Rabu, 25 April 2012

Godaan Malam Minggu

Malam Minggu adalah kesempatan sempurna
untuk membiarkan Sunyi menari.
@noffret


Saya bete tiap kali malam Minggu datang. Bukan, bukan karena jomblo dan kemudian bete di malam Minggu karena tidak punya pacar. Yang membuat saya bete adalah karena malam Minggu menghambat aktivitas rutin yang biasa saya jalani.

Setiap malam, saya pasti keluar rumah untuk mencari makan. Dalam hal itu, saya sering harus melewati Simpang Lima. Di malam-malam biasa, kawasan itu tidak terlalu ramai—wajar-wajar saja. Tetapi, di malam Minggu, hampir dapat dipastikan ada segerombolan remaja yang ngetem di sana—entah untuk kebut-kebutan, atau untuk hal lain. Efeknya, jalanan di sekitar itu sering kali macet.

Tapi yang macet bukan hanya kawasan sekitar Simpang Lima. Dari tempat itu hingga sampai di tempat tujuan, biasanya saya terus-menerus terjebak macet karena beratus-ratus pasangan memenuhi jalanan untuk malam mingguan. Sering kali saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa ya mereka harus kencan di malam Minggu? Kenapa tidak memilih malam lain saja biar tidak menimbulkan kemacetan di jalan?

Itu bukan hal menyenangkan bagi saya. Pertama, saya benci macet. (Ketika menulis catatan ini, saya memaklumi kalau mayoritas orang Jakarta rentan stres, karena macet memang bikin stres). Kedua, waktu saya terbuang percuma. Kalau biasanya saya hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai di tempat tujuan, maka macet menjadikan saya butuh waktu hingga beberapa jam.

Dan kenyataan menjengkelkan itu harus saya alami seminggu sekali, setiap malam Minggu. Akhirnya, karena dongkol setiap kali keluar malam Minggu terjebak macet yang bikin bete, saya pun pernah memutuskan untuk tidak akan keluar rumah setiap kali malam Minggu. Untuk memenuhi kebutuhan makan, saya beli nasi goreng yang biasa lewat di depan rumah.

Semula, solusi itu terasa bagus dan praktis. Ngapain capek dan bete terjebak macet, tanpa harus keluar rumah pun saya bisa makan. Maka hal itu pun berlangsung cukup lama. Tiap malam Minggu datang, saya akan tenang di rumah, dan bisa menikmati makan malam dengan hati senang. Tetapi, lama-lama, saya mulai bosan nasi goreng. Ini masalah lagi, karena—selain penjual nasi goreng—tidak ada penjual nasi lain yang lewat di depan rumah.

Semakin lama ditahan, saya juga semakin bete tiap kali harus makan nasi goreng. Akhirnya, mau tidak mau, saya harus keluar rumah lagi untuk makan malam, termasuk malam Minggu. Dan, yeah, terjebak macet lagi. Macet, kau tahu, adalah godaan sempurna untuk misuh-misuh.

Tapi macet di jalanan, sebenarnya, hanyalah godaan awal yang menguji iman saya. Begitu sampai di kafe langganan tempat saya makan, ada godaan yang jauh lebih parah.

Di malam-malam biasa, kafe ini tidak terlalu ramai—pengunjungnya sesuai kapasitas, bahkan sering kali masih ada kursi yang kosong. Tapi di malam Minggu, jumlah pengunjungnya membludak. Sebagian besar adalah mereka yang sedang kencan, sementara yang lain adalah para lajang yang memang ingin menikmati akhir pekan. Saya tidak termasuk kedua-duanya, karena saya hanya cowok biasa yang memang sedang kelaparan.

Nah, ramainya pengunjung kafe semacam itu juga menjadi godaan bagi saya. Pertama, mau tak mau saya harus melihat pasangan-pasangan romantis yang sedang berpegangan tangan. Oke, mungkin mereka norak. Ngapain juga megang tangan pacar harus di kafe? Tapi tak peduli norak atau tidak, saya harus mengakui kalau hal itu menggoda saya untuk… yeah, ingin memegang tangan seseorang.

Dan tentu saja saya tidak bisa memegang tangan pelayan kafe yang sama-sama cowok, karena saya bukan homo. Saya pun tentu tidak bisa memegang tangan pelayan kafe yang cewek, karena pasti akan dianggap kurang ajar atau dituduh melakukan pelecehan. Jadi, biasanya, saya akan makan di sana sambil merasakan hati yang panas dingin.

Tapi godaan yang mengaduk-aduk hati saya bukan hanya pasangan yang sedang berpegangan tangan. Seperti yang dibilang di atas, pengunjung kafe selalu padat tiap kali malam Minggu. Dan biasanya lebih “atraktif”. Sambil makan, mata saya akan tergoda saat melihat cewek-cewek seksi memakai kaus ketat yang kebetulan lewat. Atau yang memakai rok mini sedemikian mini, dan melangkah gemulai di dekat saya. Seharusnya saya istighfar—tapi di saat-saat seperti itu saya sering lupa melakukannya.

