Qui Legent hos versus, mature censunto.
Prophanum Vulgus and inscium ne attrectato.
Omnesque… Blenni, barbari Procul Sunto.
Qui aliter faxit, is rite sacer esto.
—Nostradamus, Kwatrain IV
Sidining kalabendu,
saya ndadra ardaning tyas limut,
ora kena sinirep limpading budi,
lamun durung mangsanipun,
malah sumuking angradon.
—Ronggowarsito, Serat Sabdatama
Sebebas camar kau berteriak,
serta bahtera yang menembus badai.
Seikhlas karang menunggu ombak,
seperti lautan engkau bersikap.
—Iwan Fals, Sang Petualang
Prophanum Vulgus and inscium ne attrectato.
Omnesque… Blenni, barbari Procul Sunto.
Qui aliter faxit, is rite sacer esto.
—Nostradamus, Kwatrain IV
Sidining kalabendu,
saya ndadra ardaning tyas limut,
ora kena sinirep limpading budi,
lamun durung mangsanipun,
malah sumuking angradon.
—Ronggowarsito, Serat Sabdatama
Sebebas camar kau berteriak,
serta bahtera yang menembus badai.
Seikhlas karang menunggu ombak,
seperti lautan engkau bersikap.
—Iwan Fals, Sang Petualang
Mereka menyebutnya sang Mistikus—sosok lelaki yang menjalani hidupnya seorang diri di rumahnya yang sunyi—orang yang nyaris tak pernah terdengar suaranya, apalagi terlihat wajah dan sosoknya. Tetapi orang-orang di sana tahu lelaki itu hidup, meski mereka tak pernah yakin bagaimana cara lelaki itu hidup.
Sang Mistikus tidak pernah terlihat keluar rumah untuk bekerja sebagaimana masyarakat di sekitarnya. Dia hanya menjalani hidupnya di dalam rumah dan sekitar halamannya, dan orang-orang kadang sempat menyaksikannya sedang bersenandung di bawah pohon, seiring nyanyian burung-burung.
Mereka menyebutnya sang Mistikus—manusia aneh yang tidak pernah bersentuhan dengan masyarakatnya, tetapi juga tak pernah mengganggu satu pun manusia. Beberapa orang yang hidup di daerah itu berani bersumpah pernah melihat sang Mistikus tersenyum sendiri, atau tertawa sendiri, atau bicara sendiri, seperti orang gila. Tetapi mereka juga tak pernah yakin apakah orang aneh itu memang gila, ataukah hanya setengah gila.
Yang jelas, lelaki itu aneh—dan karena itulah mereka menyebutnya sang Mistikus, karena mereka bahkan tidak pernah tahu siapa namanya. Mereka berpikir, sebutan itu sepertinya cocok untuk lelaki itu, dan entah bagaimana caranya, sebutan itu terkenal di daerah mereka.
Suatu hari, sebuah pesta perkawinan diadakan di pemukiman itu, dan beberapa penduduk di sana berinisiatif mengundang sang Mistikus.
“Mungkin, dengan adanya pesta perkawinan ini, dia akan mau bergabung dengan kita,” ujar sang Ketua Masyarakat di sana.
Jadi, beberapa lelaki kemudian pergi ke rumah sang Mistikus, membawa selembar undangan dari sang pemilik pesta. Mereka memasuki halaman rumah sang Mistikus, dan tiba-tiba merasakan kedamaian sunyi yang belum pernah mereka rasakan.
Sambil memberanikan diri, seorang dari mereka mengetuk pintu rumah sang Mistikus, dan pintu segera terbuka. Lelaki itu—sang Mistikus—menyambut mereka dengan wajah datar. Dan orang-orang yang datang ke sana tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka memperhatikan wajah lelaki misterius itu, agar setidaknya mereka dapat bercerita pada tetangga dan kawan-kawannya, bahwa mereka pernah melihat rupa sang Mistikus.
Seorang dari mereka kemudian mengangsurkan undangan pesta perkawinan, dan berkata dengan sopan, “Tuan, kami ke sini untuk mengundang Tuan ke acara pesta yang diadakan di rumah warga kami. Jika Tuan berkenan, ini undangannya.”
Sang Mistikus menerima kartu undangan itu, tetapi tidak melihatnya. Ia hanya bertanya dengan datar, “Pesta apa?”
