Kamis, 12 April 2012

Ngobrol dengan Tikus (1)

Lebih banyak kebodohan di dunia ini ketimbang jumlah orangnya.
—Heinrich Heine

Saya yakin seluruh penderitaan disebabkan oleh kebodohan.
—Dalai Lama

Kecerobohan lebih banyak menyebabkan kerugian daripada kebodohan.
—Benjamin Franklin


Di kanan kiri dan di belakang rumah saya adalah tanah kosong. Posisi semacam itu memang memungkinkan saya memperoleh keheningan yang saya inginkan, karena suara dari rumah tetangga tak pernah terdengar. Namun adanya lahan kosong yang mengelilingi rumah juga mengundang masalah. Dan masalah paling besar dalam hal ini adalah tikus.

Banyak tikus berkeliaran di tanah-tanah kosong di sekitar rumah saya, dan tidak jarang mereka “mampir” ke rumah. Akibatnya, tidak jarang pula saya mendapati tikus-tikus keluyuran di dapur.

Semula, saya hanya mendiamkan. Prinsip saya, tak peduli makhluk apa pun, saya tidak akan mengusiknya selama dia juga tidak mengusik saya. Tapi lama-lama tikus-tikus itu makin kurang ajar. Mungkin karena merasa aman, tikus-tikus itu mulai merambah ke ruangan rumah, memasuki ruang perpustakaan, hingga ke kamar tidur. Puncaknya, mereka menggigiti dan merusak buku-buku saya, bahkan buang kotoran di tempat tidur.

Ini sudah tak bisa dibiarkan. Maka saya pun kemudian pergi ke pasar dan membeli jebakan tikus. Mereka menginginkan perang, mereka akan mendapatkannya!

Jebakan tikus itu berupa kotak kandang kecil, terbuat dari anyaman besi. Kalian pasti sudah biasa melihatnya. Nah, dengan kandang jebakan itulah saya memulai perang dengan tikus-tikus di rumah.

Sejak itu, setiap malam, saya pasti menyisakan lauk makanan—entah kepala lele, tulang ayam, duri ikan, atau lainnya—untuk saya pasangkan di dalam kandang jebakan. Dan, tiap malam pula, selalu ada tikus yang terjebak!

Rupanya, umpan yang terpasang dalam kandang jebakan itu selalu menarik perhatian tikus di rumah saya, dan mereka selalu saja tergiur untuk menyantapnya. Begitu mereka menyentuh umpan dalam kandang itu, seketika pintu jebakan pun menutup—dan mereka terkurung tak bisa keluar. Setelah itu, hidup mereka pun tinggal menunggu detik jam.

Ketika satu per satu tikus-tikus itu terus terjebak masuk dalam kandang jebakan, saya benar-benar senang. Tetapi, setelah berpuluh-puluh kali tikus-tikus itu masih juga terjebak, saya jadi mikir, “Apa mereka tidak tahu bahwa kotak itu sebenarnya jebakan? Apa mereka tidak melihat nasib kawan-kawannya yang telah terjebak sebelumnya? Apa mereka tidak mikir kalau makanan yang ada dalam kandang itu tak sebanding dengan risikonya?”

Saya benar-benar penasaran. Susahnya, saya tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Dalam hal ini, masalahnya, saya tidak bisa berkomunikasi dengan hewan. Lebih spesifik lagi, dengan tikus.

Saya sudah mencoba mencari literatur-literatur mengenai tikus, dengan harapan dapat menemukan jawaban atas kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan itu. Namun jawaban yang saya cari tidak pernah tertemukan. Mungkin karena memang belum ada ilmuwan yang bisa ngobrol dengan tikus, sehingga sampai sekarang belum ada yang tahu bagaimana isi pikiran para tikus.

Akhirnya, ketika sedang stres, saya pun melakukan wawancara imajiner dengan seekor tikus yang terperangkap dalam jebakan di suatu malam.

Jadi, malam itu, seperti biasa saya menyiapkan umpan dalam jebakan di dapur. Beberapa jam kemudian, terdengar pintu kandang jebakan itu berbunyi, tanda kalau seekor tikus telah terjebak lagi. Ketika saya lihat, ternyata memang telah ada seekor tikus berukuran cukup besar telah terkurung dalam kandang jebakan.

Saya tersenyum. Sambil nyanyi-nyanyi, saya membuat teh hangat manis, menyeruputnya dengan nikmat, lalu menyulut rokok. Setelah itu saya duduk di dekat kandang tempat si tikus terkurung tak bisa keluar. Lalu mulai mengajaknya ngobrol….

Lanjut ke sini.

 
;