Ini cerita bodoh yang saya tulis dengan bodoh, dan sepertinya akan jadi post paling bodoh di blog ini.
Kisah bodoh ini diawali dengan telepon di pagi hari Minggu—telepon kurang ajar yang membangunkan tidur lelap saya beserta mimpi indah di dalamnya. Telepon itu datang dari Amelia, sohib saya, yang langsung saja nyerocos dengan tanpa dosa, “Da’, kakak sepupuku kan lagi perlu bikin tesis, ya. Dia lagi butuh beberapa buku buat referensi. Bisa nggak, kalau kakak sepupuku pinjam buku-bukumu?”
Sambil menguap ngantuk saya menjawab, “Kakak sepupumu itu, cowok apa cewek?”
“Cewek,” jawab Amelia.
“Kalau begitu oke, bisa.” Dalam hati saya berharap semoga kakak sepupu Amelia ini masih jomblo, mirip Manohara, dan sedang mengharapkan seorang pacar. Well, orang berharap kan sah-sah saja?
“Ya udah,” sahut Amelia. “Ntar siang kami ke rumahmu ya.”
Saya menjawab, “Ya,” kemudian tidur lagi.
Siang harinya, selepas dhuhur, Amelia benar-benar datang ke rumah saya. Ketika membukakan pintu untuk mereka, saya tertegun. Cewek yang bersama Amelia siang itu benar-benar tepat seperti yang saya harapkan. Dia mirip Manohara. Soal apakah dia lagi jomblo atau tidak, saya tidak tahu. Tapi dia mirip Manohara—itu yang penting.
“Jadi, ini kakak sepupuku yang kubilang itu,” kata Amelia memperkenalkan sepupunya. “Namanya Sabrina.”
Dalam bayangan saya, si Sabrina ini mungkin usianya tak jauh beda dengan saya, hanya saja dia mengesankan kepribadian yang kuat, dan memancarkan semacam aura yang membuat cowok jadi grogi. Setidaknya, itulah yang saya rasakan. Jadi dengan grogi pula saya menyambut perkenalan itu.
Lalu, setelah ngobrol basa-basi sejenak, saya pun mengajak mereka ke ruang perpustakaan di rumah saya, agar Sabrina bisa leluasa memilih buku-buku yang diperlukannya. Dan di perpustakaan itulah kisah bodoh ini terjadi….
Perpustakaan saya terbagi dalam tiga rak besar. Rak pertama berisi buku-buku fiksi atau novel, rak kedua berisi buku-buku ilmiah atau nonfiksi, sedang rak ketiga berisi majalah-majalah yang saya sukai—Cosmopolitan, Reader Digest, dan lain-lain.
Sambil memilih-milih buku, kami ngobrol-ngobrol dengan asyik, dan saya pun mulai akrab dengan Sabrina. Dan waktu berjalan tanpa terasa, dan diam-diam saya melamunkan Sabrina yang mirip Manohara ini memang lagi jomblo, dan sedang mengharapkan seorang pacar, dan…
“Koleksi majalahmu lengkap ya,” ujar Sabrina membuyarkan lamunan saya.
“Uh…yeah, lumayan,” jawab saya dengan gugup.
Sabrina menatap saya dengan tatapan seorang dokter yang sedang menghadapi pasien, kemudian berkata dengan hati-hati, “Boleh tahu nggak, sejak kapan kamu menyadari kalau… hmm, kalau kamu seperti itu…?”
“Kalau… kalau aku seperti apa…?” Saya menatapnya dengan tampang idiot. Saya benar-benar tidak paham dengan yang dimaksudkannya.
“Maaf, aku nggak bermaksud menyinggung perasaanmu. Kupikir kamu….”
Saya semakin tidak paham. Buru-buru saya memotong, “Nggak, aku nggak tersinggung. Cuma, aku nggak paham….”
“It’s okay, aku cuma ingin mastiin aja, kok. Kupikir itu bukan masalah, ya.”
Saya semakin tidak paham maksud pembicaraan ini. Sepertinya saya tidak sedang berbicara dengan bahasa Bumi, atau karena memang otak saya tiba-tiba lenyap entah kemana.
“Jadi, maksudnya gimana, Sab?” tanya saya dengan bingung.
“Yah, melihat koleksi majalahmu,” ujar Sabrina dengan tatapan dokter-yang-sedang-mendiagnosa-pasiennya, “Cosmopolitan, Glamour, Parade, Bazaar….”
“Ya…?” Tiba-tiba saya berdebar-debar. “Itu… itu menyimpulkan apa…?”
