Post ini berhubungan dengan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Saya bangkit dan menuju ke gelas yang ada di atas meja, meminumnya sejenak, lalu kembali ke tempat kurungan tikus tadi, dan duduk di dekatnya.
“Selama berpuluh-puluh malam,” saya memulai, “ada berpuluh-puluh tikus yang telah terjebak dalam kurungan yang sekarang mengurungmu. Kau telah mengaku tadi, bahwa kau mengenal mereka. Artinya, bisa jadi suatu malam kau jalan-jalan bersama salah satu di antara mereka, lalu temanmu terjebak masuk dalam kurungan itu. Apakah yang kukatakan ini benar?”
“Yeah…” Setelah ragu-ragu sejenak, tikus itu menceritakan, “Sebenarnya, aku sudah berkali-kali menyaksikan temanku terjebak ke dalam kurungan ini. Beberapa kali, aku jalan-jalan dengan mereka, lalu temanku terpancing umpan menggiurkan yang kaupasang dalam kurungan ini, lalu… damn! Dia terjebak. Aku melihatnya. Aku melihatnya berkali-kali. Dan, kemudian aku tahu, teman-temanku yang pernah masuk ke dalam kurungan ini biasanya tak ada kabarnya lagi.”
“Jadi, kau telah menyaksikan teman-temanmu yang terjebak ke dalam kurungan itu. Lalu kenapa kau sendiri bisa ikut terjebak? Maksudku, kenapa kau tidak belajar dari pengalaman teman-temanmu? Ketika tadi kau melihat umpan yang kupasang dalam kurungan yang sekarang menjebakmu, kenapa kau tidak mengingat pengalaman teman-temanmu terdahulu?”
“Kau bukan tikus, pal.”
“I’m sorry?”
“Kau bukan tikus. Kau tidak tahu pola pikir para tikus.”
“So, bagaimana pola pikir para tikus?”
Tikus itu ragu-ragu sejenak. Kemudian berujar, “Ketika melihat teman-temanku satu per satu terkurung dalam kandangmu ini, aku pernah menyadari bahwa mereka terjebak, tertipu, terperangkap, terpedaya—apa pun sebutanmu. Tapi teman-temanku tidak mengakui kenyataan itu. Ketika melihat mereka terkurung dalam kandang ini, aku pernah bertanya pada mereka, apakah mereka bisa keluar? Apakah mereka ingin keluar? Tapi mereka—satu per satu—menyatakan tidak ingin keluar dari kandang ini. Mereka bahkan menyatakan sangat bahagia berada di dalam kandang ini, karena ada makanan, kenyamanan…”
Saya menyela, “Dan kau setuju…?”
“Sekarang, tentu saja, aku tidak setuju! Aku ingin keluar dari kurungan ini! Tetapi, ketika dulu mendengar teman-temanku menyatakan hal itu, aku mulai mempercayai mereka, meski mulanya ragu-ragu. Sekarang aku tahu, bahwa pengakuan mereka dulu itu dinyatakan karena rasa malu. Kalau kau tertipu, kau akan berusaha menyangkalnya, untuk menutupi rasa malu. Sekarang aku tahu, bahwa itulah yang dulu dilakukan teman-temanku. Mereka sadar dirinya tertipu, lalu mengaku senang demi menutupi rasa malu.”
Saya mengangguk-anggukkan kepala. Itu masuk akal, pikir saya. Dan saya jadi membayangkan, bahwa tikus pertama yang terjebak dalam kurungan itu pun dulu pasti bersikap seperti itu—pura-pura senang dalam keterjebakan demi menutupi rasa malu—dan kemudian teman-temannya terpengaruh.
Lalu seekor tikus lagi terjebak dalam kurungan itu, dan menyadari ia telah tertipu, sama seperti temannya kemarin. Dan, sama seperti temannya kemarin pula, dia pun pura-pura senang dalam keterjebakan itu demi menutupi rasa malu. Dan begitu seterusnya, hingga berpuluh-puluh tikus terjebak tiap malam dalam kurungan itu.
