Rabu, 16 Juni 2010

Bagaimana Menyuguhkan Tulisan yang Baik



Di posting tentang menulis sebelumnya, kita sudah belajar tentang cara menulis yang baik, dan sekarang kita akan belajar tentang cara menyuguhkan tulisan yang baik. Menulis yang baik saja tidak cukup—kita juga harus tahu bagaimana cara menyuguhkan tulisan itu dengan sama baiknya. Karena, sebagaimana masakan, ada kalanya orang lain tidak doyan dengan suatu masakan tertentu, meski kita sangat menggemarinya.

Oke, kita gunakan lagi analogi masakan. Kalau kita memasak untuk diri sendiri, kita tentunya dapat meramu bumbu seperti apapun sesuai selera kita. Tetapi kalau kita memasak untuk orang lain, kita pun harus benar-benar memperhitungkan takaran bumbunya. Tidak setiap orang suka masakan yang terlalu pedas atau terlalu manis—meski mungkin kita menyukainya.

Ketika menulis untuk diri sendiri, kita berhak membuat tulisan yang seperti apapun, sesuai selera dan kehendak kita. Tulisan semacam ini biasanya ada di lembar-lembar buku diary yang akan kita baca sendiri. Di dalam diary, kita bisa menulis apa saja, dengan gaya seperti apa saja, bahkan tentang siapa saja yang kita inginkan. Kita bisa mencaci-maki jika ingin, bisa mendayu-dayu jika mau, kita pun bisa menyemburkan sumpah-serapah jika mungkin. Semuanya tidak masalah, karena hanya diri kita sendiri yang akan membacanya.

Tetapi, ketika menulis untuk dibaca orang lain, kita pun harus menyesuaikan diri dengan ‘selera’ orang lain. Artinya, kita harus mulai membatasi kecenderungan kita sendiri yang mungkin belum tentu sesuai dengan orang yang akan membaca tulisan kita.

Jangan salah paham dengan yang saya maksudkan. Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa kita harus menghilangkan diri sendiri sepenuhnya dalam tulisan hanya agar orang lain mau membacanya. Yang saya maksudkan, kita hanya perlu ‘bertenggang rasa’ dengan orang lain. Seperti yang disebutkan di atas, kita bisa menyemburkan sumpah-serapah sekasar apapun dalam tulisan—selama tulisan itu hanya akan kita baca sendiri. Tetapi jika tulisan itu juga akan dibaca oleh orang lain, sumpah-serapah itu barangkali akan melukai perasaan orang lain—atau setidaknya belum tentu sesuai dengan ‘selera’ pembaca.

Well, ini memang relatif. Yang kasar bagi seseorang memang belum tentu kasar pula bagi orang lain, sebagaimana yang baik bagi suatu golongan pun belum tentu baik pula bagi golongan yang lain. Eminem, misalnya, dia bisa menyemburkan caci-maki kepada siapapun melalui lagu-lagu yang dinyanyikannya—dan lagu-lagu itu didengarkan di seluruh dunia. Tetapi artis penyanyi di negeri kita, apakah mungkin bisa meniru Eminem? Mungkin bisa saja, tetapi apakah para pendengar lagunya dapat menerima…?

Sama halnya dengan menulis. Di Amerika, ada buku berjudul “Panduan Merakit Komputer untuk Orang Idiot”. Ada pula buku psikologi yang berjudul, “Psikologi Persuasi untuk Si Bodoh”. Lebih parah, ada buku manajemen berjudul, “Mengapa Orang Idiot dan Goblog Bisa Jadi Bos”.

Judul-judul semacam itu mungkin akan dianggap biasa di Amrik, tapi mungkinkah buku dengan judul semacam itu bisa terbit di Indonesia? Yang biasanya terjadi, judul-judul semacam itu mengalami ‘penghalusan bahasa’ ketika terbit di negara semacam Indonesia. “Panduan Merakit Komputer untuk Orang Idiot” bisa berubah menjadi “Panduan Merakit Komputer untuk Pemula”. Esensinya sama, tetapi caranya berbeda.

Jadi, kunci utama untuk bisa menyuguhkan tulisan yang baik adalah pengendalian diri dan kemampuan untuk dapat bertenggang rasa dengan orang lain.

Nah, kunci kedua untuk bisa menyuguhkan tulisan yang baik adalah dengan melihat siapa yang akan membaca tulisan kita. Di dalam dunia penerbitan, ada istilah yang disebut “segmen pembaca”. Yang dimaksud “segmen pembaca” ini adalah golongan yang disasar atau dituju oleh sebuah buku yang akan diterbitkan—dan segmen pembaca ini merupakan poin penting dari pertimbangan apakah sebuah buku layak terbit ataukah tidak.

Ada kalanya sebuah buku ditulis dengan sangat baik, mengangkat tema yang juga sedang tren, tetapi cara penulisannya mengalami kekeliruan—buku itu ditujukan untuk segmen pembaca remaja, tetapi ditulis dengan gaya bahasa yang berat dan sulit dicerna. Meskipun mungkin secara umum buku itu bisa dikatakan buku yang bagus, tetapi buku ini kurang dapat menyuguhkan tulisan yang baik—ditinjau dari segmen pembacanya.

Ketika menulis sesuatu, ingat-ingatlah siapa yang akan dituju oleh tulisan itu—siapa yang kau inginkan membaca tulisanmu. Kalau kau menujukan tulisanmu untuk para pembaca remaja, menulislah dengan bahasa yang mudah dipahami, minim istilah asing yang membingungkan, dan sebisa mungkin jelaskan apa saja dengan cara yang lugas tanpa melibatkan teori-teori tingkat tinggi—tak peduli setinggi apapun tingkat intelejensimu, tak peduli seluas apapun wawasan dan pengetahuanmu.

Sebaliknya, ketika menulis untuk orang dewasa atau menyasar orang-orang yang memang menginginkan bacaan ‘berisi’ sebagai segmen pembacamu, menulislah dengan matang dan dewasa. Artinya, hindari penjelasan yang terlalu remeh atau bertele-tele, atau menjelaskan sesuatu yang nyata-nyata telah diketahui oleh orang banyak. Lebih banyak pembaca—dalam segmen ini—yang akan merasa bosan bahkan jengkel jika merasa digurui. Karenanya, lebih baik menulis dengan asumsi para pembaca lebih pintar dari kita, daripada sebaliknya. Pembaca dalam segmen ini biasanya lebih suka mengerutkan keningnya daripada dianggap bodoh.

Satu resep lagi untuk bisa menyuguhkan tulisan yang baik adalah menulis dengan cinta. Tak peduli apakah kau menulis untuk pembaca remaja atau pembaca dewasa, para pembacamu akan tahu—akan merasakan—apakah kau menulis dengan perasaan cinta ataukah menulis dengan kebencian. Ketika seseorang menulis, ia mengalirkan emosi pribadinya melalui kata-kata yang dituliskannya. Karenanya, kalau kau menginginkan tulisanmu dapat dinikmati dengan perasaan senang oleh pembaca, menulislah dengan perasaan cinta—agar pembacamu juga dapat merasakan efek yang sama.

Ketika menulis, upayakanlah untuk selalu berpikir, “Aku menyukai pembacaku. Aku senang menulis ini untukmu.” Percayalah, niat baik yang diiringi dengan cinta yang tulus akan membuahkan hasil yang baik. Dalam proses menulis, cinta dan ketulusan juga akan menghadirkan tulisan yang baik—juga cinta yang sama tulusnya dari para pembacamu.


 
;