“Sangat jelas, kan?” sahut Sabrina—kali ini dengan tampang sotoy. “Itu kenapa tadi aku nanya ke kamu, sejak kapan kamu menyadari kalau kamu gay.”
“HAAAHH…???” Rasanya saya mau pingsan. Tiba-tiba bibir saya kering hingga tak bisa berucap apa-apa. Saya gay…??? Omigod! Dan diagnosis yang tidak beradab itu hanya didasarkan pada majalah-majalah yang saya baca…??? Apa salahnya kalau cowok membaca Cosmopolitan…??? Apa salahnya cowok membaca Glamour dan Bazar…???
Amelia yang melihat saya panik dan tak bisa bicara seperti itu malah tampak cekikikan. Dengan biadabnya dia malah menambahi tuduhan itu dengan berkata pada Sabrina, “Hoeda tuh emang suka malu-malu gitu, Sab.” Kemudian dengan tampang yang sama biadabnya dia berkata pada saya, “Kamu nggak perlu malu sama Sabrina, Da’—dia juga punya teman-teman kayak kamu, kok.”
Dan sebelum saya sempat menjawab, mengklarifikasi, atau memberikan penjelasan yang benar, Sabrina sudah menimpali, “Iya, aku juga punya teman-teman kuliah yang kayak kamu. It’s okay, jaman sekarang kan gay udah biasa ya.”
Saya merasa seperti orang tenggelam. Dengan susah-payah saya mencoba bicara. “Tunggu, tunggu. Aku ini cowok normal! Maksudku… aku bukan gay!”
Kali ini Sabrina menatap saya dengan pandangan kasihan, sementara Amelia semakin cekikikan. Dan meski sudah sekuat tenaga saya mencoba menjelaskan pada Sabrina bahwa saya benar-benar cowok normal—DAN BUKAN GAY—dia tetap saja tak percaya. Sepertinya, koleksi majalah saya sudah cukup dijadikan sebagai barang bukti untuk membenarkan diagnosisnya yang membabi-buta.
Yang paling dodol dalam adegan bodoh ini tentu saja Amelia. Dia tahu benar kalau saya cowok normal. Tetapi bukannya meluruskan pemikiran sepupunya yang keliru, dia malah mengompori dan semakin menguatkan asumsi itu dengan komentar-komentarnya yang tak beradab. Dan saya benar-benar bingung menjelaskan kenormalan saya kepada Sabrina, karena baru kali itulah saya dituduh gay.
Ketika akhirnya dua cewek aneh itu pulang, saya tertegun sendirian di ruang perpustakaan dan memandangi majalah-majalah sialan itu. Well, saya tahu Cosmopolitan ataupun Bazaar ditujukan untuk pembaca wanita. Tetapi apa salahnya kalau saya yang cowok juga ikut membaca dan menikmatinya? Bagi saya, ini sama normalnya dengan cewek-cewek yang asyik menonton sepakbola, atau membaca majalah otomotif. Kenapa hanya karena membaca majalah-majalah itu kemudian saya dituduh tidak normal…???
Ponsel saya berdering, dan rupanya Amelia yang menelepon. Begitu saya menerima telepon itu, Amelia langsung memperdengarkan tawa setan yang penuh kepuasan. Sambil tertawa-tawa pula dia berkata, “Aku senang sekali melihat tampangmu tadi…!”
“Dodol!” maki saya dengan jengkel. “Kenapa nggak kamu jelasin aja ke sepupumu kalau dia udah salah sangka???”
Dengan suara tawa penuh kepuasan, Amelia menjawab, “Udah nggak bisa, Da’. Sabrina udah benar-benar yakin kalau kamu emang gay. Huahahaaaa…!”
Semenjak itu, saya sudah mencoba menghubungi Sabrina, dan mencoba menjelaskan kalau dia sudah salah sangka. Tetapi, seperti yang dibilang Amelia, Sabrina sudah telanjur percaya pada asumsinya.
Jadi, Aunt Sabrina, saya sengaja menulis post ini untuk Aunt, dengan tujuan—sekali lagi—meyakinkan Aunt kalau saya benar-benar normal. Saya ulangi, SAYA BENAR-BENAR COWOK NORMAL, DAN BUKAN GAY. Kalau saya suka membaca majalah-majalah tertentu, itu hanya karena didasari kesukaan semata-mata, tanpa dilandasi kecenderungan atau orientasi seksual yang berbeda. Kalau penjelasan ini tetap sulit untuk dipercaya, well, bagaimana kalau Aunt buktikan saja kenormalan saya…???
