Hidup adalah rentetan tumbukan dengan masa depan.
Ini bukan merupakan ringkasan tentang apa yang telah terjadi,
tetapi tentang apa yang kita rindukan.
—Jose Ortega y Gasset
Ini bukan merupakan ringkasan tentang apa yang telah terjadi,
tetapi tentang apa yang kita rindukan.
—Jose Ortega y Gasset
Pernahkah kita menyadari bahwa kenyataan itu lebih indah untuk dihayati daripada mimpi yang paling indah? Pernahkah kita merenungkan bahwa sepotong ubi dalam kenyataan itu lebih nikmat dan lebih lezat dibanding seporsi roti dalam mimpi? Pernahkah kita membayangkan bahwa menjadi diri sendiri yang sejati itu lebih hebat dan lebih bermartabat dibanding menjadi orang lain tapi hanya dalam impian dan angan-angan?
Ada banyak mimpi yang pernah kita bangun. Ada banyak angan yang pernah kita rajut. Ada banyak cahaya yang pernah ingin kita nyalakan. Itu semua adalah bagian dari harapan, bagian dari cita-cita dalam perjalanan hidup. Itu semua memang perlu bahkan wajib kita miliki, karena di situlah hakikat perbedaan antara manusia dengan yang bukan manusia.
Tetapi bahwa kita hidup di alam kenyataan dan bukan dalam impian, itu juga perlu, bahkan sangat perlu, disadari sepenuhnya. Kehidupan adalah kenyataan, meski di dalamnya ada begitu banyak impian dan angan-angan. Kita memang berharap untuk menembus langit, tetapi kita pun tak bisa melupakan bahwa setiap hari kita menginjak bumi.
Keinginan dan kenyataan adalah rentang yang meletakkan manusia untuk berada di tengah-tengahnya; menikmati kenyataan, sekaligus membangun keinginan. Eksistensi kehidupan manusia akan terus-menerus berada di situ, di tengah-tengah kenyataan dan harapan, di pusaran realitas dan impiannya. Kapan pun, ketika manusia sudah keluar dari situ, maka kehidupannya pun telah selesai. Tamatnya kehidupan manusia ketika dia sudah keluar dari kenyataan dan impian bukan saja berbentuk kematian fisiknya, tetapi juga bisa berbentuk kematian kemanusiaannya.
‘Kematian kemanusiaan’ inilah yang sering kali tidak disadari oleh manusianya sendiri, meski sebenarnya itu lebih menyedihkan dibanding kematian fisiknya. Tak ada yang lebih menyedihkan dibanding kematian ketika manusia masih hidup, karena hakikat kematian yang sesungguhnya sebenarnya bukan kematian fisik, melainkan adanya sesuatu yang mati dalam diri kita selagi kita masih hidup.
Dan apakah kehidupan itu...?
Para nabi, para filsuf, dan orang-orang bijaksana mengajarkan bahwa kehidupan adalah kesadaran. Hanya orang sadarlah yang bisa menikmati kehidupan, karena eksistensi kehidupan ada di dalam kesadaran. Orang-orang mabuk, orang-orang tidur, orang-orang yang panca inderanya tertutupi kabut hingga tak bisa melihat, mendengar, dan merasa, juga tidak bisa menikmati kehidupan. Sekali lagi, kehidupan adalah kesadaran, dan di dalam kesadaranlah kita akan benar-benar hidup. Syarat mutlak untuk bisa menikmati dan menghayati kehidupan adalah memiliki kesadaran!
Lalu apakah kesadaran itu?
Kesadaran adalah kemampuan untuk membedakan mana yang berwujud dan mana yang fatamorgana. Kesadaran adalah keyakinan untuk bisa menentukan jalan dan nilai yang tak menyesatkan, kesadaran adalah kearifan untuk memilih tersenyum atau menangis dalam setiap bagian waktu kehidupan. Kesadaran adalah kemampuan untuk membedakan mana yang asli dan mana yang imitasi, mana kenyataan dan mana keinginan, mana realitas dan mana mimpi-mimpi. Kesadaran adalah akar kehidupan, sebagaimana kehidupan adalah buah kesadaran.
Tetapi, berapa banyak dari kita yang benar-benar sadar dalam kehidupan ini? Berapa banyak dari kita yang menyadari bahwa ketika kita tersenyum dan tertawa, ada sesuatu di dalam diri kita yang patut kita tangisi?
Kebanyakan dari kita lebih memilih untuk hidup dalam mimpi, daripada bangun dan menghadapi kenyataan. Kebanyakan dari kita lebih memilih untuk dibuai lagu-lagu indah dalam impian, daripada menghadapi kenyataan. Dan sebagai konsekuensinya, kita pun memilih untuk tetap tidur dan meneruskan perjalanan impian yang tak berwujud. Kita menjadi pengecut ketika membuka mata dan melihat kenyataan yang menakutkan, hingga kita pun memilih untuk meneruskan tidur untuk menjemput pelukan bidadari dalam ketidaksadaran.
Dan ketika sesuatu atau seseorang membangunkan kita, ketika ada sesuatu yang memaksa kita untuk membuka mata, kita pun menjadi marah dan tak terima. Naifnya, kemarahan kita bukan karena mimpi indah kita terganggu, tetapi karena kita sangat takut menghadapi kenyataan saat terbangun.
Kenyataan paling purba dalam dasar diri manusia adalah ketakutannya yang luar biasa terhadap kenyataan.