Minggu, 01 April 2012

Negeri yang Tak Pernah Belajar

A nation that does not believe in their power as a nation,
can not stand as an independent nation.
Soekarno


Seratus enam puluh empat tahun yang lalu, pada 21 Februari 1848, Karl Marx menerbitkan The Communist Manifesto di London, dan menjadi titik pijak bagi Marx untuk memuntahkan pemikiran-pemikirannya yang “asoy geboy” tentang sistem kelas dan paham komunisme.

Buku itu tidak terlalu menciptakan pengaruh, pada awalnya. Namun, memasuki abad ke-20, pengaruh komunisme semakin meningkat. Pada 1950, hampir setengah populasi dunia hidup di bawah pemerintahan beraliran Marxis. Buku itu memicu berbagai revolusi di Eropa, di antaranya kudeta atas raja Prancis, Louis Philippe, hingga ia terpaksa turun tahta. Tetapi Karl Marx belum selesai “muntah”.

Pada tahun 1867, Marx kembali menerbitkan buku, kali ini berjudul Das Kapital—karya yang kelak menjadi salah satu tonggak pemikiran besar yang pernah lahir dalam peradaban manusia. Di buku itu, Karl Marx menuntaskan muntahan pikirannya, dan selanjutnya adalah sejarah. Ketika Marx meninggal dunia pada 1884, komunisme telah menjadi sebuah gerakan berpengaruh di Eropa.

Jika dibaca ilmuwan atau akademisi, Das Kapital memberikan pencerahan. Namun, jika dibaca politisi, Das Kapital adalah bencana kemanusiaan. Kenyataan itulah yang kemudian terjadi di Rusia.

Tiga puluh tiga tahun setelah Karl Marx meninggal dunia, pada 1917, Vladimir Lenin—seorang penganut Marxisme—berhasil memimpin revolusi komunis di Rusia.

Di bawah pimpinan Lenin, Soviet menerapkan sistem kolektivisasi yang kemudian berbuah wabah kelaparan. Karena adanya kolektivisasi, para petani tidak berhak memiliki hasil tanahnya sendiri, dan mereka hanya mendapatkan jatah dari pemerintah. Panen yang dihasilkan para petani cukup banyak, namun pemerintah memberlakukan pengukuran yang sangat ketat terhadap para petani, sehingga mereka terpaksa memberikan 70 persen dari semua yang dipanen.

Pemerintah mengambil hasil tanah dan makanan milik petani di Ukraina dan daerah lain untuk dijual atau diekspor. Seperti yang dinyatakan para sejarawan, mereka bukan tidak tahu konsekuensinya, namun mereka tidak peduli. Hasilnya kemudian adalah prahara kelaparan yang amat parah, yang melanda wilayah Ukaraina dan Wolga, sehingga menyebabkan kematian lebih dari lima juta orang. Puncak bencana kelaparan itu terjadi pada September 1921.

Ketika bencana kelaparan itu mulai terdengar ke luar negeri, kelompok-kelompok relawan pun mulai datang dari beberapa negara, namun semuanya sudah terlambat. Pemerintah Soviet mendirikan panti-panti untuk menampung orang-orang dan anak-anak yang kelaparan—tempat para sukarelawan menolong mereka—namun kematian demi kematian terus terjadi setiap hari, bahkan setiap jam.

Seperti semua wabah kelaparan, penyakit merupakan pembunuh kedua. Orang-orang yang kelaparan mudah terkena penyakit fatal yang dapat menular secara cepat, dan itulah yang juga terjadi di sana. Tifus dan kolera mengakibatkan ratusan ribu kematian, sementara obat-obatan yang tersedia sangat jauh dari memadai.

Yang lebih mengerikan, akibat wabah kelaparan tersebut, kanibalisme terjadi di mana-mana. Mayat-mayat dipotong para petani yang kelaparan, anak-anak dimakan orangtuanya, dan para relawan dari luar negeri kemudian tahu bahwa daging yang diperjualbelikan di pasar mengandung daging manusia. Sejak itu, para relawan dari berbagai negara yang ada di sana sama-sama sepakat untuk hanya memakan makanan yang didatangkan dari luar Soviet.

Bencana kelaparan pada 1921 itu adalah mimpi buruk komunisme yang diterapkan di Rusia, potret mengerikan ketika pemerintah menjadikan rakyat sebagai sapi perah demi kemakmuran segelintir pengusaha dan politisi. Yang lebih mengerikan lagi, Rusia tidak belajar dari pengalaman mengerikan itu, bahkan kembali mengulangi kebodohan yang sama.

Pada musim gugur 1923, wabah kelaparan yang mengerikan itu berakhir, dan wilayah Ukraina serta Wolga menikmati panen berlimpah. Namun kerusakan akibat wabah itu tidak segera lenyap, meski usaha-usaha pemulihan terus dilakukan. Lebih dari itu, seperti yang dinyatakan di atas, pemerintah Soviet tidak belajar dari wabah tersebut. Sepuluh tahun semenjak peristiwa itu, peristiwa yang sama kembali terulang.