*Ditulis sambil dongkol di hari Minggu
Kisah bodoh ini diawali dengan telepon di pagi hari Minggu—telepon kurang ajar yang membangunkan tidur lelap saya beserta mimpi indah di dalamnya. Telepon itu datang dari Amelia, sohib saya, yang langsung saja nyerocos dengan tanpa dosa, “Da’, kakak sepupuku kan lagi perlu bikin tesis, ya. Dia lagi butuh beberapa buku buat referensi. Bisa nggak, kalau kakak sepupuku pinjam buku-bukumu?”
Sambil menguap ngantuk saya menjawab, “Kakak sepupumu itu, cowok apa cewek?”
“Cewek,” jawab Amelia.
“Kalau begitu oke, bisa.” Dalam hati saya berharap semoga kakak sepupu Amelia ini masih jomblo, mirip Manohara, dan sedang mengharapkan seorang pacar. Well, orang berharap kan sah-sah saja?
“Ya udah,” sahut Amelia. “Ntar siang kami ke rumahmu ya.”
Saya menjawab, “Ya,” kemudian tidur lagi.
Siang harinya, selepas dhuhur, Amelia benar-benar datang ke rumah saya. Ketika membukakan pintu untuk mereka, saya tertegun. Cewek yang bersama Amelia siang itu benar-benar tepat seperti yang saya harapkan. Dia mirip Manohara. Soal apakah dia lagi jomblo atau tidak, saya tidak tahu. Tapi dia mirip Manohara—itu yang penting.
“Jadi, ini kakak sepupuku yang kubilang itu,” kata Amelia memperkenalkan sepupunya. “Namanya Sabrina.”
Dalam bayangan saya, si Sabrina ini mungkin usianya tak jauh beda dengan saya, hanya saja dia mengesankan kepribadian yang kuat, dan memancarkan semacam aura yang membuat cowok jadi grogi. Setidaknya, itulah yang saya rasakan. Jadi dengan grogi pula saya menyambut perkenalan itu.
Lalu, setelah ngobrol basa-basi sejenak, saya pun mengajak mereka ke ruang perpustakaan di rumah saya, agar Sabrina bisa leluasa memilih buku-buku yang diperlukannya. Dan di perpustakaan itulah kisah bodoh ini terjadi….
Perpustakaan saya terbagi dalam tiga rak besar. Rak pertama berisi buku-buku fiksi atau novel, rak kedua berisi buku-buku ilmiah atau nonfiksi, sedang rak ketiga berisi majalah-majalah yang saya sukai—Cosmopolitan, Reader Digest, dan lain-lain.
Sambil memilih-milih buku, kami ngobrol-ngobrol dengan asyik, dan saya pun mulai akrab dengan Sabrina. Dan waktu berjalan tanpa terasa, dan diam-diam saya melamunkan Sabrina yang mirip Manohara ini memang lagi jomblo, dan sedang mengharapkan seorang pacar, dan…
“Koleksi majalahmu lengkap ya,” ujar Sabrina membuyarkan lamunan saya.
“Uh…yeah, lumayan,” jawab saya dengan gugup.
Sabrina menatap saya dengan tatapan seorang dokter yang sedang menghadapi pasien, kemudian berkata dengan hati-hati, “Boleh tahu nggak, sejak kapan kamu menyadari kalau… hmm, kalau kamu seperti itu…?”
“Kalau… kalau aku seperti apa…?” Saya menatapnya dengan tampang idiot. Saya benar-benar tidak paham dengan yang dimaksudkannya.
“Maaf, aku nggak bermaksud menyinggung perasaanmu. Kupikir kamu….”
Saya semakin tidak paham. Buru-buru saya memotong, “Nggak, aku nggak tersinggung. Cuma, aku nggak paham….”
“It’s okay, aku cuma ingin mastiin aja, kok. Kupikir itu bukan masalah, ya.”
Saya semakin tidak paham maksud pembicaraan ini. Sepertinya saya tidak sedang berbicara dengan bahasa Bumi, atau karena memang otak saya tiba-tiba lenyap entah kemana.
“Jadi, maksudnya gimana, Sab?” tanya saya dengan bingung.
“Yah, melihat koleksi majalahmu,” ujar Sabrina dengan tatapan dokter-yang-sedang-mendiagnosa-pasiennya, “Cosmopolitan, Glamour, Parade, Bazaar….”
“Ya…?” Tiba-tiba saya berdebar-debar. “Itu… itu menyimpulkan apa…?”
