Seorang lelaki bertanya kepada Tuhan,
“Tuhan, kenapa Engkau ciptakan wanita begitu cantik?”
“Agar kau mencintainya,” jawab Tuhan.
“Tapi, Tuhan, kenapa Engkau ciptakan dia begitu tolol?”
“Agar dia mencintaimu.”
“Tuhan, kenapa Engkau ciptakan wanita begitu cantik?”
“Agar kau mencintainya,” jawab Tuhan.
“Tapi, Tuhan, kenapa Engkau ciptakan dia begitu tolol?”
“Agar dia mencintaimu.”
Sebagai penulis, saya membutuhkan berbagai referensi untuk menunjang tulisan-tulisan saya. Karena itu, selain membaca buku, jurnal, dan makalah, saya juga membaca majalah, termasuk majalah-majalah wanita.
Selain membaca majalah wanita, sebenarnya saya juga membaca majalah-majalah pria, semisal FHM, Popular, dan beberapa yang lainnya. Tetapi, sejujurnya, saya lebih menikmati saat membaca majalah-majalah wanita. Ada semacam kepuasan tersendiri ketika membaca majalah wanita semisal Cosmopolitan, atau Glamour, umpamanya, dibanding ketika menikmati bacaan (majalah) yang murni “maskulin”.
Bagi saya, ada semacam paradoks di dalam media-media yang tersegmentasi secara spesifik semacam di atas.
Selama ini, kita sering kali mempersepsikan wanita sebagai makhluk emosi, dan pria sebagai makhluk logika. Tetapi, kenyataan semacam itu sepertinya justru terbalik pada majalah-majalah yang ditujukan kepada mereka. Yang saya lihat selama ini, majalah-majalah wanita justru terkesan lebih “logis dan rasional”, sementara majalah-majalah pria terkesan lebih “emosional”, bahkan tidak jarang terkesan “kekanak-kanakan”.
Ketika membaca majalah wanita, saya mendapatkan setumpuk pengetahuan penting tentang lawan jenis saya. Melalui Cosmopolitan, misalnya, saya jadi tahu apa sebenarnya yang dipikirkan dan dirasakan kaum wanita, bagaimana kecenderungan mereka terhadap kaum pria, bagaimana harapan-harapan mereka atas hubungan cinta yang mereka jalin dengan lawan jenisnya, dan lain-lainnya. Pendeknya, saya mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang memang hanya mungkin saya dapatkan melalui majalah itu.
Nah, kenyataan semacam itu tidak terjadi ketika saya membaca majalah-majalah pria. Ketika membaca majalah-majalah pria, yang sering kali saya rasakan hanyalah sedang membaca sebuah majalah yang merupakan kompilasi dari berbagai media (ada olahraga, musik, politik, fotografi, teknologi, dan lain-lain).
Meskipun majalah-majalah itu nyata-nyata ditujukan untuk segmen pembaca pria, tetapi saya tidak merasa majalah-majalah itu menunjang ke-pria-an saya secara spesifik. Karenanya, meskipun terkadang ada manfaat di dalamnya, saya lebih menilainya sebagai sekadar hiburan.
Lanjut ke sini.