“Hei, pal, kemarilah. Aku perlu berbicara denganmu.”
“My brother, sobat, kau pasti sangat merindukanku, benar…?”
“Not really. Aku hanya…well, baru saja aku mengalami sesuatu yang sepertinya penting, dan aku ingin membaginya denganmu. Ayolah, kemari. Duduk dekatku.”
“Aku selalu ada untukmu, bro. Aku senang kedatanganku selalu punya arti untukmu. Aku di sini sekarang.”
“Nah, kau ingin minum apa? Kopi? Teh...? Atau soda?”
“Kau selalu memanjakanku.”
“Kau layak menerimanya. So, bagaimana kalau kopi?”
“Dan rokok, seperti biasa—itu selalu menjadi kawan yang menyenangkan saat kita begadang, dan berbicara...”
“Sure.”
“Kau kelihatan sangat kurus, bro—dan pucat.”
“Banyak yang mengatakan itu. Sepertinya berat badanku terus turun akhir-akhir ini. Terlihat sangat kurus, ya? Padahal aku tak terlalu merasakannya.”
“Kau perlu bercermin dengan lebih baik. Sepertinya kau juga terlihat jauh lebih tua dari terakhir kali aku melihatmu.”
“Well, sepertinya kau benar. Kemarin, saat bercukur, aku juga merasakan itu. Sepertinya, entah kenapa, aku merasa tampak lebih tua—tak seperti biasanya. Kupikir cermin sialan itu yang berbohong kepadaku. Nikmati kopimu.”
“Thanks. Ada yang membuatmu bersedih? Atau tertekan?”
“Bagaimana kalau keduanya? Mungkin aku terlalu melankolis, kau tahu, tapi akhir-akhir ini aku memang merasakan itu—maksudku, semakin merasakan itu. Kapan terakhir kali aku bisa tersenyum—atau tertawa? Sepertinya aku sudah tak ingat.”
“Mungkin kau terlalu keras pada dirimu sendiri, bro. Sudah saatnya kau refresing—beristirahat. Kau tahu, aku duduk di sini dan melihatmu seperti orang yang sudah tak kenal istirahat selama satu abad.”
“Entahlah, pal. Aku belum menemukan apa yang kucari, dan kupikir...well, kupikir aku belum layak beristirahat.”
“Aku mendengar berita mengenai teman-temanmu, bro, mungkin sesekali kau berpikir untuk mengikuti mereka? Sepertinya, menurutku, waktu istirahat terbaik bagimu adalah dengan mengikuti mereka.”
“Mereka orang-orang yang beruntung—aku tak seberuntung mereka.”
“Kau selalu rendah hati—terlalu rendah hati.”
“Tidak, aku selalu bodoh, atau bahkan lebih bodoh dari mereka.”
“Bro, kau tahu, mereka terkadang berpikir ingin sepertimu.”
“Kalau begitu mereka perlu menghubungi psikiater!”
...
...
“Sorry, bro, aku telah membuat percakapan ini jadi tak sehat. Aku menyesal—maafkan aku.”
“It’s okay, pal, kadang-kadang aku juga mendengar mereka berkata sepertimu. Kau tahu, yang selalu muncul dalam pikiranku setiap kali mendengar itu adalah kecurigaan atas upaya untuk menjebak mangsa agar menjadi korban yang sama seperti mereka. Di mataku, mereka itu orang-orang yang terjebak—terjebak dalam perangkap yang mereka ciptakan sendiri—dan mereka tak bisa keluar. Satu-satunya hiburan yang dapat mereka peroleh dalam keterjebakan itu hanyalah ketika melihat orang-orang lainnya ikut terjebak seperti mereka. Dan mereka sepertinya ingin aku segera mengikuti langkah mereka, agar aku juga terjebak seperti mereka. Setelah itu, mereka akan bertepuk tangan, mengucapkan selamat kepadaku, meski dalam hati mereka tertawa buas karena telah melihat satu lagi teman mereka masuk dalam jebakan sialan itu.”
“Aku merasa masih mendengar suara sinismu itu terakhir kalinya...”
