Minggu, 20 Februari 2011

Lelaki dan Setan

Malam mencapai puncak kegelapan, ketika lelaki itu mendengar suara berdebum di depan rumahnya. Seperti ada yang jatuh, pikirnya.

Lelaki itu baru pulang dari suatu acara memberikan nasihat kepada masyarakat. Dia memang biasa pergi ke sana kemari, menyampaikan ajaran kepada orang-orang agar berhati-hati terhadap godaan setan. “Karena musuh terbesar manusia adalah setan,” begitu ucapnya setiap kali.

Dan malam itu si lelaki baru pulang dari acara yang biasa—menakut-nakuti orang atas godaan setan. Malam telah larut ketika ia sampai di rumah, dan ia baru saja akan berganti baju sambil bersenandung, ketika telinganya mendengar suara berdebum amat keras di depan rumah.

Apa yang terjadi, pikirnya. Maka dia pun melangkah ke depan, membuka pintu rumah, dan mendapati sesosok tubuh tergeletak tak berdaya di teras rumah.

“Siapa kau?” tanya si lelaki dengan bingung kepada sosok yang tergeletak.

“Tolong…” rintih sosok yang tergeletak.

“Apa yang terjadi denganmu? Siapa kau?”

“Aku Setan.”

“Kau… apa?” Seketika lelaki itu mundur dengan ngeri.

“Tolong, aku sekarat…”

Si Lelaki kebingungan. “Tapi… bagaimana kau bisa sampai di sini?”

“Itu tidak penting,” sahut Setan. “Kau harus menolongku.”

“Tapi… tapi aku tidak mungkin menolong setan!”

“Kau tidak paham,” ujar Setan dengan suara serak. “Kaulihat aku sekarat! Kalau kau tidak menolongku sekarang, aku akan mati. Dan begitu aku mati, kau juga akan mati!”

“Aku… aku tidak paham maksudmu,” ujar si Lelaki dengan bingung.

“Sekarang dengarkan aku—biar kubuat kau paham!” Kemudian, dengan suara yang diusahakan sejelas mungkin, Setan menyatakan, “Lihatlah dirimu! Lihatlah siapa dirimu. Kau menjualku ke sana-kemari, menakut-nakuti orang tentangku—dan kau mendapatkan kehidupan yang layak, bahkan berlimpah karena itu. Kau paham sekarang? Jika aku mati, kau tidak bisa lagi menjualku, tidak bisa lagi menakut-nakuti orang lain tentangku, dan itu berarti kau akan kehilangan hidup yang telah kaunikmati selama ini! Jadi, sekarang, tolong aku!”

Si Lelaki menatap setan di hadapannya, kemudian memandang rumahnya yang megah, mengingat-ingat apa saja yang selama ini telah diperolehnya—kekayaan, penghormatan, popularitas, kesan kehebatan—dan mau tak mau dia harus membenarkan pernyataan setan di hadapannya. Tanpa setan yang selama ini dijualnya ke sana-kemari, dia tidak yakin bisa memperoleh semua yang sekarang dinikmatinya.

“Apa… apa yang harus kulakukan?” tanya lelaki itu kemudian, dengan suara tercekik.

“Kau hanya perlu merawatku, yang penting usahakan agar aku tetap hidup,” jawab Setan. “Biarkan aku menginap di rumahmu beberapa waktu.”

Si Lelaki menganggap itu tak ada salahnya—sedikit investasi untuk keuntungan jangka panjang. Ia memang harus berusaha agar setan tetap hidup.

Maka begitulah, sejak itu Setan tinggal di rumah si Lelaki.

Si Lelaki terus aktif dengan kegiatan sehari-harinya, menakut-nakuti orang tentang godaan setan, dan ia mendapat berbagai penghormatan bahkan kekayaan dari aktivitasnya. Dan tanpa seorang pun tahu, dia juga merawat sesosok Setan di rumahnya.

 
;