan karena perasaan rendah diri kita dalam bersaing dengan Barat. Sebagaimana manusia yang tak mungkin brengsek seutuhnya, Barat pun menyimpan nilai-nilai positif yang layak dijadikan contoh.
Anyway, seharusnya orang-orang Timur mendengar apa yang telah dikatakan Jalaluddin Rumi sekian abad yang lalu, “Kau diciptakan dengan sayap. Mengapa kau menjalani hidup dengan merangkak...?”
Kebanyakan kita hidup dengan cara merangkak, karena kita begitu ketakutan untuk menggunakan sayap-sayap yang kita miliki. Dan di dalam ketakutan itu, anehnya, kita kemudian mengutuk Barat sebagai pihak yang salah—hanya karena mereka berani menggunakan sayap-sayapnya.
***
Kita memang tidak menutup mata bahwa Barat juga rusak dalam hal-hal tertentu—khususnya dalam hal moral anak-anak mudanya karena hidup dalam budaya liberal. Tetapi, sekali lagi, mengapa hanya bagian itu yang kita pandang, kita nilai, dan kita tiru?
Sekarang lihatlah lebih dekat, dan mari kita menatap gaya hidup mereka secara menyeluruh.
Di Barat, khususnya di Amerika, apabila seorang anak sudah mencapai usia akil balig, dia lepas dari tanggung jawab orangtuanya. Orangtua memang kadang masih menghidupi anaknya, namun itu bukan lagi kewajiban. Karenanya, sering kali anak-anak SMA di sana mulai nyambi bekerja (entah jadi pesuruh toko, pelayan restoran, pembersih gudang, dll), dan anak-anak itu pun keluar dari rumah orangtuanya dan memulai hidupnya yang mandiri. Ada yang mengontrak apartemen murah, tinggal di rumah kost, patungan bersama kawan-kawan sekampusnya untuk hidup bersama dalam satu rumah kontrakan—tidak peduli sekaya apa pun orangtua mereka.
Jadi semenjak belia mereka telah terdidik untuk hidup secara mandiri, tak tergantung pada orangtuanya, meskipun orangtuanya seorang jutawan dan kaya-raya. Bukankah ini cara hidup yang bagus dan layak dicontoh?
Anak-anak muda di Amerika tidak malu menjadi pelayan toko atau pesuruh di warung makan meski orangtua mereka memiliki rumah mewah dan mengendarai Jaguar atau BMW. Anak-anak muda di Amerika lebih bangga menjalani hidup dengan uang hasil keringat mereka sendiri, dan mereka lebih suka tinggal di tempat kumuh asal itu dibiayai dengan uangnya sendiri—tak peduli orangtua mereka memiliki istana yang mewah. Kalau kau hidup di Amerika dan telah berusia 20 tahun namun masih manja dan menggantungkan segalanya pada orangtua, kau akan jadi bahan cibiran, objek tertawaan, dan kau akan dianggap ‘tidak gaul’.
Nah, bandingkan itu dengan gaya hidup anak-anak muda di negara kita. Jangankan sudah akil balig, bahkan sudah menikah pun sering kali mereka masih menggantungkan hidup pada orangtua. Jadi, sering kali yang dicontoh anak-anak muda kita hanya kulitnya semata-mata (main hockey, main futsal, mabuk di diskotik, dll), namun mereka tak mau meniru hal-hal positifnya.
Well, anak-anak muda di Barat memang dugem ke diskotik, juga mabuk, namun mereka melakukan semua itu dengan uang hasil keringatnya sendiri. Sementara anak-anak muda kita dugem ke diskotik dan mabuk-mabukan dengan menghambur-hamburkan uang milik orangtuanya! Anak-anak muda di Barat bangga mengendarai mobil rusak yang dibeli dari uang hasil kerjanya, sementara anak-anak muda di negara kita sok gaya dan tidak malu membangga-banggakan mobil mewah milik orangtuanya.
Bukankah ini jauh berbeda—seperti bumi dan langit? Tetapi begitulah, kita hanya melihat kulit mereka, namun tak mau melihat isi mereka yang sejati. Kita hanya mau meniru gaya hidup mereka yang asyik, namun kita ketakutan jika disuruh meniru gaya hidup mereka yang mandiri dan berat.