“Yeah, right! Dan sebaiknya kau tak melupakannya! Aku suka analogi tentang orang-orang kalah—kisah para pecundang! You know, manusia dibagi menjadi dua—para pemenang dan para pecundang. Kualitas seseorang akan dapat kau lihat jika kau telah melihatnya terjatuh atau terperosok ke dalam lubang, tempat yang menjebak mereka untuk tak dapat keluar lagi. Ketika seseorang masuk dalam keterperangkapan atau keterjebakan itu, kau akan langsung melihat siapa sesungguhnya orang itu. Si pemenang akan berkata jujur kepadamu bahwa dia telah terjebak—terperangkap—dalam lubang itu, dan dia akan memintamu agar jauh-jauh dari lubang yang telah memerangkapnya. Kau bisa mengikuti nasihatnya. Sementara si pecundang akan pura-pura tersenyum, dan menyatakan kepadamu bahwa lubang perangkap itu memang sengaja dicarinya, dipilihnya, dan dia akan merayumu dengan mengatakan betapa hebatnya lubang itu. Dia akan mengatakan apa saja—sekuat tenaga dan intelektualitasnya—untuk mengajakmu ikut serta terperangkap ke dalamnya, karena bagi si pecundang hal itu adalah satu-satunya hiburan yang dapat menghibur kemanusiaannya yang terluka. Para pecundang selalu ingin orang lain juga menjadi pecundang—dan itulah yang selalu mereka lakukan! Aku tak percaya—tak pernah percaya—pada objektivitas yang terdengar positif ketika orang ada dalam perangkap. Kau paham maksudku?”
“Kau bisa menjelaskannya secara lebih gamblang?”
“Maksudku, orang tak bisa menilai dan menyatakan sesuatu secara objektif jika dia sedang berada dalam keadaan tertekan oleh sesuatu, sementara apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang menekannya itu. Bayangkan dirimu seekor tikus yang sedang terperangkap dalam kurungan jebakan. Kau masuk ke dalamnya karena tergiur oleh daging segar yang tergantung di dalamnya. Kau masuk, mengejar daging itu, dan begitu kau menyentuhnya...brak! Pintu kurungan jebakan itu menutup dengan rapat dan kau tak bisa keluar lagi dari kurungan itu. Kemudian, kawan-kawanmu sesama tikus lewat di dekat kurungan yang telah menjebakmu. Mereka melihatmu terkurung di dalamnya, tak bisa keluar. Mereka bertanya kepadamu apa yang terjadi. Lalu, dengan bodohnya kau bercerita kepada mereka bahwa kau memang sengaja ingin masuk ke dalam kurungan itu, karena menurutmu kurungan itu adalah surga untuk para tikus. Kau bahkan meminta teman-temanmu sesama tikus agar juga segera masuk ke dalam kurungan-kurungan lain yang masih terbuka, yang kebetulan ada di sana. Hell, kira-kira, apakah teman-teman tikusmu akan percaya celotehmu dan kemudian dengan senang hati akan memasukkan dirinya—hidupnya—ke dalam kurungan sialan yang kini telah mengurungmu...?”
“Tentunya aku tak akan melakukan hal semacam itu, kan?”
“Kau tidak akan melakukan hal semacam itu—jika kau orang besar, jika kau bermental pemenang yang dengan rendah hati mengatakan bahwa kau terjebak di luar kehendakmu atau di luar persangkaanmu. Tetapi, jika kau orang keparat—para pecundang—kau akan berkoar-koar betapa hebatnya kurungan yang telah menjebakmu itu, dan berharap teman-temanmu, sesamamu, ikut terperangkap dan terjebak sepertimu. Psikologi itu seperti permainan ular tangga yang dapat langsung diikuti ketika sebuah dadu terlempar ke papan permainan.”
“Aku tak pernah berpikir sejauh itu, bro.”
“Begitu pula orang-orang yang telah ikut terjebak dalam perangkap sialan itu!”
“Tapi, bro, bukankah... Well, kalau memang seperti itu kenyataannya, bukankah mereka dapat keluar dan membebaskan diri dari kerterperangkapan itu?”
“Mon ami, kita tidak perlu mendatangkan Hercule Poirot untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan itu, kan? Kita sama-sama tahu—apa yang terjadi pada mereka!”
“Yeah...kau benar—aku lupa pada objek analoginya.”