Ini pertanyaan umum yang biasa diajukan pada para penulis. Apakah menulis memerlukan bakat? Saya agak bingung untuk menjawab pertanyaan ini secara langsung. Jika saya menjawab “Ya”, maka jawaban itu akan mematahkan motivasi orang-orang yang ingin menulis namun merasa tidak memiliki bakat. Tetapi, jika saya menjawab “Tidak”, kesannya kok terlalu menggampangkan.
Lebih dari itu, kalau kita membaca biografi atau perjalanan hidup penulis-penulis besar, kita pun akan melihat bahwa sebagian dari mereka memang memiliki bakat yang hebat—hingga kemudian dapat menjadi penulis hebat. Tetapi itu hanya sebagian. Sementara sebagian yang lain sepertinya tidak memiliki bakat menulis yang benar-benar menonjol, meski tetap mampu menjadi penulis hebat. Karenanya, saya tidak yakin untuk menjawab apakah menulis memang memerlukan bakat atau tidak.
Tetapi mari kita lihat realitasnya saja—realitas dari apakah bakat itu sesungguhnya.
Dalam perspektif saya, bakat tak jauh beda dengan sebilah pisau. Setajam apa pun, pisau akan tumpul jika hanya disimpan tanpa pernah digunakan, bahkan akan berkarat dan kemudian hancur. Sebaliknya, setumpul apa pun, pisau akan menjadi tajam jika ia diasah, digunakan, diasah dan digunakan lagi terus-menerus tanpa henti. Jadi inti sesungguhnya bukanlah bakat semata-mata, tetapi bagaimana upaya menggunakan bakat itu, atau bagaimana kerja keras dalam membangun bakat itu.
Ya, bakat memang dapat dibangun. Orang dapat memiliki sebuah bakat tertentu jika ia mau terus memupuknya, mempelajarinya, mengasahnya, dan terus membangunnya. Para pakar yang kompeten dalam bidang ini sudah berkesimpulan bahwa jika seseorang menggeluti sesuatu selama lima tahun secara intens, maka ia telah sampai pada tahap seorang pakar dalam bidang itu.
Karenanya, jika seseorang mau mempelajari bidang kepenulisan dan mengasah dirinya dengan terus menulis tanpa henti, maka dia pun akan memiliki bakat dalam menulis—tak peduli apakah pada awalnya dia memiliki bakat atau tidak.
Jadi, apakah menulis memang memerlukan bakat? Jawabannya tergantung pada definisi bakat yang kita pahami. Jika “bakat” yang kita maksudkan adalah bakat yang sudah ada sejak seseorang lahir ke dunia, maka tentunya hanya anak-anak penulis saja yang dapat menulis—karena mereka mewarisi gen orang tuanya yang memang penulis. Tetapi kenyataannya tidak begitu, kan? Banyak sekali penulis yang justru memiliki orang tua yang berprofesi jauh dari dunia tulis-menulis. Artinya, bakat yang diperlukan dalam menulis bukanlah bakat yang telah dibawa semenjak lahir, tetapi bakat yang memang sengaja dipupuk dan dibangun.
Sering kali, kita “menuduh” orang-orang yang hebat dalam bidangnya dengan ucapan, “Yah, dia bisa hebat seperti itu karena bakatnya sudah hebat.” Saya pun sering menerima email dari para pembaca buku saya yang “menuduh” saya seperti itu—bahwa saya punya bakat hebat dalam menulis. Tetapi, jika saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya memiliki bakat menulis, maka saya langsung tahu jawabannya. Saya tidak memiliki bakat menulis. Saya ulangi, saya sama sekali tidak berbakat menulis.
Bagaimana saya tahu? Jawabannya mudah—karena saya masih menyimpan tulisan-tulisan yang saya tulis di awal-awal saya mulai menulis.
