Kamis, 12 April 2012

Ngobrol dengan Tikus (2)

Post ini berhubungan dengan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

“Hei, tikus,” sapa saya, “bagaimana keadaanmu?”

“Yeah, seperti yang kaulihat, pal,” sahut si tikus dengan salah tingkah dalam kandang.

Saya tersenyum. “Sepertinya kau tidak bisa keluar?”

“Yeah…” si tikus makin salah tingkah. “Seperti yang kaulihat.”

Saya mengisap asap rokok. “Jadi, bagaimana kau bisa masuk ke dalam kandang itu?”

Tikus itu terdiam beberapa saat, kemudian menjawab, “Well, kau tahu, ada sepotong tulang segar yang tadi ada di sini. Aku lapar, kau tahu. Jadi aku pun mendekati tulang itu, mencoba menyantapnya, dan tiba-tiba pintu sialan di belakangku menutup dengan cepat. Setelah itu aku terkurung di sini.”

“Kenapa kau tidak berpikir kalau pintu di belakangmu bisa menutup? Maksudku, apakah kau tidak sempat berpikir kalau tulang segar yang kaulihat sebenarnya hanyalah jebakan?”

“Seperti yang tadi kukatakan, aku lapar! Kau tidak akan berpikir macam-macam ketika perutmu lapar, begitu pula denganku!”

“Tidak perlu defensif, tikus…”

“Aku tidak defensif, sialan!” sela tikus itu tiba-tiba dengan marah. “Aku tahu kau yang memasang tulang keparat itu di kandang jebakan ini! Aku tahu kau sengaja menjebakku hingga aku terkurung seperti ini. Dan sekarang kau bertanya-tanya dengan muka tanpa dosa seolah bayi baru lahir. Kau telah menjebakku! Kau sengaja memasang umpan sialan itu agar aku…”

“Oke, oke,” sahut saya menurunkan ketegangan. Setelah mengisap asap rokok dan mengembuskannya, saya berkata perlahan-lahan, “Well, aku mengaku, memang akulah yang memasang tulang itu, yang kemudian menjebakmu.”

“Kau juga telah menjebak teman-temanku!”

“Aku mengaku.”

“Dan juga menjebak tetangga-tetanggaku!”

“Ya, aku mengaku.”

“Kau… kau juga telah menjebak mantan-mantan pacarku!”

Saya tidak bisa menahan senyum. “Aku mengaku bahwa semua tikus bangsamu yang terjebak dalam kurungan itu memang tanggung jawabku. Bukannya ingin terdengar seperti psikopat, aku telah menjebak berpuluh-puluh tikus lain sebelum kau terjebak dalam kurungan itu.”

“Kau memang psikopat!”

“Well…”

“Kau psikopat sialan!”

“Aku tidak ingin mengajakmu bertengkar, tikus.”

“Kau tidak ingin mengajakku bertengkar?!” Tikus itu meradang. “Jadi kausebut apa kurungan sialan yang sekarang menjebakku ini?! Aku tahu kau pasti akan membunuhku, karena kau memang psikopat! Dan sekarang kau bilang tidak ingin mengajakku bertengkar…???”

Saya berkata pelan-pelan, “Bagaimana kalau aku tidak akan membunuhmu? Bagaimana kalau kau akan kulepaskan dari kurungan jebakan itu?”

Tikus itu memperhatikan saya, kemudian menjawab, “Oh, oh, aku bisa membaca muka pokermu itu, anak manis. Tidak ada makan siang gratis, benar? Jadi, apa tawaranmu?”

Psikologi manusia rupanya dapat digunakan dalam menghadapi tikus. Ketika si tawanan dijanjikan untuk dilepaskan, mereka pun siap untuk menyanyikan lagu apa saja. Dan tikus ini tahu dia akan mati. Jadi ketika mendengar tawaran untuk dilepaskan agar tetap hidup, dia pun siap melakukan apa saja. Jadi saya pun memulai….

“Aku janji akan melepaskanmu dari kurungan itu, tapi kau harus menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan jujur.”

“Apa pun,” sahut tikus itu seketika.

“Aku akan minum dulu.”

“Jangan lama-lama!”


Lanjut ke sini.

 
;