Pengetahuan merupakan mata segala hasrat
dan penunjuk jalan bagi jiwa.
—Will Durant
dan penunjuk jalan bagi jiwa.
—Will Durant
Penulis besar Inggris asal Irlandia, Oscar Wilde, menulis dua buah kata yang kemudian menjadi sangat terkenal di dunia. Dua buah kata itu adalah, “Siapakah aku?”
Bukan hanya menjadi terkenal, kedua kata itu bahkan menjadi ungkapan atau semboyan kaum eksistensialis yang memaksa kita untuk menjadi diri sendiri atau tidak sama sekali. Bagi Oscar Wilde, bisa menjawab pertanyaan itu ataukah tidak bukanlah hal penting, karena akhirnya yang ia dapat tetaplah tragedi.
Jika merujuk pada kisah hidup Oscar Wilde sendiri, tragedi dalam hidup ini akan terjadi ketika seseorang tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, atau ketika ia mendapatkannya.
Oscar Wilde, seperti yang kita tahu, adalah penulis yang sangat cemerlang. Di balik penampilannya yang flamboyan, setiap orang tahu bahwa lelaki ini bukan orang sembarangan. Kata-kata yang ditulisnya telah mempengaruhi begitu banyak orang di dunia—dan ada beribu-ribu anak muda yang memujanya.
Di puncak kejayaannya, Oscar Wilde menikah dengan Constance Lloyd, seorang perempuan cantik, dan dari perkawinan mereka kemudian lahir dua orang anak laki-laki. Dilihat dari luar, kehidupan Wilde adalah kehidupan yang sempurna. Sebagai lelaki, dia telah memiliki segala-galanya—istri cantik yang sangat mencintainya, anak-anak yang manis, kehidupan yang mewah, nama yang semakin terkenal. Tetapi, di dalam perkawinan itu, Oscar Wilde maupun istrinya sama-sama tidak merasakan kebahagiaan.
Apa yang sesungguhnya terjadi…? Pada awalnya, baik Wilde maupun istrinya tidak memahami apa yang menjadi masalah dalam hubungan mereka sehingga tidak tercipta perasaan tenteram yang mendamaikan. Sampai kemudian, Robert Ross, seorang kawan Wilde, menginap di rumahnya—dan si Robert Ross inilah yang kemudian mengungkapkan apa sesungguhnya yang menjadi sumber ketidakbahagiaan rumah tangga Wilde.
“Masalahmu, Wilde,” kata Robert Ross, “adalah karena kau tidak bisa mencintai wanita.”
Oscar Wilde mengakui, pada awalnya hanya dalam hati, bahwa dia memang memiliki kecenderungan homoseksual yang telah ia rasakan semenjak SD. Tetapi Wilde selalu berusaha menepis pikirannya, dan mencoba hidup secara normal sebagaimana laki-laki pada umumnya. Tapi kecenderungan itu akhirnya keluar juga semenjak pertemuannya dengan Robert Ross, dan sejak itu pula Wilde mulai memasuki hidupnya yang baru—bergaul dengan para gay, menjalani kehidupan homoseksual.
Sampai pada suatu malam di tahun 1892, ketika Wilde sedang bahagia karena pementasan karyanya yang gemilang, dia dikenalkan dengan seorang lelaki tampan lulusan Oxford bernama Lord Alfred Douglas. Putra bangsawan kaya-raya Inggris ini memiliki nama panggilan ‘Bosie’, dan si Bosie inilah yang semakin membawa Wilde ke dalam kehidupan homoseksual yang semakin jauh. Bosie sangat cerdas serta penuh gairah—dan itu menjadikan Wilde ‘mabuk kepayang’ kepadanya, sehingga ia pun mulai menelantarkan istri dan anak-anaknya.