“Sangat jelas, kan?” sahut Sabrina—kali ini dengan tampang sotoy. “Itu kenapa tadi aku nanya ke kamu, sejak kapan kamu menyadari kalau kamu gay.”
“HAAAHH…???” Rasanya saya mau pingsan. Tiba-tiba bibir saya kering hingga tak bisa berucap apa-apa. Saya gay…??? Omigod! Dan diagnosis yang tidak beradab itu hanya didasarkan pada majalah-majalah yang saya baca…??? Apa salahnya kalau cowok membaca Cosmopolitan…??? Apa salahnya cowok membaca Glamour dan Bazar…???
Amelia yang melihat saya panik dan tak bisa bicara seperti itu malah tampak cekikikan. Dengan biadabnya dia malah menambahi tuduhan itu dengan berkata pada Sabrina, “Hoeda tuh emang suka malu-malu gitu, Sab.” Kemudian dengan tampang yang sama biadabnya dia berkata pada saya, “Kamu nggak perlu malu sama Sabrina, Da’—dia juga punya teman-teman kayak kamu, kok.”
Dan sebelum saya sempat menjawab, mengklarifikasi, atau memberikan penjelasan yang benar, Sabrina sudah menimpali, “Iya, aku juga punya teman-teman kuliah yang kayak kamu. It’s okay, jaman sekarang kan gay udah biasa ya.”
Saya merasa seperti orang tenggelam. Dengan susah-payah saya mencoba bicara. “Tunggu, tunggu. Aku ini cowok normal! Maksudku… aku bukan gay!”
Kali ini Sabrina menatap saya dengan pandangan kasihan, sementara Amelia semakin cekikikan. Dan meski sudah sekuat tenaga saya mencoba menjelaskan pada Sabrina bahwa saya benar-benar cowok normal—DAN BUKAN GAY—dia tetap saja tak percaya. Sepertinya, koleksi majalah saya sudah cukup dijadikan sebagai barang bukti untuk membenarkan diagnosisnya yang membabi-buta.
Yang paling dodol dalam adegan bodoh ini tentu saja Amelia. Dia tahu benar kalau saya cowok normal. Tetapi bukannya meluruskan pemikiran sepupunya yang keliru, dia malah mengompori dan semakin menguatkan asumsi itu dengan komentar-komentarnya yang tak beradab. Dan saya benar-benar bingung menjelaskan kenormalan saya kepada Sabrina, karena baru kali itulah saya dituduh gay.
Ketika akhirnya dua cewek aneh itu pulang, saya tertegun sendirian di ruang perpustakaan dan memandangi majalah-majalah sialan itu. Well, saya tahu Cosmopolitan ataupun Bazaar ditujukan untuk pembaca wanita. Tetapi apa salahnya kalau saya yang cowok juga ikut membaca dan menikmatinya? Bagi saya, ini sama normalnya dengan cewek-cewek yang asyik menonton sepakbola, atau membaca majalah otomotif. Kenapa hanya karena membaca majalah-majalah itu kemudian saya dituduh tidak normal…???
Ponsel saya berdering, dan rupanya Amelia yang menelepon. Begitu saya menerima telepon itu, Amelia langsung memperdengarkan tawa setan yang penuh kepuasan. Sambil tertawa-tawa pula dia berkata, “Aku senang sekali melihat tampangmu tadi…!”
“Dodol!” maki saya dengan jengkel. “Kenapa nggak kamu jelasin aja ke sepupumu kalau dia udah salah sangka???”
Dengan suara tawa penuh kepuasan, Amelia menjawab, “Udah nggak bisa, Da’. Sabrina udah benar-benar yakin kalau kamu emang gay. Huahahaaaa…!”
Semenjak itu, saya sudah mencoba menghubungi Sabrina, dan mencoba menjelaskan kalau dia sudah salah sangka. Tetapi, seperti yang dibilang Amelia, Sabrina sudah telanjur percaya pada asumsinya.
Jadi, Aunt Sabrina, saya sengaja menulis post ini untuk Aunt, dengan tujuan—sekali lagi—meyakinkan Aunt kalau saya benar-benar normal. Saya ulangi, SAYA BENAR-BENAR COWOK NORMAL, DAN BUKAN GAY. Kalau saya suka membaca majalah-majalah tertentu, itu hanya karena didasari kesukaan semata-mata, tanpa dilandasi kecenderungan atau orientasi seksual yang berbeda. Kalau penjelasan ini tetap sulit untuk dipercaya, well, bagaimana kalau Aunt buktikan saja kenormalan saya…???
*Ditulis sambil dongkol di hari Minggu