“Kopi ini sepertinya kurang manis. Kau mau tambah gula?”
“No, thanks. Jadi, itu yang menjadi dasar pikiranmu mengapa kau memilih untuk tidak mengikuti mereka?”
“Ya, dan kuharap aku menjatuhkan pilihan yang tepat.”
“So, apa yang merisaukanmu sekarang? Kudengar kau perlu menceritakan sesuatu yang baru kau alami?”
“Yeah...”
“Kau terlihat ragu-ragu...”
“Aku boleh menyulut rokokku dulu?”
....
....
“Bro, kau tahu, kau tidak harus menceritakannya jika kau mau. Uh, maksudku, aku tetap akan menemanimu di sini—tanpa kau harus menceritakannya.”
“Tidak, pal, tidak. Aku percaya kepadamu—dan karena itulah aku merasa perlu menceritakannya kepadamu. Ini tentang rasa itu—ether itu.”
“At...”
“Tunggu, bagaimana kalau kita sebut itu Cube—meminjam analoginya Transformer?”
“Hahaha...! Kau memang punya selera humor yang sinting!”
“Aku tersanjung. So, kau setuju kalau itu disebut, kau tahu, Cube...?”
“Kau benar-benar sinting, bro! Baiklah, aku mendengarkan...”
“Penulis kisah Transformer itu jenius, kau tahu. Dia menciptakan analogi yang benar-benar tepat—Cube. Cube, campuran si keparat dan si malaikat. Kau bisa menjadikannya kekuatan pembangun, atau iblis perusak. Dan si Transformer jenius itu benar—Cube menjadi biang masalah, akar peperangan.”
“Tapi si baik menjadi pemenang, kan?”
“Karena Hollywood tak ingin ditinggal penontonnya! Dalam dunia nyata, Cube dipeluk oleh para pecundang. Ia menjadi bianglala perayu yang menjerumuskan banyak manusia menjadi tahanan, menjadi orang-orang yang kehilangan jiwanya. Kemarin, pengalaman itulah yang kualami, yang sekarang ingin kuceritakan kepadamu.”
“Ada apa dengan Cube...?”
“Well, aku sudah menempuh perjalanan yang jauh—cukup jauh, kemarin—karena kupikir akan menemukan bentuk Cube yang berbeda dan aku ingin membuktikan bahwa keyakinanku memang salah. You know, kau tak bisa yakin dengan tesa apapun sebelum ia menghadapi antitesa dan kemudian melahirkan sintesa—dan tepat seperti itulah yang kulakukan kemarin. Aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa aku salah, agar aku bisa menemukan kebenaran atau hal lain yang lebih benar dari tesa yang kuyakini kebenarannya.”
“So...?”
“Hell, aku keliru. Bukannya mendapatkan antitesa yang akan mengubah persepsiku, aku justru menemukan tepat seperti yang kupahami, yang kuyakini. Aku ingin jujur kepadamu, bahwa kemarin itu sesungguhnya aku sudah merasa keliru dan berpikir akan menemukan kebenaran—tetapi ternyata aku sudah benar, setidaknya pengalaman kemarin itu menyatakannya demikian. Kau tahu bagaimana aku. Untuk mendapatkan jawaban yang kucari, aku tak peduli berapa jauh yang harus kutempuh, berapa banyak yang harus kukorbankan. Aku telah menempuh jarak yang jauh, aku sudah berkorban cukup banyak. Tetapi jawabannya tetap saja tak berubah. Cube hanya jebakan—perangkap yang telah memangsa orang-orang tak berjiwa untuk semakin kehilangan jiwanya.”
“Aku jadi seperti mendengar kisah tentang perjanjian dengan iblis...?”
“Hahaha! Kau benar—itu semacam perjanjian dengan iblis, right! Sekali kau menandatangani perjanjiannya, kau tak bisa melepaskan diri darinya. Oh, rokokku mati. Bisa tolong ambilkan geretan itu?”
“Bro, kau sepertinya perlu mengurangi rokokmu...”
“Oh ya? Aku tak bisa membayangkan bagaimana suramnya hidup ini tanpa rokok. Bercakap-cakap denganmu, menikmati kepulan asap rokok dengan sepoci kopi...kau tahu, kupikir orgasme itu seperti ini.”
“Kau memang punya selera humor yang aneh!”
“Dan kau selalu bisa memahamiku.”
“Jadi, kemarin kau telah menemukan sintesa tanpa antitesa?”