Saya berkata pada si tikus yang masih terkurung, “Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Sekarang aku sadar telah tertipu!” ujarnya ketus. “Aku tertipu olehmu, tertipu oleh kawan-kawanku, juga tertipu oleh kebodohanku sendiri.”
“Senang mendengarmu berjiwa besar seperti itu.”
“Oh, jangan mengejekku, pal. Kalau saja aku tahu akan begini akibatnya, aku tak akan sudi mendekati kurungan sialanmu ini!” Setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, “Nah, omong-omong, kapan kau akan melepasku?”
“Kalau aku melepaskanmu sekarang, kau bisa menjamin tak akan terjebak lagi dalam kurungan ini?”
“Tentu saja! Sekarang aku tahu kurungan ini adalah jebakan, sebuah umpan tipuan yang akan mengakhiri hidupku. Jika aku bisa keluar dari sini, aku akan pergi jauh! Kurungan ini akan menjadi mimpi burukku selamanya!”
“Bagaimana aku tahu kau akan menepati janjimu?”
“Apa maksudmu?”
“Well, bagaimana aku tahu kau benar-benar akan pergi jauh, dan tak akan terjebak lagi dalam kandang yang sekarang mengurungmu?”
“Kau bisa pegang janjiku!” Tikus itu menatap saya dengan memelas. “Kau harus menepati janjimu! Aku telah menjawab pertanyaanmu, jadi sekarang kau harus melepaskanku!”
Saya terdiam, menimbang-nimbang. Jika saya lepaskan tikus ini sekarang, dan ternyata besok malam dia kembali berkeliaran di rumah, saya tidak akan tahu, karena tikus tidak dilengkapi dengan plat nomor atau ciri khusus yang mudah dikenali. Di antara banyak tikus yang mungkin akan saya lihat, tentu saya tidak bisa memastikan mana yang tikus ini.
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, saya teringat cat semprot yang masih sisa. Cat semprot itu berwarna pink, dan belum lama saya gunakan untuk membuat grafiti di tembok belakang. Jadi saya pun mengambil cat semprot itu, dan mengocoknya. Masih penuh. Saya pun membawanya ke kurungan tempat si tikus terjebak.
“Apa yang akan kaulakukan?!” seru si tikus ketika melihat saya membawa kaleng cat semprot.
“Agar aku bisa mengenalimu dengan mudah, aku akan menyemprot tubuhmu dengan cat ini. Kuharap kau tidak keberatan.”
Dia tidak punya pilihan. Maka, dari luar kurungan, saya pun menyemprot tubuh tikus yang hitam itu dengan cat semprot yang segera mengubah tubuh hitamnya menjadi pink—dari depan sampai belakang, hingga ekornya. “Sekarang kau menjadi tikus paling funky sedunia,” ujar saya sambil senyum-senyum menatap tubuhnya yang kini sangat bling-bling.
“Oh, hell, aku pasti akan diledek teman-temanku…” keluh tikus itu, menyadari tubuhnya yang sekarang telah berubah pink.
“Itu lebih baik daripada mati dalam kurungan, sobat.”
Setelah tubuh tikus itu benar-benar pink sempurna, saya pun membuka pintu kurungan, dan membiarkan dia keluar. “Ingat, jangan pernah kembali lagi!”
Dia tidak mengucap selamat tinggal. Dia langsung lari lintang pukang. Teman-temannya di dunia tikus pasti akan terkejut melihat penampilannya sekarang.
….
….
Keesokan malamnya, seperti biasa, ada satu tikus lagi yang terjebak dalam kurungan. Lalu besok malamnya ada lagi. Dan besoknya lagi. Dan besoknya lagi. Hingga, sekitar satu minggu setelah itu… seekor tikus kembali terjebak dalam kurungan yang saya pasang. Kali ini tubuhnya tidak hitam seperti tikus-tikus lain. Dia tikus funky yang pernah saya kenal. Tubuhnya pink.
Dia kembali masuk ke dalam jebakan yang sama.
