Kamis, 20 September 2012

Tato di Punggung Jupe, dan Era Baru Animisme

Animisme sedang berulang. Berhala kembali
disembah. Dan, kali ini, berhala itu bernama pencitraan,
spektrum media, dan gaya tanpa dosa.
@noffret


Jujur, saya benci menulis catatan ini. Saya sudah pernah menulis tentang Jupe, dan saya telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah lagi menulis tentang perempuan itu. Tapi saya benar-benar gatal kali ini, hingga merasa tak mampu menghentikan pikiran yang menggerakkan jari-jari saya menari di atas keyboard dan menulis catatan ini. Menulis tentang Jupe, kau tahu, adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan. Tapi sekarang saya lakukan. Karena gatal.

Perempuan itu—maksud saya, Jupe—baru-baru ini bikin heboh lagi. Kali ini melalui tato aneh di punggungnya. Saya katakan aneh, karena tato itu berbahasa Arab, berbentuk kaligrafi, dan berbunyi “khaya’alal falaakh”. Kita tahu, kalimat berbahasa Arab itu adalah salah satu bagian seruan adzan yang ditujukan untuk kaum muslim ketika datang waktu shalat. Jika tato semacam itu terdapat di punggung Mamah Dedeh, mungkin saya tidak akan terkejut. Tapi Jupe…?

Apa motivasi Jupe menerakan tato semacam itu di punggungnya? Demi Tuhan, apa yang menggerakkan Julia Perez yang semlohay itu hingga memilih kaligrafi Arab sebagai tato penghias punggungnya?

Sejak pertama kali mengetahui berita tentang tato aneh itu, saya sudah mencoba diam dan memikirkannya secara mendalam. Dengan segala kebijaksanaan yang (mungkin) saya miliki, saya berusaha semampunya untuk dapat memahami Jupe, dan tidak buru-buru menghakimi apalagi sampai menyalahkannya. Tapi demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, saya tetap tidak bisa memahami, bagaimana bisa tato berbahasa Arab itu mejeng di punggung Jupe.

Tidak lama setelah umrah (oh, well, Jupe juga umrah), Julia Perez pernah menyatakan bahwa dia akan berusaha memperbaiki diri, yang salah satunya akan mulai berbusana agak tertutup—tidak ngablak seperti selama ini.

Soal busana tertutup atau ngablak, itu hak asasi setiap orang, toh kita hidup di negara Pancasila. Bahkan umpama Jupe keluyuran ke pasar dengan pakaian renang, saya tidak akan ambil pusing. Dan kalau kemudian Jupe tetap berbusana ngablak, meski ia telah berjanji akan berbusana tertutup, saya juga tidak peduli. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari—biar Rhoma Irama menjadi saksi. Tapi tatonya itu…?

Saya telah memikirkan urusan tato di punggung Jupe itu hingga berhari-hari, bermalam-malam, dan tetap tidak berhasil menemukan alasan masuk akal. Satu-satunya alasan yang bisa saya bayangkan hanyalah bahwa tato itu merupakan upaya Jupe untuk membuat sensasi—tidak kurang, tidak lebih. Dan, sayangnya, sensasinya kali ini benar-benar keterlaluan, untuk tidak menyebut murahan.

Alasan apa lagi selain sensasi yang bisa kita bayangkan untuk tato berupa kaligrafi Arab di punggung seorang wanita seperti Jupe? Mungkin Jupe telah kehabisan akal untuk membuat sensasi lain, sehingga ia pun sampai menerakan tato semacam itu. Dalam pikiran Jupe, mungkin, tato berupa gambar kompor atau lambang bajak laut tidak akan menarik perhatian. Maka ia pun memilih tato berbahasa Arab. Ia bisa memperkirakan, pasti akan muncul banyak suara—dari sekadar protes sampai kehebohan—dan tujuannya untuk menciptakan sensasi pun tercapai.

Kenyataannya, yang diharapkan Jupe memang tercapai. Tato itu melahirkan sensasi, aneka macam publikasi, banyak orang meributkannya, bahkan saya pun sampai menulis catatan sialan ini.

Dan tato itu, kita tahu, bukanlah tato permanen. Setelah ribut-ribut mengenai tato itu terdengar dari segala penjuru, Jupe pun dengan enjoy menghapus tatonya. Ia tak butuh lagi tato itu, karena memang yang dibutuhkannya cuma sensasi, publikasi, dan kehebohan—sebagai jaminan bahwa namanya tetap dikenal, dikenang, dan terus dibicarakan orang.

Upaya Jupe menarik perhatian melalui tato itu pun kemudian melemparkan saya pada pemikiran yang lebih serius, bahwa kita memang begitu gandrung dengan segala kehebohan, tergila-gila pada popularitas, dan sedang menuju era baru animisme.

