Berhati-hatilah dengan pikiranmu, sebab ia akan menjadi kata-kata.
Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab ia akan menjadi kebiasaan.
Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab ia akan menjadi karakter.
Berhati-hatilah dengan karaktermu, sebab ia akan menentukan nasibmu.
—Frank Outlaw
Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab ia akan menjadi kebiasaan.
Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab ia akan menjadi karakter.
Berhati-hatilah dengan karaktermu, sebab ia akan menentukan nasibmu.
—Frank Outlaw
Apa kekuatan terbesar yang ada dalam diri setiap manusia? Atau, lebih tepat lagi, apa kekuatan terhebat yang dimiliki setiap manusia?
Saya mempercayai bahwa pikiran adalah salah satu unsur paling hebat yang dimiliki setiap manusia—kekuatan terbesar di dunia. Saya juga sangat meyakini bahwa pikiranlah yang membentuk kehidupan kita, dan bukan kehidupan kita yang membentuk pikiran kita. Orang yang sedang jatuh cinta akan tahu kenyataan itu ketika ia merasakan dunia begitu indah, dan kehidupan seolah selalu tersenyum kepadanya. Sementara orang yang frustrasi dan patah hati akan memandang dunia begitu kejam, dan kehidupan seolah mengejek dirinya.
Apakah kehidupan yang berbeda? Apakah realitas yang memang berubah? Saya lebih meyakini bahwa sebenarnya pikiran kitalah yang berubah. Bumi terus berputar semenjak pertama kali penciptaannya hingga hari ini, dan kehidupan pun tetap memberikan pagi saat matahari menyingsing, dan menyuguhkan senja saat matahari tenggelam. Realitas kehidupan tidak berubah, tetapi pikiran kitalah yang berubah. Karenanya, kehidupan hanyalah hasil dari pikiran yang ada dalam diri kita; kehidupan hanya mengikuti yang ada di dalam pikiran kita.
Marcus Aurelius, filsuf Kekaisaran Roma, menyatakan, “Kehidupanmu adalah seperti yang dibuat oleh pikiranmu.” Lebih jauh, bahkan John Milton mengungkapkan kekuatan pikiran itu dalam bahasanya yang menarik. Milton menulis, “Pikiran mempunyai tempatnya sendiri, dan pikiran itu sendiri bisa membuat surga dari neraka, atau neraka dari surga.”
Pikiran manusia adalah ciptaan paling hebat di dunia, dan dengan pikiran itu pula kita bisa menjadikan dunia sebagai neraka tempat berkumpulnya segala macam kemurkaan, kemarahan, kebencian, kesedihan dan penderitaan, atau juga menjadikan dunia ini sebagai surga tempat bersatunya segala macam keindahan dan kedamaian.
Kita memiliki dua pilihan; menggunakan pikiran—kekuatan terbesar kita—untuk menjadikan hidup sebagai surga, atau justru menjadikannya sebagai neraka. Tetapi bagaimana menjadikan pikiran bekerja untuk diri kita dan kehidupan kita? Bagaimana menggunakan pikiran agar selaras dengan tujuan hidup kita, yakni tercapainya kesuksesan dan kebahagiaan?
Selama berabad-abad lamanya, banyak orang membandingkan pikiran manusia dengan kebun. Filsuf Seneca menyatakan bahwa seumpama tanah, tidak peduli sesubur apa pun, tanah tidak bisa produktif kalau tidak digarap, demikian pula pikiran kita. Sir Joshua Reynolds menyebutkan bahwa pikiran kita hanyalah tanah tandus, yang akan segera kehabisan kandungan gizinya dan menjadi tidak produktif kecuali terus-menerus dipupuk dengan gagasan baru. Sementara James Allen menulis bahwa pikiran manusia seperti kebun yang bisa digarap dengan baik atau dibiarkan menjadi liar.
Tetapi apakah digarap atau dilalaikan, pikiran akan tetap berproduksi. Kalau tidak ada benih yang berguna untuk ditanam, maka akan banyak benih rumput liar tak berguna yang akan tumbuh di sana, dan hasilnya adalah tanaman liar, tak bermanfaat, sekaligus merugikan dan tidak murni. Dengan lain perkataan, apa saja yang kita biarkan memasuki pikiran kita selalu akan menghasilkan buah, menghadirkan kenyataan sebagaimana yang ada di dalam pikiran. Kebun akan menumbuhkan rumput bila tanahnya tak digarap, sebagaimana kebun pun akan menumbuhkan buah-buah segar bila kita mau menanamkan benihnya.
Lanjut ke sini.