Rabu, 16 Juni 2010

Ozzy Osbourne dan Gigi yang Jelek

Kecantikan adalah bagaimana kita merasakan di dalam, dan itu terpantul
di mata kita. Kecantikan bukan sesuatu yang fisikal.
Sophia Lorenz

Kau bisa katakan aku bahagia atau tidak, dari melihat tubuhku.
Christy Turlington


Coba tebak, siapakah orang terkenal yang memiliki gigi paling jelek di dunia? Jika ditanyakan pada orang Inggris, mereka akan menjawab, “Ozzy Osbourne”. Ya, Ozzy Osbourne yang dimaksud di sini adalah rocker anggota Black Sabbath yang terkenal itu.

Kenyataan itu sesungguhnya bukan karena Ozzy jarang sikat gigi sehingga tampilan giginya kurang sedap dipandang, melainkan karena seringnya mengkonsumsi minuman keras dengan alkohol dosis tinggi, sehingga mempengaruhi kesehatan giginya.

Sebuah survei dilakukan oleh suatu perusahaan pasta gigi di Inggris, untuk mengumpulkan nama-nama terkenal sebagai “pemilik gigi terbaik” dan “pemilik gigi terjelek”. Hasilnya, nama Ozzy Osbourne menempati peringkat pertama sebagai pemilik gigi terjelek, kemudian tempat di bawahnya secara berurutan ditempati Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Presiden Amerika George W. Bush, artis Tory Stalwart, Ann Widgecombe, Gareth Gates, sampai desainer terkenal Vivienne Westwood.

Lalu siapa yang masuk dalam daftar pemilik gigi terbaik? Ternyata, peringkat pertama ditempati oleh Pierce Brosnan, mantan pemeran James Bond, kemudian tempat di bawahnya ditempati Elizabeth Hurley.

Tidak pernah jelas bagaimana respon orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar survei aneh itu. Tetapi, gara-gara survei itu, saya jadi semakin yakin bahwa menjadi orang terkenal itu sangat menekan—kita tidak bisa bebas menjalani hidup jika terkenal, karena (ternyata) orang-orang akan memperhatikan kita, bagian per bagian, sehingga kita akan menjalani hidup dengan tidak wajar.

Ada orang terkenal yang setiap kali tampil di muka umum sepertinya tak bisa terlihat wajar. Gerak tubuhnya diusahakan sebagus mungkin, ucapannya diusahakan sebaik mungkin, bahkan senyum dan tawanya pun ia usahakan sesopan mungkin. Barangkali hal semacam itu baik-baik saja, tetapi orang ini jadi terlihat sangat tidak wajar—tidak manusiawi. Dan kenyataan semacam itu kemungkinan besar terjadi karena orang terkenal ini sangat sadar diri. Dia terlalu sadar bahwa dirinya terkenal, dan dia meyakini bahwa orang-orang akan menilai dirinya secara bagian per bagian.

Dinilai secara bagian per bagian—inilah kutukan bagi setiap orang terkenal. Padahal, manusia adalah makhluk yang utuh, dalam arti tak bisa dinilai secara bagian per bagian seperti itu. Sangat tidak adil jika seseorang dinilai secara bagian per bagian, karena tidak ada orang yang sempurna—kelebihan selalu disertai kekurangan. Jika fokus penilaian hanya ditujukan pada kelebihannya, kita akan menciptakan berhala. Sedang jika fokus penilaian hanya difokuskan pada kekurangannya, maka kita sedang menilai manusia secara tidak semestinya.

Manusia adalah makhluk yang utuh—ia harus dinilai sebagai manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya secara adil. Tetapi di sinilah masalahnya ketika orang menilai artis atau orang yang terkenal. Sering kali, pandangan terhadap ‘kemanusiaan’ mereka sangat tidak objektif (untuk tidak menyatakan subjektif). Padahal, seterkenal atau sepopuler apa pun, artis atau siapa pun, tetap saja manusia—lengkap dengan segala unsurnya.

Ketika seseorang memiliki kekurangan tertentu, fokus penilaian tidak bisa hanya terhadap kekurangannya. Itu penilaian yang tidak adil—karena kekurangan itu toh pasti dibarengi kelebihan. Bahkan ketika seseorang melakukan tindakan buruk sekalipun, sering kali tindakan itu hanyalah satu bagian dari sekian banyak tindakan lain yang pernah dilakukannya, yang selalu saja tersimpan tindak kebaikan di dalamnya.

Tetapi kenyataan semacam itu sering kali tak terjadi jika yang dinilai adalah artis atau orang terkenal. Mereka sering kali diciptakan untuk menjadi berhala atau menjadi tempat sampah di mana orang melemparkan caci keburukan. Ketika seorang artis disebut memiliki suatu kelebihan, maka semua kekurangannya pun jadi tidak kelihatan. Begitu pun, ketika seorang artis melakukan suatu kekeliruan, semua kebaikan yang pernah dilakukannya pun jadi terlupakan.

Sepertinya, terlepas dari semuanya itu, artis adalah objek yang bagus dalam belajar tentang manusia—mereka adalah contoh nyata dari rahasia-rahasia yang tersimpan dalam tumpukan buku-buku lusuh psikologi purbakala.

 
;