Oh, well….
***
Saya bangkit dan menuju ke gelas yang ada di atas meja, meminumnya sejenak, lalu kembali ke tempat kurungan tikus tadi, dan duduk di dekatnya.
“Selama berpuluh-puluh malam,” saya memulai, “ada berpuluh-puluh tikus yang telah terjebak dalam kurungan yang sekarang mengurungmu. Kau telah mengaku tadi, bahwa kau mengenal mereka. Artinya, bisa jadi suatu malam kau jalan-jalan bersama salah satu di antara mereka, lalu temanmu terjebak masuk dalam kurungan itu. Apakah yang kukatakan ini benar?”
“Yeah…” Setelah ragu-ragu sejenak, tikus itu menceritakan, “Sebenarnya, aku sudah berkali-kali menyaksikan temanku terjebak ke dalam kurungan ini. Beberapa kali, aku jalan-jalan dengan mereka, lalu temanku terpancing umpan menggiurkan yang kaupasang dalam kurungan ini, lalu… damn! Dia terjebak. Aku melihatnya. Aku melihatnya berkali-kali. Dan, kemudian aku tahu, teman-temanku yang pernah masuk ke dalam kurungan ini biasanya tak ada kabarnya lagi.”
“Jadi, kau telah menyaksikan teman-temanmu yang terjebak ke dalam kurungan itu. Lalu kenapa kau sendiri bisa ikut terjebak? Maksudku, kenapa kau tidak belajar dari pengalaman teman-temanmu? Ketika tadi kau melihat umpan yang kupasang dalam kurungan yang sekarang menjebakmu, kenapa kau tidak mengingat pengalaman teman-temanmu terdahulu?”
“Kau bukan tikus, pal.”
“I’m sorry?”
“Kau bukan tikus. Kau tidak tahu pola pikir para tikus.”
“So, bagaimana pola pikir para tikus?”
Tikus itu ragu-ragu sejenak. Kemudian berujar, “Ketika melihat teman-temanku satu per satu terkurung dalam kandangmu ini, aku pernah menyadari bahwa mereka terjebak, tertipu, terperangkap, terpedaya—apa pun sebutanmu. Tapi teman-temanku tidak mengakui kenyataan itu. Ketika melihat mereka terkurung dalam kandang ini, aku pernah bertanya pada mereka, apakah mereka bisa keluar? Apakah mereka ingin keluar? Tapi mereka—satu per satu—menyatakan tidak ingin keluar dari kandang ini. Mereka bahkan menyatakan sangat bahagia berada di dalam kandang ini, karena ada makanan, kenyamanan…”
Saya menyela, “Dan kau setuju…?”
“Sekarang, tentu saja, aku tidak setuju! Aku ingin keluar dari kurungan ini! Tetapi, ketika dulu mendengar teman-temanku menyatakan hal itu, aku mulai mempercayai mereka, meski mulanya ragu-ragu. Sekarang aku tahu, bahwa pengakuan mereka dulu itu dinyatakan karena rasa malu. Kalau kau tertipu, kau akan berusaha menyangkalnya, untuk menutupi rasa malu. Sekarang aku tahu, bahwa itulah yang dulu dilakukan teman-temanku. Mereka sadar dirinya tertipu, lalu mengaku senang demi menutupi rasa malu.”
Saya mengangguk-anggukkan kepala. Itu masuk akal, pikir saya. Dan saya jadi membayangkan, bahwa tikus pertama yang terjebak dalam kurungan itu pun dulu pasti bersikap seperti itu—pura-pura senang dalam keterjebakan demi menutupi rasa malu—dan kemudian teman-temannya terpengaruh.
Lalu seekor tikus lagi terjebak dalam kurungan itu, dan menyadari ia telah tertipu, sama seperti temannya kemarin. Dan, sama seperti temannya kemarin pula, dia pun pura-pura senang dalam keterjebakan itu demi menutupi rasa malu. Dan begitu seterusnya, hingga berpuluh-puluh tikus terjebak tiap malam dalam kurungan itu.