“Pesta perkawinan, Tuan. Ada warga kami yang menikahkan putra-putrinya, dan malam ini diadakan pesta untuk mereka. Kami akan gembira jika Tuan berkenan menghadiri pesta itu.”
Mata sang Mistikus meredup, dan dengan tangan gemetar dia menyerahkan kembali kartu undangan itu. “Maafkan aku,” katanya lirih. “Aku tidak bisa menerima undangan ini. Sampaikan pada sepasang mempelai yang menikah malam ini, aku turut berduka untuk mereka.”
Orang-orang yang membawa undangan itu kebingungan—dan merasa salah dengar.
“Tuan…” seorang dari mereka mencoba bicara.
Tapi sang Mistikus mengangkat tangannya. “Pulanglah.” Setelah itu ia berkata dengan suara yang tertahan, “Aku berduka untuk mereka. Aku berduka untuk mereka…”
....
....
Empat bulan kemudian, seorang lelaki di pemukiman itu meninggal dunia. Anak sulung lelaki itu ingin pemakaman ayahnya dihadiri sang Mistikus, tetapi ia tidak yakin sang Mistikus mau menghadiri pemakaman ayahnya. Karenanya, dia pun meminta seorang tetangganya untuk pergi menemui sang Mistikus, dengan harapan sang Mistikus memenuhi permintaannya.
Si tetangga memahami keinginan si Putra Sulung. Maka ia pun pergi ke rumah sang Mistikus bersama dua temannya. Ia sendiri ingin tahu seperti apa nanti reaksi sang Mistikus ketika mendengar berita kematian. Kabar tentang pernyataannya yang aneh empat bulan lalu ketika diberi undangan perkawinan telah menyebar, dan membuat orang-orang kebingungan. Karenanya, kali ini ia ingin tahu apa yang akan dikatakan sang Mistikus terhadap kematian.
Pagi itu sang Mistikus sedang berdiri di bawah pohon di halaman rumahnya, dan dia menyambut kedatangan tiga lelaki itu.
“Tuan,” ucap salah satu dari mereka, “saya ke sini untuk mengabarkan berita kematian salah satu warga kami. Putra sulung almarhum mengharapkan Tuan ikut mengantarkan jenazah ayahnya, dan kami semua akan mengiringi jika Tuan berkenan mengabulkan permintaan putra almarhum.”
Sang Mistikus tersenyum—sesungging senyuman penuh kasih, seperti senyum seorang ayah ketika mendengar anaknya mendapatkan penghargaan. Kelak, tiga orang lelaki itu berani bersumpah bahwa senyum sang Mistikus pagi itu adalah senyum paling bersinar yang pernah mereka saksikan.
“Tentu saja aku akan datang,” ujar sang Mistikus dengan lembut. “Ketika salah satu dari kita menerima pembebasan atas belenggunya, kita patut bersuka cita untuknya. Berbahagialah untuk almarhum. Berbahagialah untuk jiwa yang terbebaskan.”
Jadi begitulah. Dengan wajah kebingungan, ketiga lelaki itu mengiringi langkah sang Mistikus menuju rumah duka. Warga yang berkumpul di sana seketika terdiam ketika menyaksikan siapa yang datang—dan tiba-tiba duka kematian seperti terangkat ke langit, batas antara hidup dan mati seperti hanya pergantian malam dan pagi.
Sang Mistikus ikut mengantarkan jenazah sampai ke kuburnya. Ketika si jenazah dimasukkan ke liang kubur, sang Mistikus menepuk bahu putra si almarhum, dan berbisik dengan senyum penuh kasih, “Berbahagialah untuk ayahmu.”
....
....
Empat belas bulan setelah kejadian itu, beberapa orang kembali ke rumah sang Mistikus. Kali ini mereka ingin mengabarkan berita tentang kelahiran seorang bayi dari salah satu warga mereka.
“Tuan,” kata mereka pada sang Mistikus. “Apakah Tuan masih ingat undangan perkawinan yang pernah dibawa warga kami untuk Tuan sekitar setahun lalu?”
“Ya,” sahut sang Mistikus.
“Nah, kami ingin mengabarkan, pasangan tersebut sekarang telah dikaruniai seorang putra.”
Tiba-tiba sang Mistikus membeku. Bibirnya bergetar. Dan dengan suara tawa bercampur tangis, dia berkata, “Bunga yang tumbuh di antara badai… Semoga ia mekar di tengah gurun pasir kematian, semoga ia mekar… semoga ia tetap mekar… semoga ia hidup dan mekar….”