Saya sudah suka menulis sejak duduk di bangku SD. Dan kesukaan itu terus berlanjut hingga SMP, SMA, sampai sekarang. Hari ini, jika saya membaca segala sesuatu yang pernah saya tulis dulu, misalnya waktu di SMP, saya benar-benar malu—sangat-sangat malu. Kenapa? Karena tulisan-tulisan itu AMAT SANGAT JELEK. Hari ini, saya bisa menilai tulisan-tulisan saya zaman SMP itu secara objektif, bahkan secara profesional, dan saya tahu bahwa tulisan-tulisan itu sama sekali tak menunjukkan si penulisnya memiliki bakat.
Jadi, hari ini pun saya sudah berkesimpulan bahwa saya tidak memiliki bakat menulis. Saya lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang jauh dari dunia literasi. Ayah dan ibu saya bukan penulis. Keluarga saya tidak ada yang menjadi penulis—bahkan orang tua saya pun sepertinya tidak mendukung ketika tahu saya mencintai menulis.
Tetapi hari ini saya bisa menulis, dan tulisan saya bisa diterbitkan serta dibaca beribu-ribu orang. Dari mana kemampuan ini muncul? Tentunya bukan dari bakat yang telah saya miliki sejak lahir—tetapi dari proses mengasah diri, ketekunan belajar menulis, dan perjalanan latihan yang terus-menerus. Jika menulis memang membutuhkan bakat, maka bakat yang dimaksud tentunya adalah bakat yang sengaja dibangun, bukan bakat yang telah diperoleh semenjak lahir.
Saya percaya bakat memang penting. Tetapi saya lebih percaya bahwa perjuangan dan kerja keras mencapai sesuatu jauh lebih penting. Karenanya, untuk mencapai apa pun—termasuk mencapai kemampuan menulis—tak perlu terlalu dirisaukan apakah kita memiliki bakat atau tidak, karena ada yang lebih penting dibanding bakat semata-mata. Yakni proses pembelajaran. Dan kerja keras. Dan latihan. Dan ketekunan. Dan keteguhan. Dan keyakinan.
Jika orang mau menempuh perjalanan itu, jika orang mau menempuh proses pembelajaran dan kerja keras, tekun berlatih dengan teguh tanpa pernah putus asa, serta yakin dapat mencapai apa yang ingin dicapainya, maka dunia ini pun akan menyaksikan orang itu mencapai apa pun keinginannya.
Menulis dan kemampuan menulis tidak berhubungan dengan bakat semata-mata—ia lebih berhubungan dengan tekad dan kerja keras kita.
Lebih dari itu, kalau kita membaca biografi atau perjalanan hidup penulis-penulis besar, kita pun akan melihat bahwa sebagian dari mereka memang memiliki bakat yang hebat—hingga kemudian dapat menjadi penulis hebat. Tetapi itu hanya sebagian. Sementara sebagian yang lain sepertinya tidak memiliki bakat menulis yang benar-benar menonjol, meski tetap mampu menjadi penulis hebat. Karenanya, saya tidak yakin untuk menjawab apakah menulis memang memerlukan bakat atau tidak.
Tetapi mari kita lihat realitasnya saja—realitas dari apakah bakat itu sesungguhnya.
Dalam perspektif saya, bakat tak jauh beda dengan sebilah pisau. Setajam apa pun, pisau akan tumpul jika hanya disimpan tanpa pernah digunakan, bahkan akan berkarat dan kemudian hancur. Sebaliknya, setumpul apa pun, pisau akan menjadi tajam jika ia diasah, digunakan, diasah dan digunakan lagi terus-menerus tanpa henti. Jadi inti sesungguhnya bukanlah bakat semata-mata, tetapi bagaimana upaya menggunakan bakat itu, atau bagaimana kerja keras dalam membangun bakat itu.
Ya, bakat memang dapat dibangun. Orang dapat memiliki sebuah bakat tertentu jika ia mau terus memupuknya, mempelajarinya, mengasahnya, dan terus membangunnya. Para pakar yang kompeten dalam bidang ini sudah berkesimpulan bahwa jika seseorang menggeluti sesuatu selama lima tahun secara intens, maka ia telah sampai pada tahap seorang pakar dalam bidang itu.
Karenanya, jika seseorang mau mempelajari bidang kepenulisan dan mengasah dirinya dengan terus menulis tanpa henti, maka dia pun akan memiliki bakat dalam menulis—tak peduli apakah pada awalnya dia memiliki bakat atau tidak.