Saya berkata pada si tikus yang masih terkurung, “Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Sekarang aku sadar telah tertipu!” ujarnya ketus. “Aku tertipu olehmu, tertipu oleh kawan-kawanku, juga tertipu oleh kebodohanku sendiri.”
“Senang mendengarmu berjiwa besar seperti itu.”
“Oh, jangan mengejekku, pal. Kalau saja aku tahu akan begini akibatnya, aku tak akan sudi mendekati kurungan sialanmu ini!” Setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, “Nah, omong-omong, kapan kau akan melepasku?”
“Kalau aku melepaskanmu sekarang, kau bisa menjamin tak akan terjebak lagi dalam kurungan ini?”
“Tentu saja! Sekarang aku tahu kurungan ini adalah jebakan, sebuah umpan tipuan yang akan mengakhiri hidupku. Jika aku bisa keluar dari sini, aku akan pergi jauh! Kurungan ini akan menjadi mimpi burukku selamanya!”
“Bagaimana aku tahu kau akan menepati janjimu?”
“Apa maksudmu?”
“Well, bagaimana aku tahu kau benar-benar akan pergi jauh, dan tak akan terjebak lagi dalam kandang yang sekarang mengurungmu?”
“Kau bisa pegang janjiku!” Tikus itu menatap saya dengan memelas. “Kau harus menepati janjimu! Aku telah menjawab pertanyaanmu, jadi sekarang kau harus melepaskanku!”
Saya terdiam, menimbang-nimbang. Jika saya lepaskan tikus ini sekarang, dan ternyata besok malam dia kembali berkeliaran di rumah, saya tidak akan tahu, karena tikus tidak dilengkapi dengan plat nomor atau ciri khusus yang mudah dikenali. Di antara banyak tikus yang mungkin akan saya lihat, tentu saya tidak bisa memastikan mana yang tikus ini.
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, saya teringat cat semprot yang masih sisa. Cat semprot itu berwarna pink, dan belum lama saya gunakan untuk membuat grafiti di tembok belakang. Jadi saya pun mengambil cat semprot itu, dan mengocoknya. Masih penuh. Saya pun membawanya ke kurungan tempat si tikus terjebak.
“Apa yang akan kaulakukan?!” seru si tikus ketika melihat saya membawa kaleng cat semprot.
“Agar aku bisa mengenalimu dengan mudah, aku akan menyemprot tubuhmu dengan cat ini. Kuharap kau tidak keberatan.”
Dia tidak punya pilihan. Maka, dari luar kurungan, saya pun menyemprot tubuh tikus yang hitam itu dengan cat semprot yang segera mengubah tubuh hitamnya menjadi pink—dari depan sampai belakang, hingga ekornya. “Sekarang kau menjadi tikus paling funky sedunia,” ujar saya sambil senyum-senyum menatap tubuhnya yang kini sangat bling-bling.
“Oh, hell, aku pasti akan diledek teman-temanku…” keluh tikus itu, menyadari tubuhnya yang sekarang telah berubah pink.
“Itu lebih baik daripada mati dalam kurungan, sobat.”
Setelah tubuh tikus itu benar-benar pink sempurna, saya pun membuka pintu kurungan, dan membiarkan dia keluar. “Ingat, jangan pernah kembali lagi!”
Dia tidak mengucap selamat tinggal. Dia langsung lari lintang pukang. Teman-temannya di dunia tikus pasti akan terkejut melihat penampilannya sekarang.
….
….
Keesokan malamnya, seperti biasa, ada satu tikus lagi yang terjebak dalam kurungan. Lalu besok malamnya ada lagi. Dan besoknya lagi. Dan besoknya lagi. Hingga, sekitar satu minggu setelah itu… seekor tikus kembali terjebak dalam kurungan yang saya pasang. Kali ini tubuhnya tidak hitam seperti tikus-tikus lain. Dia tikus funky yang pernah saya kenal. Tubuhnya pink.
Dia kembali masuk ke dalam jebakan yang sama.
Oh, well….