Selain gaya hidup mandiri, apa lagi yang patut dicontoh dari anak-anak muda di Barat? Keseriusan mereka dalam menjalani sesuatu!
Soekarno, presiden pertama Indonesia, mengatakan, “Tuhan benci terhadap orang yang setengah-setengah.”
Soekarno benar. Karena tidak ada yang lebih menyedihkan selain melihat orang yang setengah-setengah. Dan gaya hidup yang ‘tidak setengah-setengah’ itulah yang dilakukan oleh kebanyakan anak-anak muda di Barat. Mereka total dalam apa saja yang mereka sukai, yang mereka minati, dan mereka pun kemudian terlahir menjadi bintang dalam bidang itu.
Yang paling terkenal, dalam dunia artis misalnya, lihatlah Michelle Branch atau Avril Lavigne. Dalam usia yang semuda itu (belum 20 tahun) mereka bisa menciptakan lagu-lagu dengan kualitas musik luar biasa, dan mereka pun menjadi bintang yang dikenal secara internasional. Barangkali (karena inferioritas diri) kita bisa saja mengatakan, “Ah, mungkin saja mereka itu jenius.”
Salah! Mereka tidak jenius. Mereka berhasil menjadi bintang karena totalitas dan keseriusan mereka dalam hal yang mereka lakukan.
Barangkali Michelle Branch atau Avril Lavigne tergolong ‘cewek urakan’ dalam ukuran kebudayaan kita. Tetapi, nilailah secara adil. Jauh lebih baik urakan namun berprestasi daripada urakan namun tak memiliki prestasi apa-apa! Dan secara psikologis, orang-orang yang memiliki prestasi luar biasa memang cenderung angkuh dan urakan—dalam hal ini kita bisa memaklumi orang-orang semacam itu, mengingat prestasi mereka.
Sekali lagi, pemaparan ini sama sekali tidak bermaksud mengunggul-unggulkan Barat, ini hanya sekadar upaya untuk mengajak kita menilai Barat secara lebih utuh, lebih arif, dan lebih menyeluruh.
Ada kalanya, kita menilai Barat sebagai buruk karena mewarisi keyakinan dari orang-orang tertentu yang belum tentu benar—mungkin guru kita, orangtua kita, dan semacamnya. Dan barangkali, kita yang ada di Timur menilai Barat sebagai jahat adalah karena faktor inferioritas kita sendiri yang merasa rendah diri terhadap Barat. Pernahkah kita merenungkan hal itu?
Sering kali sesuatu kita cap sebagai buruk bukan karena sesuatu itu memang buruk, tetapi karena kita merasa iri dan tak bisa menyamai sesuatu itu—sama seperti monyet yang memaki-maki apel sebagai busuk hanya karena dia tidak bisa meraih buah apel itu.
Jadi, mari belajar untuk arif dan menilai sesuatu tidak hanya dari kulitnya, melainkan juga dari isinya. Barangkali kita telah salah-kaprah dalam mengadili dan menghakimi Barat karena kita hanya melihat apa yang selama ini dapat kita lihat saja, padahal masih banyak yang belum kita lihat seluruhnya. Atau, kadangkala kita menilai minor terhadap Barat bukan karena kita menemukan kerusakannya, melainkan karena perasaan rendah diri kita dalam bersaing dengan Barat. Sebagaimana manusia yang tak mungkin brengsek seutuhnya, Barat pun menyimpan nilai-nilai positif yang layak dijadikan contoh.
Anyway, seharusnya orang-orang Timur mendengar apa yang telah dikatakan Jalaluddin Rumi sekian abad yang lalu, “Kau diciptakan dengan sayap. Mengapa kau menjalani hidup dengan merangkak...?”
Kebanyakan kita hidup dengan cara merangkak, karena kita begitu ketakutan untuk menggunakan sayap-sayap yang kita miliki. Dan di dalam ketakutan itu, anehnya, kita kemudian mengutuk Barat sebagai pihak yang salah—hanya karena mereka berani menggunakan sayap-sayapnya.