Jadi, apakah menulis memang memerlukan bakat? Jawabannya tergantung pada definisi bakat yang kita pahami. Jika “bakat” yang kita maksudkan adalah bakat yang sudah ada sejak seseorang lahir ke dunia, maka tentunya hanya anak-anak penulis saja yang dapat menulis—karena mereka mewarisi gen orang tuanya yang memang penulis. Tetapi kenyataannya tidak begitu, kan? Banyak sekali penulis yang justru memiliki orang tua yang berprofesi jauh dari dunia tulis-menulis. Artinya, bakat yang diperlukan dalam menulis bukanlah bakat yang telah dibawa semenjak lahir, tetapi bakat yang memang sengaja dipupuk dan dibangun.
Sering kali, kita “menuduh” orang-orang yang hebat dalam bidangnya dengan ucapan, “Yah, dia bisa hebat seperti itu karena bakatnya sudah hebat.” Saya pun sering menerima email dari para pembaca buku saya yang “menuduh” saya seperti itu—bahwa saya punya bakat hebat dalam menulis. Tetapi, jika saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya memiliki bakat menulis, maka saya langsung tahu jawabannya. Saya tidak memiliki bakat menulis. Saya ulangi, saya sama sekali tidak berbakat menulis.
Bagaimana saya tahu? Jawabannya mudah—karena saya masih menyimpan tulisan-tulisan yang saya tulis di awal-awal saya mulai menulis.
Saya sudah suka menulis sejak duduk di bangku SD. Dan kesukaan itu terus berlanjut hingga SMP, SMA, sampai sekarang. Hari ini, jika saya membaca segala sesuatu yang pernah saya tulis dulu, misalnya waktu di SMP, saya benar-benar malu—sangat-sangat malu. Kenapa? Karena tulisan-tulisan itu AMAT SANGAT JELEK. Hari ini, saya bisa menilai tulisan-tulisan saya zaman SMP itu secara objektif, bahkan secara profesional, dan saya tahu bahwa tulisan-tulisan itu sama sekali tak menunjukkan si penulisnya memiliki bakat.
Jadi, hari ini pun saya sudah berkesimpulan bahwa saya tidak memiliki bakat menulis. Saya lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang jauh dari dunia literasi. Ayah dan ibu saya bukan penulis. Keluarga saya tidak ada yang menjadi penulis—bahkan orang tua saya pun sepertinya tidak mendukung ketika tahu saya mencintai menulis.
Tetapi hari ini saya bisa menulis, dan tulisan saya bisa diterbitkan serta dibaca beribu-ribu orang. Dari mana kemampuan ini muncul? Tentunya bukan dari bakat yang telah saya miliki sejak lahir—tetapi dari proses mengasah diri, ketekunan belajar menulis, dan perjalanan latihan yang terus-menerus. Jika menulis memang membutuhkan bakat, maka bakat yang dimaksud tentunya adalah bakat yang sengaja dibangun, bukan bakat yang telah diperoleh semenjak lahir.
Saya percaya bakat memang penting. Tetapi saya lebih percaya bahwa perjuangan dan kerja keras mencapai sesuatu jauh lebih penting. Karenanya, untuk mencapai apa pun—termasuk mencapai kemampuan menulis—tak perlu terlalu dirisaukan apakah kita memiliki bakat atau tidak, karena ada yang lebih penting dibanding bakat semata-mata. Yakni proses pembelajaran. Dan kerja keras. Dan latihan. Dan ketekunan. Dan keteguhan. Dan keyakinan.
Jika orang mau menempuh perjalanan itu, jika orang mau menempuh proses pembelajaran dan kerja keras, tekun berlatih dengan teguh tanpa pernah putus asa, serta yakin dapat mencapai apa yang ingin dicapainya, maka dunia ini pun akan menyaksikan orang itu mencapai apa pun keinginannya.
Menulis dan kemampuan menulis tidak berhubungan dengan bakat semata-mata—ia lebih berhubungan dengan tekad dan kerja keras kita.