Minggu, 09 September 2012

Musuh Terbesar Kita

When there is no enemy within,
the enemies outside cannot hurt you.
@noffret


Dalam rapat-rapat tertutup para petinggi Microsoft, Bill Gates sering kali menyemburkan kemarahannya yang sudah sangat dihafal para bawahannya. Ketika brainstorming, Bill Gates sering tidak sabar mendengar peserta rapat menjelaskan usul atau pemikirannya, khususnya jika orang itu tak bisa menyatakannya dengan simpel dan gamblang.

Jika seseorang menjelaskan sesuatu bertele-tele, tidak langsung ke pokok persoalan, Bill Gates akan menunjukkan sikap tidak sabar. Dan jika ternyata usulan itu tidak orisinal—khususnya menurut standar Bill Gates—dia pun akan mengamuk dengan berteriak, “Belum pernah aku mendengar ketololan seperti itu!”

Kalimat itu sangat terkenal bagi para pekerja Microsoft, karena Bill Gates hampir dapat dipastikan akan menyemburkan kata-kata kemarahan itu dalam setiap rapat. Faktanya, Bill Gates memang genius. Dan orang-orang yang bekerja bersamanya pun memahami bahwa standar yang akan digunakan di Microsoft adalah standar Bill Gates, dan bukan standar mereka.

Karenanya, meski mereka mungkin jengkel dengan kemarahan Bill Gates, tapi pada akhirnya mereka pun memaklumi, bahwa apa yang hebat menurut mereka belum tentu hebat menurut Bill Gates. Yang hebat bagi anak TK belum tentu hebat pula bagi anak SMA. Tapi Bill Gates juga sosok yang adil. Meski dia mudah marah pada hal-hal yang dianggapnya tolol, dia pun tak pelit memberikan pujian jika bawahannya memang layak menerimanya. Dia orang yang objektif—terlepas dari sifat pemarahnya.

Tentu saja kita bukan Bill Gates. Tapi tidak menutup kemungkinan kita juga memiliki sifat pemarah seperti dia. Betapa pun juga, setiap manusia memang dibekali kemampuan untuk marah. Yang membedakan adalah bagaimana masing-masing orang mengelola dan menggunakan kemarahannya. Ada orang yang mampu menyimpan kemarahannya dengan baik, ada pula orang yang hobi mengumbar kemarahannya, bahkan untuk hal-hal remeh dan sepele.

Saya pun begitu. Sejujurnya, saya bukan orang yang sabaran, khususnya untuk hal-hal tidak penting. Kalau membaca novel, misalnya, saya sering tidak sabar kalau jalan ceritanya sangat lambat, bertele-tele, terlalu banyak hal tidak penting, dan saya pun biasanya jadi marah sendiri. Susahnya, saya tuh seperti punya kewajiban pribadi untuk mengkhatamkan buku apa pun yang saya baca—tak peduli semembosankan apa pun.

Jadi, yang sering muncul adalah pemandangan konyol. Kadang teman saya ada yang melihat saya gelisah dan marah-marah sendiri sambil memegangi buku. Lalu mereka biasanya bertanya, “Kamu ngapain, marah-marah sendiri gitu?”

Saya pun menjawab jujur, “Ini, lagi baca novel tapi jalan ceritanya lambat banget. Jadinya bosan dan nggak sabar.”

Si teman cekikikan, “Kenapa nggak kamu skip aja, biar langsung pada inti ceritanya? Atau, kalau emang udah bosan, ya udah, nggak usah dibaca.”

“Justru itu, aku nggak bisa main skip kayak gitu. Kalau baca buku, aku harus baca lembar per lembar, nggak boleh ada yang dilewatin, dan aku harus membacanya sampai selesai. Rasanya kok berdosa kalau membaca buku tapi nggak tuntas.”

Teman saya pun ngakak. Dan biasanya akan bilang, “Kamu tuh ada-ada aja.”

Faktanya, saya tidak mengada-ada. Entah kenapa, saya tidak pernah bisa meninggalkan buku yang belum selesai saya baca. Jika saya mengambil sebuah buku, maka bagaimana pun caranya saya harus membacanya sampai selesai, lembar per lembar, dan tidak boleh ada yang terlewat. Memang mudah jika buku yang saya baca kebetulan bagus, atau novel yang memiliki alur cerita sangat cepat. Tapi menjadi sangat sulit jika sebaliknya.

Sampai kemudian, ada seorang teman yang cukup bijak memberikan nasihat bagus. Dia bilang, “Kalau memang kebiasaanmu kayak gitu, anggap aja kamu lagi latihan sabar kalau kebetulan dapet buku yang jelek, atau novel yang jalan ceritanya lambat. Kalau kamu berhasil nggak marah atau gelisah sewaktu membaca buku atau novel semacam itu, artinya kamu udah bisa ngalahin diri sendiri.”

Nasihat itu bagus sekali, sampai-sampai saya terus mengingatnya. Setiap kali saya dapat “apes” karena membaca buku atau novel yang kebetulan lambat dan bertele-tele, saya pun akan mengingat nasihat itu, dan berkata pada diri sendiri, “Ayo kita latihan sabar.”

Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Meski saya selalu mengingat untuk “latihan sabar” agar tidak marah, namun selalu saja ada hal-hal tertentu dalam hidup yang membuat saya marah.

Di jalan raya, seseorang bisa saja menyalip seenaknya sendiri, dan itu membuat saya marah. Di rumah, gas kebetulan habis padahal saya lagi butuh menyeduh kopi, dan hal itu bisa membuat marah. Di warung, nasi yang disajikan sangat lembek, dan hal itu bisa membuat saya marah. Dalam pergaulan, seseorang bisa saja menyinggung perasaan, dan itu bisa membuat saya marah.