“Aku tak berani menyatakannya seperti itu. Sejauh sebuah tesa belum menghadapi antitesa, ia tidak dapat menjadi sintesa—belum. Jadi, yang kudapatkan kemarin itu hanya semacam penegasan pada persepsiku, terlepas dari apakah itu benar atau tidak.”
“Dan apa yang kau yakini?”
“Jawabannya sama dengan penemuan ilmiah mana pun. Selama satu hukum persepsi belum diruntuhkan oleh penemuan baru yang dianggap benar atau lebih benar, ia masih dapat dianggap sebagai kebenaran.”
“Bagaimana dengan suara mayoritas?”
“Suara mayoritas yang mana? Jangan lupakan objek pembicaraan kita. Kalau kita ada dalam kegelapan, suara mayoritas akan menyatakan keadaan yang gelap, tetapi kau tak akan mau menerima persepsi itu jika kau memegang lilin.”
“Jadi, kembali lagi pada kondisi keterjebakan, eh?”
“Ya, selalu saja akar masalahnya di situ—kondisi keterjebakan. Kita merasa kasihan pada orang-orang itu—di satu sisi. Tetapi di sisi lain, kita tak bisa merasa kasihan, mengingat nafsu mereka untuk menjerumuskan kita ke dalam jebakan yang sama agar kita sama nilainya seperti mereka.”
“Aku jadi ingat pada syair Ronggowarsito.”
“Senang kalau kau mengingat dia pada objek yang tepat seperti ini. Ronggowarsito sangat tepat ketika mengatakan bahwa kumpulan orang-orang gila selalu menganggap orang-orang yang waras sebagai gila, dan satu-satunya jalan untuk dapat menjadi bagian dari kaum mayoritas adalah dengan ikut-ikutan menjadi gila. Dalam konteksnya sekarang, pihak mayoritas dimiliki—atau lebih tepatnya dikuasai—oleh orang-orang yang terjebak. Karenanya, satu-satunya jalan untuk ikut menjadi bagian dari mayoritas saat ini adalah dengan ikut menjadi korban yang terjebak.”
“Tetapi, bro, jika memang seperti itu kenyataannya, mengapa harus ada Cube—meminjam istilah yang kau gunakan? Mengapa harus ada jebakan yang dipasang...?”
“Sekarang ijinkan aku mengutip Shakespearre. Dalam ‘Hamlet’, Shakespearre berteriak lantang, ‘Alangkah tidak sempurnanya...!’ Bukankah begitu? Alangkah tidak sempurnanya—tetapi orang-orang tidak percaya pada Hamlet, pada Shakespearre!”
“Hahaha, kau benar-benar licik, kau tahu!”
“Selicik jebakan itu, pal—you know, tak ada yang lebih licik dan lebih licin dibanding Cube itu—jebakan itu. Aku hanya mengikuti permainan mereka. Nah, nah, sepertinya kopinya perlu ditambah...?”
“Bro, sobat, tidakkah kau pernah memikirkan untuk menyatakan kenyataan ini kepada orang-orang yang kau sayangi?”
“Itulah kenapa aku sekarang mengatakannya kepadamu, pal.”
“Hm...maksudku, kepada orang-orang lain, well, mungkin pada orang-orang terdekatmu yang lain...”
“I did, tapi bagaimana mereka mau mendengarku jika aku menjadi bagian suara yang minor? Tidak, tidak, akan lebih baik jika aku hanya diam saja, atau hanya membicarakannya denganmu seperti ini, tanpa harus buang-buang energi, pikiran dan waktu, untuk memberitahu mereka. Biarlah orang menemukan jalan kebenarannya sendiri-sendiri—tesisnya sendiri-sendiri. Aku menemukannya dengan jalan menghindari jebakan, sementara mereka menemukannya dengan jalan menjadi korban. Pada akhirnya, kata Socrates, setiap orang akan sampai pada kesimpulan akhir, bahwa sesungguhnya kita semua tidak tahu apa-apa...”
“Tetapi, bro, kalau memang begitu kenyataannya, mengapa harus ada Cube—harus ada perangkap dan jebakan? Kau sadar, kau sekarang membawaku kepada inti kebingungan?”
“Manusia berpikir, Tuhan tertawa. Siapa yang pernah mengatakan itu...?”
“Kau...?”
“Hahaha...! I love you, pal—dan apa kata Descartes?”
“Cogito, ergo sum—Aku berpikir, maka aku ada?”
“Di situlah inti semuanya. Berpikir untuk mengada. Hanya saja berpikir itu pekerjaan manusia, sementara tidak setiap orang ingin menjadi manusia, atau tidak siap menjadi manusia, atau merasa berat menjadi manusia.”
“Cogito...”
“Yeah...!”