Di dalam masyarakat anti-homoseksual di era Victoria, ditambah lagi dengan popularitas Oscar Wilde yang dihormati banyak kalangan, perilaku seks yang secara terang-terangan ditunjukkan Wilde pun menjadi bahan gunjingan yang kemudian menciptakan skandal. Puncaknya meledak ketika ayah Bosie, bangsawan tua Inggris yang ortodoks, mengetahui hubungan Wilde dengan anaknya. Dia berusaha agar Wilde menjauhi anaknya, tetapi rupanya dua lelaki itu telah saling jatuh cinta dan saling mabuk kepayang.
Maka ‘jalan kotor’ pun kemudian ditempuh oleh si bangsawan tua. Dia menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk menyingkirkan Wilde dengan cara yang licik, yakni dengan mengadukannya ke pengadilan, dengan tuduhan tulisan-tulisan dan perilaku Oscar Wilde telah meracuni dan merusak moral anak-anak muda.
Kisah yang kemudian terjadi di pengadilan mirip dengan adegan novel-novel John Grisham. Dengan kehebatan kata-kata serta kemampuannya berbicara, Oscar Wilde menyihir seisi ruang pengadilan dengan mencurahkan perasaan-perasaannya—suatu rasa cinta yang masih sulit diterima oleh masyarakatnya, namun benar-benar ia rasakan. Pihak pengadilan merasa tersentuh dengan semua yang dikatakan Wilde, tetapi ‘demi kepantasan moral’, Wilde pun divonis dua tahun penjara.
Sampai di sini, kisah yang amat menyentuh adalah kisah kesetiaan Constance, istri Oscar Wilde. Ketika Wilde dijatuhi hukuman, masyarakat telah meminta agar Constance menceraikan Wilde karena dia tak bisa dianggap suami yang baik. Tetapi Constance menolak menceraikan Wilde, dia bahkan secara rutin mengunjungi suaminya di penjara, dan tetap mengasuh anak-anak mereka dengan baik.
Menyaksikan kesetiaan istrinya yang luar biasa, Wilde pun menyadari betapa besarnya kesalahan yang telah ia lakukan. Didorong oleh rasa penyesalan serta perasaan bersalah pada istrinya, Wilde kemudian menulis cerpen yang kelak menjadi cerita pendek yang abadi, berjudul ‘The Selfish Giant’. Lebih dari itu, Wilde pun berjanji tidak akan lagi berhubungan dengan Bosie, serta memperbaiki diri dan kehidupannya. Ia ingin kembali kepada istrinya.
Kalau saja ini cerita novel, tentunya kisah ini akan berakhir happy ending. Tetapi ini kisah hidup—dan Oscar Wilde sepertinya dilahirkan untuk menghayati tragedi. Sekeluar dari penjara, Wilde tak bisa menemui istrinya karena Constance telah meninggal dunia, sementara kedua anaknya telah diasuh oleh orang lain.
Didorong oleh rasa kesepian yang melandanya, Wilde pun melanggar janjinya sendiri. Ia kembali menemui Bosie, lelaki yang pernah mencintai dan dicintainya, dan mereka pun kembali hidup bersama sebagai sepasang kekasih. Tetapi, hidup selama dua tahun di penjara sambil menanggung beban penyesalan dan rasa bersalah telah menghancurkan kesehatan Wilde. Tepat ketika ia menginjak usia 46 tahun, Oscar Wilde pun menutup mata untuk selamanya.
Jadi, “Siapakah aku?”
Sepertinya, Oscar Wilde pun tidak mampu menjawabnya—karena dia tak kunjung menemukan siapakah dirinya sesungguhnya. Dan pertanyaan tentang “Siapakah aku?” sepertinya memang diguratkan dalam hidup Oscar Wilde untuk tidak ditemukan jawabannya, karena kemana pun ia mencari jawaban atas pertanyaan itu, yang ia dapatkan selalu saja tragedi.
Yang sulit, memang, bukanlah mencari sesuatu di luar diri—yang sulit adalah mencari sesuatu di dalam diri.