Pernah, di suatu malam Minggu, sekelompok cewek duduk tepat di depan saya. Rata-rata mereka memakai kaus ketat. Selama makan, saya nyaris tidak menikmati makanan di mulut karena pemandangan di depan mata benar-benar menggoda. Entah cewek-cewek itu sadar atau tidak, bagian belakang kaus mereka tersingkap sehingga memamerkan punggung yang rata-rata putih mulus.

Dan saya duduk tepat di belakang mereka. (Terpujilah pelayan kafe yang menempatkan saya di sana!).

Tapi yang membuat mata saya tergoda bukan hanya punggung yang mulus. Karena, entah cewek-cewek itu sengaja atau tidak, tersingkapnya kaus itu juga sekaligus memamerkan celana dalam mereka. Silakan bilang saya norak. Tapi saya cowok biasa. Dan menyaksikan celana dalam yang mengintip keluar dari belakang kaus yang tersingkap benar-benar menggoda mata cowok biasa seperti saya.

Yang membuat saya deg-degan, beberapa celana dalam yang terlihat itu bukan celana dalam biasa. Setelah saya perhatikan agak lama, ternyata beberapa cewek itu memakai g-string! Omigod, kehebatan imajinasi manusia memang luar biasa. Hanya menyaksikan g-string saja, pikiran saya langsung mengembara ke mana-mana. Ya, ya, seharusnya saya istighfar—tapi di saat-saat seperti itu saya sering lupa melakukannya.

Di malam Minggu yang lain, kebetulan saya duduk berdekatan dengan lima orang cowok. Mereka terlihat ngobrol dengan seru. Hampir dapat dipastikan, obrolan itu lama-lama akan sampai pada topik cewek, dan dugaan saya memang benar. Dari tempat duduk, saya dapat mendengarkan percakapan mereka dengan jelas. Dan saya terus menyimaknya, sambil menikmati rokok.

“Cewek yang asyik buat dijadiin pacar,” kata cowok pertama, “adalah cewek cantik yang bitchy.”

Cowok kedua menyahut, “Cantik dan bitchy tapi otaknya kosong juga ngebosenin.”

“Kalau gitu, yang cantik, bitchy, sekaligus cerdas,” ujar cowok ketiga.

“Tapi kayaknya sulit ya, nyari yang gitu?” tanya cowok keempat.

“Iya,” jawab cowok kedua. “Soalnya cewek yang kayak gitu biasanya udah punya pacar.”

“Kalau kita perhatiin,” ujar cowok ketiga, “rata-rata cewek teman kita yang udah punya pacar emang punya kombinasi itu—cantik dan bitchy, atau cerdas dan bitchy.”

“Kenapa ya, cowok-cowok sepertinya suka cewek yang kayak gitu?” tanya cowok pertama.

“Kayak gitu gimana?”

“Ya gitu, yang bitchy.”

Cowok keempat tertawa, “Tanyain aja pada diri sendiri, kenapa kita juga suka yang kayak gitu?”

Kemudian, cowok kelima yang dari tadi diam saja, berkata perlahan-lahan, “Tapi aku nggak suka cewek yang kayak gitu, kok.”

Teman-temannya memandang ke arah cowok kelima. “Trus, kamu sukanya yang gimana?” tanya cowok kedua.

Cowok kelima menjawab yakin, “Aku sukanya yang cantik, pintar, dan salihah.”

“Wow…!” seru teman-temannya.

“Tapi yang ada nakal-nakalnya dikit,” lanjut cowok kelima.

Teman-temannya ngakak berjamaah. Cowok kelima terlihat salah tingkah, karena merasa ditertawakan. Kemudian, dia menoleh ke arah saya, dan memergoki saya sedang mendengarkan percakapan mereka. Mungkin, untuk mencari dukungan, cowok itu kemudian menatap saya dan berkata, “Bener nggak, Bang?”

Mau tak mau saya harus menjawab, dan saya menunjukkan jempol sambil tersenyum sebagai tanda dukungan untuknya. Cantik, pintar, dan salihah—tapi ada nakal-nakalnya dikit. Well, sepertinya itu potret calon pacar yang ideal, batin saya. Ya, mungkin tipe cewek yang lembut dan alim, tapi mengenakan g-string.

....
....

Malam itu, ketika saya merayap melewati jalanan yang macet untuk pulang, angan saya menari. Hidup mungkin akan lebih indah jika malam Minggu dapat saya nikmati dengan seseorang yang disebutkan cowok kelima di kafe tadi. Tetapi, sesampai di rumah, ketika mendapati kesunyian kembali melingkupi, saya pun tahu hati saya ada di sini.

 
;