Beribu-ribu tahun yang lalu, ketika peradaban manusia masih sangat primitif, orang-orang memuja pohon besar, angin topan, matahari dan bulan, bahkan gelegar halilintar. Apa pun yang dianggap besar—entah wujudnya atau suaranya—akan disembah sebagai tuhan (saya sengaja menggunakan huruf t dan bukan T). Pada era animisme, penyembahan terhadap sesuatu yang dianggap tuhan tidak berdasar kenyataan, melainkan berdasar kesan—dari kesan kebesaran sampai kesan kebisingan.

Manusia pada era itu menyembah pohon-pohon besar karena wujudnya, menyembah halilintar karena suaranya, bahkan sebagian yang lain menyembah sesamanya karena dianggap istimewa. Pada masa itu, orang hidup di gua-gua, dan mereka rela mengorbankan apa pun demi tuhan-tuhan sesembahan mereka.

Sekarang, dalam konteks tak jauh beda, kita sedang mengulang era animisme semacam itu. Dan sekarang “penyembahan” kita tertuju pada sesama yang dianggap “besar”—entah besar beritanya, ataupun besar sensasinya. Kita tidak lagi menyembah pohon atau halilintar, tetapi kita menyembah sesuatu yang mirip mereka, yakni “besar” atau “bising”. Dalam era baru animisme sekarang ini pun, ada orang-orang yang sengaja ingin menjadi tuhan—bagaimana pun caranya.

Maka kita pun menyaksikan orang-orang sibuk membangun pencitraan, bocah-bocah sibuk mengenakan kostum pahlawan, sementara artis yang kehabisan akal kemudian menerakan tato di punggung demi kehebohan. Media dan publikasi menjadi ayat suci, popularitas telah menjelma sesembahan. Sekarang, yang paling penting bukan bagaimana dirimu, melainkan bagaimana pencitraanmu. Persetan dengan kejujuran atau integritas, karena sekarang yang paling penting adalah publikasi dan popularitas.

Dan menciptakan publikasi, kau tahu, jauh lebih mudah dibanding memegang kejujuran dan idealisme. Membangun popularitas jauh lebih mudah dibanding menjaga integritas. Bahkan setan pun tahu, kejujuran dan integritas merayap seperti ular, sementara publisitas dan pencitraan melesat seperti elang. Karena lebih mudah dicapai, sebagian orang lebih memilih membangun pencitraan daripada memegang kejujuran, lebih memilih menyembah popularitas daripada memeluk integritas.

Pepatah Arab menyatakan, “Kalau kau ingin terkenal, kencingi saja sumur zam-zam.” Dan tepat seperti itulah yang dilakukan sebagian kita—sekarang ini. Tak peduli bagaimana caranya, yang kita butuhkan adalah cepat terkenal. Dan cara yang sering kali mudah untuk itu adalah menciptakan kehebohan, bahkan yang paling tak masuk akal. Menjadi terkenal, di zaman ini, telah menjadi kebutuhan banyak orang.

Kenyataannya, popularitas atau nama terkenal memang akan memberimu banyak keuntungan. Kalau kau terkenal, kau bisa menjual sampah dan orang-orang akan antri membelinya. Kalau kau terkenal, kau bisa muntah di mana pun, dan orang-orang akan berdesakan menontonnya. Kalau kau terkenal, kau bisa mengatakan hal-hal paling tolol sekali pun, dan orang-orang akan khusyuk mendengarkannya. Kalau kau terkenal, oh well… kemungkinannya tak terbatas.

Dan popularitas, memang, telah menjadi sihir paling sakti di zaman ini. Orang-orang akan menyampaikan hormat kepadamu jika namamu terkenal, tak peduli serusak apa pun pribadimu. Kalau kau terkenal, orang-orang akan memujamu, bahkan menyembahmu dengan segala puja-puji seolah kau baru turun dari langit. Kalau kau terkenal, kau bisa membungkus kebohongan di balik kata-kata manis, dan orang-orang akan menjilatinya dengan rakus seperti kawanan anjing kelaparan.

Di zaman ini, menjadi terkenal tak jauh beda dengan menjadi tuhan, mungkin itu pikiran sebagian orang. Karenanya, mereka pun mencari segala cara untuk menjadi terkenal, menciptakan kehebohan, melahirkan sensasi dan publikasi, dengan cara yang beragam. Dan jika cara-cara yang dianggap lazim telah ketinggalan zaman, beberapa orang pun nekat menggunakan cara yang lebih gila. Misalnya dengan menerakan tato aneh di punggungnya.

Oh, well, selamat datang di era baru animisme.

 
;