Rabu, 21 Juli 2010

“Penyakit Aneh” para Kutu Buku (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.

***

Teman saya, Ferry Agustian, bekerja sebagai jurnalis. Pekerjaannya itu cocok benar dengan kecintaannya pada aktivitas membaca dan mengoleksi buku. Kemana pun dia pergi ke luar kota—karena tuntutan pekerjaan—dia tak pernah melewatkan satu kota pun tanpa mampir ke toko atau tempat penjualan buku. Struk belanjanya lebih banyak berisi daftar judul buku daripada barang lainnya.

“Aku bisa enjoy menghabiskan satu atau dua juta sekaligus untuk membeli buku,” ujar Ferry terus-terang, “tetapi aku bisa menyesal semalam suntuk bila menghabiskan uang tiga ratus ribu untuk membeli baju.”

Pernyataan Ferry itu juga saya dengar dari para kutu buku lain, yang juga tergila-gila pada buku. Karena sudah sangat biasa mendengar pernyataan semacam itu, saya pun kadang berpikir bahwa mungkin karena kenyataan semacam itulah yang menjadikan para kutu buku biasanya memiliki penampilan lusuh—karena mereka lebih suka menggunakan uangnya untuk membeli buku daripada dihamburkan untuk beli baju.

Nah, Ferry punya teman lain yang juga kutu buku, bernama Muhamad Irvan. Si Irvan ini juga sama “gilanya” seperti Ferry dalam hal buku. Bedanya, Irvan masih mau “membuang-buang” duit untuk beli baju, sehingga koleksi bajunya juga cukup banyak sebagaimana koleksi bukunya. Tetapi, dalam hal buku, Irvan juga tak jauh beda dengan para kutu buku lainnya—sama-sama mengidap “kegilaan”.

Seorang teman pernah meminjam buku milik Irvan. Sebagaimana para kutu buku lainnya, Irvan merasa berat hati meminjamkan bukunya. Tetapi karena perasaan tidak enak, Irvan pun mengizinkan. Nah, sialnya, buku yang dipinjam itu kemudian hilang. Si teman mengaku kalau buku itu tadinya ia letakkan di meja di ruang tamu rumahnya, dan kemudian salah seorang tamu yang datang mungkin meminjam buku itu tanpa sepengetahuannya.

Irvan marah bukan kepalang. Dia memberi waktu tenggang sampai dua bulan untuk mengembalikan buku itu—bagaimana pun caranya. “Kalau kamu meminjam baju atau celanaku,” kata Irvan, “aku tak peduli kalau baju atau celana itu hilang, atau kamu jual, atau kamu berikan pada orang lain. Semahal apa pun baju dan celana, aku masih bisa membelinya lagi. Tetapi buku belum tentu bisa ditemukan lagi!”

Ucapan Irvan itu terbukti benar. Sampai habisnya waktu tenggang yang diberikannya, bukunya tetap belum kembali juga. Orang yang meminjam itu sudah mengusahakan untuk menggantinya dengan mencari buku tersebut ke toko-toko buku di berbagai tempat, bahkan sampai ke luar kota, tetapi hingga berbulan-bulan kemudian, buku itu tetap tak bisa ditemukannya. Hubungan Irvan dengan orang itu pun retak.

Sampai saya menulis kisah ini, buku milik Irvan tetap belum dikembalikan—padahal hilangnya buku itu sudah lebih dari empat tahun yang lalu. Dan gara-gara insiden itu pula, Irvan kemudian memasang tulisan besar-besar di dinding pepustakaan pribadinya, berbunyi, “MEMINJAM BUKU ADALAH PERBUATAN YANG TERCELA”.

Lain Irvan, lain Fettima. Fettima adalah sohib saya yang bekerja sebagai editor di sebuah majalah. Dia juga seorang kutu buku sejati yang juga mengidap “penyakit aneh” serupa. Di rumahnya, dia memiliki perpustakaan pribadi yang selalu dirawatnya dengan penuh kasih sebagaimana seorang ibu merawat anak-anaknya. Secara rutin ia membersihkan rak-rak bukunya, memberikan sampul plastik yang bersih dan bening untuk buku-buku koleksinya, dan tak pernah lupa menaruh kapur barus di dekat buku-bukunya agar dijauhkan dari api neraka, eh, dari ngengat yang jahat.

Dulu, waktu masih SMA, Fettima pernah membeli buku (novel) karya John Grisham, berjudul “The Firm”. Grisham adalah salah satu novelis favoritnya. Nah, suatu hari buku itu dipinjam seorang temannya. Singkat cerita, buku itu kemudian hilang. Mendengar bukunya hilang, Fettima langsung menangis sesenggrukan seperti gadis ABG kehilangan pacar. Parahnya lagi, si teman itu tak bisa mengganti buku yang telah dihilangkannya.

Tak perlu saya ceritakan bagaimana hancurnya hati Fettima atas kehilangan bukunya itu. Sampai kemudian, lima tahun setelah hilangnya buku itu, Fettima bersama kawannya, Anisa, pergi ke Cirebon untuk suatu keperluan. Di Cirebon, mereka mampir ke toko buku Gunung Agung. Di sana, Fettima maupun Anisa asyik mencari buku sendiri-sendiri.

Sekitar satu jam kemudian, Anisa sudah selesai dengan belanjanya, dan mulai mencari-cari Fettima di toko buku yang luas itu. Di salah satu sudut, Anisa melihat beberapa pramuniaga toko sedang mengerumuni sesuatu. Merasakan perasaannya tidak enak, Anisa segera mendekat ke kerumunan itu, dan seketika dia berdebar-debar tak karuan. Para pramuniaga itu sedang menenangkan Fettima yang sedang menangis tersedu-sedu sampai tak mampu bicara!

Ada apa dengan Fettima, pikir Anisa dengan risau. Dia segera mendekat dan memeluk sahabatnya itu, dan ikut menenangkannya. Dalam hati, Anisa sempat membatin, apakah mungkin ada cowok yang telah berbuat kurang ajar pada Fettima hingga dia menangis seperti itu? Ketika akhirnya Fettima bisa berkata-kata kembali, ucapan pertama yang dikatakannya adalah, “Selama lima tahun aku kehilangan buku ini… Sekarang buku ini kutemukan lagi di sini… Oh, Tuhan, terima kasih, Tuhan…”

Anisa kemudian melihat, ada novel karya John Grisham berjudul “The Firm” yang sedang dipeluk dalam dekapan Fettima. Buku yang masih terbungkus plastik itu telah basah oleh air mata Fettima yang sejak tadi menangisinya. Bagi Fettima, menemukan kembali bukunya yang hilang mungkin sama artinya dengan menemukan kembali anaknya yang pernah hilang.

Lanjut ke sini.

 
;