Pada 3 Januari 1930, Joseph Vissarionovich Stalin naik ke kursi kepemimpinan Uni Soviet, menggantikan Lenin yang meninggal dunia. Sama seperti Lenin, Stalin juga memerintahkan agar pertanian di seluruh Soviet dikolektifkan. Dia mengulangi kebodohan yang telah dilakukan pendahulunya, dia kembali menggunakan sistem Lenin yang jelas-jelas merusak negaranya.

Seperti yang dilakukan Lenin sebelumnya, Soviet kembali menggunakan sistem komunisme. Sejak itu, tidak ada lagi milik pribadi atau penjualan bebas. Hanya berselang dua tahun setelah naiknya Stalin di Rusia, wabah kelaparan kembali melanda negara itu—bahkan jauh lebih parah.

Pada tahun 1932, Uni Soviet mengekspor 1,7 juta ton padi. Satu tahun kemudian, pada 1933, sebanyak 1,8 juta ton padi kembali diekspor ke luar negeri. Jumlah itu sangat berlimpah, namun para petani di Soviet justru kelaparan, karena jatah makan mereka dikuras untuk kepentingan ekspor, untuk keuntungan segelintir pengusaha dan politisi.

Karena sistem kolektivisasi, rakyat tidak mempunyai hak milik, selain jatah yang diatur negara, sementara sisanya diambil pemerintah untuk mengenyangkan perut dan nafsu segelintir orang.

Sejumlah petani yang kaya memang mencoba melawan kolektivisasi dengan cara membunuh ternaknya sendiri daripada dirampas pemerintah. Sebagian ada yang menyembunyikan makanan mereka di bawah tanah, atau sampai nekat melarikan diri keluar dari Soviet.

Namun pemerintah Soviet memberlakukan aturan yang ketat sekaligus kejam untuk mengatasi perlawanan semacam itu. Para petani yang kedapatan menyembunyikan makanan akan ditembak, begitu pula yang mencoba melarikan diri dari wilayah Soviet. Mayat-mayat mereka bergelimpangan di jalan-jalan dan sengaja tidak diurus, dengan tujuan untuk memberi “pelajaran” bagi yang ingin mengulanginya.

Akibat sistem tersebut, para petani pun sampai menjual pakaian atau apa saja yang dapat mereka jual demi untuk bisa membeli roti basi di pasar gelap. Sementara praktik kanibalisme juga terjadi di mana-mana, meski dilakukan secara diam-diam. Orang memotong-motong mayat tetangganya demi bisa memakan dagingnya, sementara orang tua menyimpan bangkai anaknya agar tidak dimakan orang lain.

Pemerintah Soviet mengetahui hal tersebut, namun mereka menyembunyikannya rapat-rapat dari dunia internasional. Jurnalis luar negeri adalah satu-satunya orang di luar pemerintah yang dapat memperoleh jalan masuk ke bahan makanan, sebanyak apa pun yang mereka inginkan, sebagai upaya pemerintah Soviet untuk menutupi keadaan asli negaranya.

Ketika wabah kelaparan semakin memburuk, Stalin memang menghentikan ekspor dan mengalihkannya untuk menolong rakyat yang kelaparan, tetapi telah jauh terlambat. Jumlah korban yang meninggal akibat kelaparan dalam wabah itu mencapai tujuh juta orang. Andrew Gregorovich dalam Black Famine in Ukraine 1932-33: A Struggle for Existence menyatakan wabah tersebut sebagai “Kriminalitas Stalin yang Terbesar.”

Seperti yang telah saya nyatakan di atas, Das Kapital yang ditulis Karl Marx akan memberikan pencerahan bagi para ilmuwan atau para akademisi, tetapi buku itu adalah bencana jika dibaca para politisi. Lenin maupun Stalin menggunakan ajaran Das Kapital sebagai cara untuk menjerat rakyat dan menjadikan mereka sebagai sapi perah pemerintah.

Pada waktu itu, Uni Soviet bukan negara miskin. Mereka menghasilkan padi dan tanaman lain dalam jumlah yang berlimpah, dan panen nyaris tak pernah gagal. Negeri itu juga memiliki kekayaan alam yang seharusnya dapat membuat rakyat di sana tersenyum dalam kemakmuran. Namun, karena negeri itu diperintah orang-orang bejat, kemakmuran itu justru melahirkan bencana mengerikan.

Bahkan ketika pemimpinnya telah berganti—dari Lenin ke Stalin—kebejatan yang sama diulang kembali. Rakyat kembali dijadikan sapi perah, kemakmuran negara dijarah dengan berbagai alasan dan manipulasi, sementara segelintir politisi keparat mengantungi hasilnya. Berbagai peraturan diterapkan dengan alasan demi pembangunan, tetapi yang terjadi di sana-sini adalah kelaparan yang dibalut pembodohan dan proses pemiskinan.

Uni Soviet bukan negara miskin, tetapi rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Uni Soviet menghasilkan banyak ekspor menguntungkan, tetapi hasilnya hanya dinikmati segelintir orang. Di bawah Lenin maupun Stalin, Soviet adalah negeri besar yang digerogoti para pemimpinnya sendiri. Kekayaan negeri itu berlimpah, tetapi dirampok oleh pemerintah, sementara sisanya dikenakan harga yang amat tinggi sehingga rakyat tak mampu membeli.

Dan… sambil menulis kepahitan itu, saya membayangkan negeri saya sendiri.

 
;