Jumat, 04 Juni 2010

Pada Mulanya adalah Ego

Tak ada yang lebih menakutkan daripada ketakutan itu sendiri.
Francis Bacon


Pada dasarnya, sebagaimana yang diajarkan dalam psikologi, manusia memiliki ego yang luar biasa besar. Ketika seseorang disalahkan, misalnya, biasanya dengan sekuat tenaga dia akan membuktikan bahwa dia tidak salah. Dan ketika pembuktiannya tidak berhasil, dia akan marah. Kemarahannya itu, sebenarnya, bukan timbul karena akhirnya terbukti dia salah, tetapi karena egonya terluka. Meski pada akhirnya dia merasa bersalah, tetapi egonya tetap tidak terima, dan bagaimana pun juga ego dalam dirinya terus menuntut ketidakterimaan itu, meski dengan cara yang sangat naif.

Sejarah betapa naifnya manusia ketika menuruti egonya itu, menjadi sangat tampak ketika pada abad Kedua Masehi, Ptolomeus, seorang astronom bangsa Mesir, menyatakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta.

Ketika ‘fakta’ itu diberitakan, manusia sangat gampang menerimanya, karena ‘fakta’ itu menyenangkan ego mereka. Membayangkan hidup di pusat mutlak alam semesta membuat mereka meyakini bahwa mereka anak-anak kesayangan Tuhan, dan mereka pun membayangkan bahwa bintang-bintang di langit serta rembulan hanyalah mainan yang digantung untuk hiburan dan kesenangan yang sengaja diberikan Tuhan untuk mereka. ‘Fakta’ bahwa bumi adalah pusat alam semesta itu juga kemudian disebarkan ke seluruh dunia, dan diajarkan di sekolah-sekolah selama berabad-abad lamanya.

Tetapi kemudian, muncul orang ‘kurang ajar’ bernama Copernicus, seorang ahli astronomi Polandia, yang berhasil membuktikan bahwa sebenarnya bumi bukanlah pusat alam semesta. Otak manusia cemerlang ini mampu menunjukkan bahwa bumi sebenarnya hanyalah bola tanah, sebuah batu kecil yang bergerak mengelilingi ruang angkasa, dan ditahan oleh bulatan api raksasa bernama matahari, yang ukurannya berkali-kali lipat dari ukuran bumi kita. Copernicus membuktikan bahwa bumi hanyalah sekerat lumpur, dan bahwa mataharilah yang menjadi pusat alam semesta.

Itu merupakan kejutan luar biasa bagi ego kita. Kita tidak mau menerima penemuan ‘gila’ itu sampai berabad-abad lamanya. Mengorbankan ego kita dengan mengakui bahwa kita ternyata bukanlah ‘anak-anak kesayangan Tuhan’ terlalu berat untuk diterima, dan itu telah menampar harga diri kita.

Galileo kemudian menambah kerusakan saraf ego kita. Ketika dia menyatakan bahwa bumi tempat kitalah yang mengelilingi matahari, kita langsung kebakaran jenggot. Setelah berabad-abad lamanya meyakini bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, manusia ‘kurang ajar’ bernama Galileo tiba-tiba meributkan bahwa justru kitalah yang sebenarnya mengelilingi matahari. Dan untuk memuaskan ego kita, untuk tetap menganggap diri kitalah yang besar dan paling benar, Galileo pun dihujat, bahkan terancam dalam pancungan.

Empat ratus tahun kemudian, ego dan harga diri kita mengalami luka parah lagi. Inggris menghasilkan seorang naturalis cemerlang bernama Charles Darwin, dan orang ini mengatakan kepada kita, bahwa kita bukanlah makhluk istimewa ciptaan Tuhan, tetapi akar kita berada dalam dunia binatang yang berkembang. Darwin menunjukkan bahwa kita sebenarnya hanyalah bagian dari evolusi binatang, bahwa kita diturunkan dari dunia binatang.

Harga diri kita ternoda, ego kita terluka. Sampai hari ini, jutaan manusia masih tak mau menerima teori itu, meski sebenarnya setiap hari mereka justru menunjukkan kebenaran teori Darwin.

Kita menolak disebut binatang, tetapi setiap hari, setiap waktu, kita terus menunjukkan perilaku yang tak jauh berbeda dengan binatang. Teori evolusi yang diungkapkan Darwin sebenarnya memberikan izin dan legitimasi untuk perilaku hewani umat manusia. Tetapi karena ego kita terlalu besar, kita pun menolak mentah-mentah teori itu, meski setiap hari manusia semakin menyaru sebagai binatang.

Darwin memberi kita izin untuk menjadi binatang. Sementara kita memilih untuk menjadi binatang, tanpa harus ada seorang pun yang meributkannya.

Sesudah Darwin, Sigmund Freud yang kemudian melukai ego kita, dan lebih banyak lagi jendela yang pecah di rumah harga diri kita. Freud mengatakan, dalam teori psikoanalisanya, bahwa kita tidak bisa mengendalikan banyak tindakan dan pemikiran kita, dan kita bahkan tidak memahaminya karena semua berasal dari pengalaman masa kanak-kanak yang dini sekali, yang berhubungan dengan cinta, kebencian, dan penindasan, yang sekarang terkubur jauh di dalam pikiran bawah sadar kita.

Pakar kedokteran paling cemerlang ini telah memberikan surat izin kepada kita untuk melakukan apa saja yang kita inginkan, terhadap diri kita... dan terhadap orang lain. Kita tidak lagi memerlukan penjelasan rasional bagi kegiatan kita. Kita hanya bertindak... dan konsekuensinya kita menyalahkan ayah atau ibu kita.

Bukankah ini adalah perilaku sebagian besar dari kita? Tetapi kita tidak terima ketika teori itu mula-mula dikeluarkan, dan kita lebih memilih untuk melakukan semuanya itu secara diam-diam, dan sekali lagi, tanpa ada seorang pun yang meributkannya. Kita terlalu takut pada ego kita sendiri, dan sebagai konsekuensinya, kita memilih menjadi naif demi mempertahankan ego, daripada berjiwa besar menghadapi kenyataan.

Persoalan besar umat manusia adalah persoalan ego yang amat besar.

 
;