Ada seribu satu alasan bahkan lebih yang selalu mampu membuat kita marah dalam hidup sehari-hari. Kita selalu punya alasan untuk marah, untuk menyalahkan, bahkan untuk mengutuk dan memaki. Umpama api, kita selalu siap menyalakannya kapan saja, untuk membakar apa saja, bahkan untuk menghanguskan siapa saja. Marah, sering kali, menjadi musuh manusia yang paling berbahaya.

Dan, kalau dipikir-pikir, kemarahan itulah sesungguhnya musuh kita yang paling besar sekaligus mudah dikenali. Mungkin memang setan yang menggoda nafsu amarah sehingga kita menjadi marah. Tapi kita tidak bisa melihat setan. Kita hanya bisa melihat kemarahan yang kita lakukan, atau efek kemarahan yang kemudian ditimbulkan. Dan kemarahan itu kenyataannya memang sering kali terwujud secara kasatmata. Kita bisa menyaksikan kemarahan di jalan-jalan, di rumah-rumah, dalam tulisan-tulisan, bahkan di baris-baris timeline Twitter, atau di mana pun.

Bahkan meski disembunyikan dengan cara apa pun, kemarahan selalu menunjukkan jati dirinya. Orang mungkin bisa saja bilang, “Aku tidak marah dia menghinaku.” Kenyataannya dia sedang memamerkan kemarahannya. Karena, jika memang dia tidak marah, maka tentu dia tidak akan menyatakan seperti itu. Bahkan umpama tidak diwujudkan melalui ucapan sekali pun, kita selalu mampu mengenali kemarahan dari raut wajah, atau suara, atau tekanan kata-kata.

Marcus Aurelius yang agung menyatakan, “Siapa yang dapat menahan marahnya, mampu mengalahkan musuhnya yang paling berbahaya.”

Para ilmuwan membutuhkan waktu dua ribu tahun untuk memahami kebenaran kata-kata itu. Sekarang, para ilmuwan tahu bahwa ketika seseorang marah, dia sedang menciptakan racun berbahaya dalam tubuhnya sendiri. Semakin sering seseorang marah, semakin banyak racun yang dihasilkannya, dan racun itu terus menumpuk dalam tubuh, mencemari peredaran darah, lalu menciptakan berbagai macam masalah bahkan penyakit.

Jika ingin membuktikan hal itu, cobalah eksperimen ringan berikut:

Belilah jarum suntik beserta tabungnya, lalu beli pula seekor kelinci yang sehat. Simpan jarum suntik di tempat yang steril, dan masukkan kelinci dalam kandang yang bersih. Tunggu sampai kau marah. Kapan pun kau sedang marah, ambil jarum suntik itu, tancapkan ke pembuluh darahmu, lalu ambil sedikit saja. Setelah itu suntikkan darah itu ke tubuh kelinci, dan lihat apa yang terjadi. Hanya dalam waktu dua menit, kelinci yang sebelumnya sehat itu akan mati.

Apa artinya itu? Darah yang diambil dari orang yang sedang marah mengandung toksin yang mematikan. Sebagaimana ia dapat membunuh kelinci yang sehat, ia pun dapat membunuh kita, meski mungkin perlahan-lahan tanpa kita sadari. “Siapa yang dapat menahan marahnya,” kata Marcus Aurelius, “mampu mengalahkan musuhnya yang paling berbahaya.”

Kemarahan itulah musuh kita yang paling berbahaya, karena ia menghancurkan dan menggerogoti diri kita dari dalam, perlahan-lahan, tanpa kita sadari. Racun kemarahan itu mengendap di dalam tubuh kita, mencemari peredaran darah kita, mempengaruhi kinerja jantung, bahkan mungkin menghitamkan hati. Sekarang kita paham mengapa orang yang suka marah-marah sering terkena masalah dengan jantungnya.

Kemarahan adalah racun, marah adalah musuh berbahaya, dan musuh itu ada di dalam diri kita sendiri. Jika kita memanjakannya, dia akan menguasai kita. Jika kita mengendalikannya, dia akan terpenjara. Sebagaimana kita punya hak untuk memilih apa pun dalam hidup, kita pun punya hak untuk menjadi penguasa kemarahan kita, atau menjadi budak amarah kita.

Sekarang, ketika mengetahui kenyataan itu, saya pun tahu bahwa salah satu pelajaran penting yang harus saya pelajari adalah belajar tidak marah. Itu pelajaran yang sulit, saya mengakui. Menahan amarah itu sama sulitnya menahan diri ketika sedang marah-marah.

Ketika marah-marah, kita sulit mengontrol perilaku, atau ucapan, atau kata-kata, sehingga kita sering kali menyatakan hal-hal konyol dan memalukan ketika sedang marah-marah. Kita tak bisa mengontrolnya, karena ketika marah kita berada di bawah kekuasaan amarah. Kata Buya Hamka, “Kemarahan memadamkan kecerdasan.” Jika saya boleh menambahkan, “Kemarahan menghilangkan kewarasan.”

Sebaliknya, ketika kita menahan diri untuk tidak marah, kita memegang kendali dan kekuasaan atas kemarahan itu, sehingga sikap dan ucapan kita tetap terjaga. Itu sama-sama sulitnya—tapi saya pikir lebih baik memilih yang kedua. Tampak konyol itu tak pernah menjadi pemandangan bagus. Tetapi orang yang dapat menahan amarah dengan baik menunjukkan sikap dewasa yang layak dihormati.

 
;