Senin, 21 Juni 2010

Nyala Api di Lembar Buku

Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis
seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah—
dan aku akan dapati bahwa darah itu roh.
(Zarathustra)


Buku itu berjudul “Jalan Sunyi Seorang Penulis”, berisi semacam memoar perjalanan hidup penulisnya, Muhidin M. Dahlan. Di sampul depannya terdapat kata-kata ini, “Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia; bila kalian memilih jalan sunyi ini maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”

Muhidin M. Dahlan benar-benar melakukan apa yang tertulis di sampul bukunya itu. Dalam dunia nyatanya sebagai seorang penulis sekaligus pecinta buku sejati, dia telah membuktikan bahwa dia memilih jalan sunyi menjadi penulis semata-mata karena keinginan untuk menulis—dan tak peduli apa kata dunia.

Muhidin M. Dahlan adalah seorang pembelajar ulung, dan melalui proses pembelajaran yang tak kunjung henti itulah dia menuliskan hal-hal yang perlu diungkapkannya kepada masyarakat di luar dirinya. Dia menyampaikannya melalui artikel-artikel di media massa, juga melalui buku-buku yang ditulisnya. Jika artikel-artikelnya di media massa mungkin telah mengalami sensor hingga tak terlalu ‘panas’, maka buku-bukunya bagaikan nyala api yang membakar pembacanya.

Tahun 2003, dia menulis novel berjudul “Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur”—berkisah tentang seorang perempuan yang merasa kecewa dengan keyakinannya, dan kemudian mengajukan “protes” terhadap Tuhan dengan jalan menjadi pelacur. Sebuah novel memoar yang ditulis dengan bagus, penuh detail, serta memberikan semacam “teguran positif” kepada para pembacanya.

Tetapi novel yang bagus itu kemudian memicu kontroversi yang luar biasa. Orang-orang yang merasa dirinya “alim” segera saja menghujat novel ini habis-habisan, bahkan menganggap si penulis adalah “orang kafir”. Tetapi penghujatan atas buku itu beserta penulisnya tak ubahnya seperti hujatan “orang beragama” terhadap teori Galileo Galilei—hujatan percuma yang hanya menunjukkan kebodohan si penghujat.

Dan proses pembelajaran Muhidin M. Dahlan pun tak pernah berhenti hanya karena hujatan orang, hanya karena disalahpahami orang-orang yang tak mengerti. Selang beberapa waktu kemudian, dia kembali menulis buku lain, kali ini berjudul “Adam Hawa”—sebuah novel yang mempertanyakan validitas teori penciptaan manusia yang selama ini dimonopoli kitab suci.

Tak perlu disebutkan lagi, novel ini juga menuai “keributan”. Sebuah organisasi yang (mungkin) merasa dirinya “wakil Tuhan di muka bumi” segera saja mengeluarkan somasi yang menuduh novel ini sebagai bentuk penghujatan atas Tuhan, menodai sejarah Nabi Adam, sekaligus merusak akidah umat.

Tetapi, sekali lagi, proses pembelajaran dari seorang yang benar-benar mencintai buku dan ilmu pengetahuan tidak akan berhenti hanya karena orang lain beda pendapat atau keliru memahami, sebagaimana Copernicus tetap meyakini teorinya tentang bumi yang mengelilingi matahari, meski masyarakatnya menghujat penemuannya, meski nyawanya terancam karena dominasi suara massa.

Sebenarnya, kalau mau, Muhidin M. Dahlan pastilah mampu menulis buku-buku yang “lurus” atau novel-novel yang “manis” yang memiliki prospek pasar bagus sekaligus menjanjikan royalti yang lumayan besar. Tetapi dia telah memilih jalannya sendiri, jalan sunyi, tempat seseorang menulis hanya karena ingin menulis apa yang ingin ditulisnya.

Bukunya yang lain, yang juga memunculkan “keributan”, adalah “Lekra Tak Membakar Buku”—sebuah hasil riset yang luar biasa, wujud kerja keras penuh pengabdian dari seorang pembelajar. Tetapi buku ini pun membentur batu karang—pemerintah melarang buku ini beredar. Alangkah mahal harga yang harus ditebus oleh orang-orang yang ingin belajar.

Membaca buku-buku Muhidin M. Dahlan adalah membaca perjuangan seorang pahlawan buku, perjalanan hidup seorang pembelajar. Melalui spirit yang dituliskannya, buku-bukunya membakar jiwa para pembacanya untuk terus—dan semakin—mencintai buku, mengakrabi buku, menyetubuhi buku. Sungguh, negeri ini membutuhkan lebih banyak orang seperti dirinya—orang-orang yang mencintai buku dan proses belajar sebagai jalan hidup, orang-orang yang mau menyadari bahwa fajar dari saat kegelapan terletak di ambang langit pengetahuan dan kesadaran.

Karena kecintaan terhadap buku itu pulalah yang pastinya memotivasi Muhidin M. Dahlan untuk menjadi kerani di Indonesia Buku, sebuah situs yang khusus membahas buku dan informasi-informasi seputar buku. Sedang buku karyanya yang lain lagi, “Para Penggila Buku”, semakin menunjukkan sedekat apa hati orang ini kepada buku dan ilmu pengetahuan, juga semakin mempertegas posisinya sebagai orang yang benar-benar akrab dengan buku.

Hari ini saya membayangkan, di tengah hiruk-pikuk pinggir-pinggir jalan, di tengah keramaian mall dan swalayan, di tengah gelegar musik dan dering bising suara ponsel yang tak pernah berhenti, di tengah teriakan-teriakan radio dan televisi, ada orang-orang yang memilih tempat yang sunyi—hanya bersama buku, sesuatu yang dicintai. Hanya bersama buku, dan dunia sudah terasa penuh terisi.

Hari ini saya membayangkan, di tengah sibuk-busuknya para pejabat mencari celah untuk korupsi, di tengah tumbuh suburnya budaya manipulasi, di tengah kerasnya hidup dalam alam kapitalisme yang semakin meracuni, ada orang-orang yang mau menyisih ke tempat sunyi—hanya bersama buku, tangga kecil menuju kesadaran diri. Hanya bersama buku, mencari jawab pertanyaan penting dari hati. Hanya bersama buku, mencari-cari dan meraba tangan Ilahi.

Hari ini saya ingin menyampaikan, kepada Muhidin M. Dahlan, juga kepada Muhidin-Muhidin lain di seluruh dunia—Tuhan memberkati kalian.

Dan sekarang, di sini, saya ingin mengajak kita semua untuk berdoa kepada Tuhan, semoga kelak di surga terdapat ruang perpustakaan, tempat kita semua dapat bebas-tanpa-batas menikmati keasyikan dan kenikmatan belajar…

 
;